klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Friday 17 April 2015

Sepercik Air Kehidupan




Membaca Kimya, sang Putri Rumi (2004) aku merasa disuguhi bacaan yang menenangkan dan menenteramkan. Ada ketakjuban dan sekaligus rasa syukur, tatkala yang datang kepadaku bukan hanya Kimya, tetapi juga cinta yang barangkali akan melebihi cinta Maulana, yakni cinta NYA. 

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
           
Bagi seorang yang hatinya dipenuhi cinta, ia akan belajar tak hanya mendengar tetapi juga menyerap apa yang dibisikkan oleh cinta. Kimya, putri angkat Rumi telah belajar mendengar dan menyerap apa yang dibisikkan oleh jiwanya. Dari bisikan itulah, ia sampai kepada Maulana, sang sufi yang membawanya kepada dunia yang selama ini dirindukan sebagai tempat belajar. Semula ia ingin sekali belajar “bahasa” yang menurutnya diyakini sebagai jalan baginya untuk sampai kepada jalan pengetahuan. Tetapi jalan pengetahuan itu seperti dibukakan tak hanya melalui buku, tetapi melalui misteri kehidupan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Melalui Kerra isteri Rumi, melalui anak-anak Rumi, sampai kepada melalui Rumi sendiri. Pernah ia bertanya kepada Maulana kapan ia mulai belajar?, dengan senyum hangat Rumi menjawab “kamu sudah belajar” , dan Rumi menyebut Kimya sebagai murid terbaik.
Kisah Kimya seperti mengingatkanku kepada kehidupanku sendiri. Sedari dulu aku ingin sekali memasuki dunia pesantren, ada panggilan yang tak kasat mata, dan tak bisa dimengerti. Hasrat itu kemudian dijawab oleh Ayah dengan kalimat pendek : “Belajar agama dimanapun bisa, dan dari agama itulah sebenarnya praktek dan pengamalan yang penting, bukan ilmunya, ilmu tanpa praktek akan sia-sia”. Kalimat Ayah kuingat sampai sekarang, setelah membaca novel ini aku merasakan bahwa setidaknya aku masih sangat sedikit memahami kehidupan. Barangkali kehidupan seperti apa yang dialami oleh Kimya, kita hanya menjalankannya dan pasrah kepadanya. Seringkali kepasrahan itu terbendung oleh berbagai kesenangan dan kenikmatan yang sesaat.
Pemahaman kita tentang hidup seperti dibelenggu oleh hal yang rumit, sulit dan teramat susah. Padahal, kita ini hanya sekadar wayang dan hanya sekadar hambaNya. Aku jadi tercenung saat membaca kalimat pendek yang dikatakan oleh Kerra isteri Rumi dalam buku Kimya sang Putri Rumi (2004) : “Tuhan ternyata lebih sederhana dipahami daripada penjelasan manusia yang dibuat mengenaiNya. Apa yang diinginkan dari kita hanyalah supaya hidup tanpa menyakiti satu sama lain, cuma itu” (h.176). Penjelasan Kerra ternyata tak berhenti, bagi Kerra isteri Rumi sendiri, sebagai seorang isteri, ia seperti memberikan sepenuhnya hidupnya kepada suaminya. Ketika hidupnya diserahkan sepenuhnya, saat itulah ia merasakan kesenangan dan kebahagiaan.
Aku menuntaskan novel ini setelah lama aku baca, dari novel ini mataku basah tatkala ingat kisah pernikahan Kimya dengan Syamz. Mas kawinnya adalah bunga mawar dan juga segepok perhiasan emas. Aku tak mengerti mengapa Syamz memberikan mas kawin mawar. Di bagian-bagian berikutnya, konon cinta itu seperti mawar, maka kita perlu berdarah-darah untuk mendapatkannya. Ketika Kimya menjalani hidup dengan Syamz, Kimya seperti merasakan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia tak sedih, tetapi juga tak senang. Perasaan yang ia rasakan seperti tak terjelaskan.
            Kehidupanku sudah berjalan puluhan tahun, tetapi aku seperti melihat cahaya belum lama ini. Kehidupan manusia memerlukan pasangan. Sebagaimana Kimya yang menemukan Syamz yang menemukan cintanya, Syamz pun sebaliknya. Ia seperti kehilangan tubuh dan jiwanya tatkala kehilangan Kimya. Penyatuan itulah yang ada dalam pernikahan. Penyatuan ini tak sekadar urusan tubuh, tetapi melampaui itu, ada jiwa yang tak lengkap dalam kehidupan manusia tanpa pernikahan.
            Bila mengingat ini, aku seperti merasakan ketidakberdayaan dan kekuasaan yang tak ada batasnya sekaligus. Ketidakberdayaanku sebagai manusia, dan kekuasaan dan tangan panjang Tuhan yang tak mengenal batas dan waktu. Tuhan seperti selalu menenangkanku, aku tak memiliki apapun yang berupa materi atau harta yang bisa dibanggakan dalam urusan penyatuan jiwa ini. Tetapi, penyatuan terkadang memerlukan symbol meski itu hanya sekadar mawar merah sebagaimana yang dilakukan Syamz.
            Tetapi di balik itu, ada yang lebih mulia dari sebuah penyatuan,kesadaran akan cinta yang berbuntut kepada kesetiaan dan ketaatan yang semakin murni membuat kita mengerti, bahwa Rumi pun memerlukan penyatuan ketika ia menemukan Syamz. Sedangkan Syamz sendiri ia seperti angin yang terombang-ambing tanpa Kimya.
            Kimