Membaca Kimya, sang Putri Rumi (2004) aku merasa disuguhi bacaan
yang menenangkan dan menenteramkan. Ada ketakjuban dan sekaligus rasa syukur,
tatkala yang datang kepadaku bukan hanya Kimya, tetapi juga cinta yang
barangkali akan melebihi cinta Maulana, yakni cinta NYA.
Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
Bagi seorang yang hatinya dipenuhi cinta, ia akan
belajar tak hanya mendengar tetapi juga menyerap apa yang dibisikkan oleh
cinta. Kimya, putri angkat Rumi telah belajar mendengar dan menyerap apa yang
dibisikkan oleh jiwanya. Dari bisikan itulah, ia sampai kepada Maulana, sang
sufi yang membawanya kepada dunia yang selama ini dirindukan sebagai tempat
belajar. Semula ia ingin sekali belajar “bahasa” yang menurutnya diyakini
sebagai jalan baginya untuk sampai kepada jalan pengetahuan. Tetapi jalan
pengetahuan itu seperti dibukakan tak hanya melalui buku, tetapi melalui
misteri kehidupan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Melalui Kerra isteri
Rumi, melalui anak-anak Rumi, sampai kepada melalui Rumi sendiri. Pernah ia
bertanya kepada Maulana kapan ia mulai belajar?, dengan senyum hangat Rumi
menjawab “kamu sudah belajar” , dan Rumi menyebut Kimya sebagai murid terbaik.
Kisah Kimya seperti mengingatkanku kepada kehidupanku
sendiri. Sedari dulu aku ingin sekali memasuki dunia pesantren, ada panggilan
yang tak kasat mata, dan tak bisa dimengerti. Hasrat itu kemudian dijawab oleh
Ayah dengan kalimat pendek : “Belajar agama dimanapun bisa, dan dari agama
itulah sebenarnya praktek dan pengamalan yang penting, bukan ilmunya, ilmu
tanpa praktek akan sia-sia”. Kalimat Ayah kuingat sampai sekarang, setelah
membaca novel ini aku merasakan bahwa setidaknya aku masih sangat sedikit
memahami kehidupan. Barangkali kehidupan seperti apa yang dialami oleh Kimya, kita
hanya menjalankannya dan pasrah kepadanya. Seringkali kepasrahan itu terbendung
oleh berbagai kesenangan dan kenikmatan yang sesaat.
Pemahaman kita tentang hidup seperti dibelenggu oleh
hal yang rumit, sulit dan teramat susah. Padahal, kita ini hanya sekadar wayang
dan hanya sekadar hambaNya. Aku jadi tercenung saat membaca kalimat pendek yang
dikatakan oleh Kerra isteri Rumi dalam buku Kimya sang Putri Rumi (2004)
: “Tuhan ternyata lebih sederhana dipahami daripada penjelasan manusia yang
dibuat mengenaiNya. Apa yang diinginkan dari kita hanyalah supaya hidup tanpa
menyakiti satu sama lain, cuma itu” (h.176). Penjelasan Kerra ternyata tak
berhenti, bagi Kerra isteri Rumi sendiri, sebagai seorang isteri, ia seperti
memberikan sepenuhnya hidupnya kepada suaminya. Ketika hidupnya diserahkan
sepenuhnya, saat itulah ia merasakan kesenangan dan kebahagiaan.
Aku menuntaskan novel ini setelah lama aku baca, dari
novel ini mataku basah tatkala ingat kisah pernikahan Kimya dengan Syamz. Mas
kawinnya adalah bunga mawar dan juga segepok perhiasan emas. Aku tak mengerti
mengapa Syamz memberikan mas kawin mawar. Di bagian-bagian berikutnya, konon
cinta itu seperti mawar, maka kita perlu berdarah-darah untuk mendapatkannya.
Ketika Kimya menjalani hidup dengan Syamz, Kimya seperti merasakan perasaan
yang sulit dijelaskan. Ia tak sedih, tetapi juga tak senang. Perasaan yang ia
rasakan seperti tak terjelaskan.
Kehidupanku sudah berjalan puluhan
tahun, tetapi aku seperti melihat cahaya belum lama ini. Kehidupan manusia
memerlukan pasangan. Sebagaimana Kimya yang menemukan Syamz yang menemukan
cintanya, Syamz pun sebaliknya. Ia seperti kehilangan tubuh dan jiwanya tatkala
kehilangan Kimya. Penyatuan itulah yang ada dalam pernikahan. Penyatuan ini tak
sekadar urusan tubuh, tetapi melampaui itu, ada jiwa yang tak lengkap dalam
kehidupan manusia tanpa pernikahan.
Bila mengingat ini, aku seperti
merasakan ketidakberdayaan dan kekuasaan yang tak ada batasnya sekaligus.
Ketidakberdayaanku sebagai manusia, dan kekuasaan dan tangan panjang Tuhan yang
tak mengenal batas dan waktu. Tuhan seperti selalu menenangkanku, aku tak
memiliki apapun yang berupa materi atau harta yang bisa dibanggakan dalam
urusan penyatuan jiwa ini. Tetapi, penyatuan terkadang memerlukan symbol meski
itu hanya sekadar mawar merah sebagaimana yang dilakukan Syamz.
Tetapi di balik itu, ada yang lebih
mulia dari sebuah penyatuan,kesadaran akan cinta yang berbuntut kepada
kesetiaan dan ketaatan yang semakin murni membuat kita mengerti, bahwa Rumi pun
memerlukan penyatuan ketika ia menemukan Syamz. Sedangkan Syamz sendiri ia
seperti angin yang terombang-ambing tanpa Kimya.
Kimya memang seorang perempuan yang
dituntun begitu saja untuk menjalani takdirnya sebagai seorang isteri Syamz.
Aku mengingat kekasihku, ia melampaui Kimya. Aku terkadang berfikir, aku
seperti angin yang terombang-ambing tak karuan. Tetapi setelah melihatnya, aku
seperti ditenangkan, diredamkan, dan merasakan kedamaian. Aku seperi meliha
cahayaNya yang tak ada habisnya, penerimaannya, ketulusannya, kehangatannya
seperti terlihat jelas dari tatapan matanya. Ia seperti meyakinkan dan
meneguhkan apa yang selama ini kuanggap sebagai sebuah jalan kebenaran.
Barangkali kekasihku pun mengerti,
terkadang bimbang dan merenung, hingga ia hanya bisa meneteskan air matanya.
Tetapi aku mengerti, dari itulah aku merasakan bahwa yang ia rasakan adalah
sebuah ketidakberdayaan dan ketidakmampuannya memahami pelan-pelan makna dan
hakikat cinta yang kelak akan kita temukan bersama di pernikahan.
Membaca Kimya, sang Putri Rumi (2004)
aku merasa disuguhi bacaan yang menenangkan dan menenteramkan. Ada ketakjuban
dan sekaligus rasa syukur, tatkala yang datang kepadaku bukan hanya Kimya,
tetapi juga cinta yang barangkali akan melebihi cinta Maulana, yakni cinta NYA.
Ketika mengingat itu, aku merasa meleleh, basah mata ini. Sebab siapa dari kita
yang mampu menahan dan mampu memahami kedatangan dan kehadiranNya dalam
kehidupan kita. Aku merasakan hari-hariku bakal ditenangkan, ditenteramkan,
dijaga dan diberkahi olehNya. Tanpa kasih sayangNya, kita ini ibarat debu yang
dihempaskan oleh angin, yang tak tahu kemana kita akan pergi, dan kemana kita
akan bersandar. Membaca novel ini seperti disiram oleh percikan air yang
membuat kita lega dan lepas dari dahaga. Melalui tulisan ini, aku pun ingin
mengucapkan rasa syukur kepada Nya, bahwa ia telah mengirimkan Kimya atau
Maulana dalam kehidupanku, yakni mengirim kekasihku.
Segala puji bagi Tuhan, karena kekuasaanNya itulah, segala cinta bisa berbuah indah. Aku berdo'a untuk itu, kebahagiaan dan ketenteraman. Masya Alloh....
*)
Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment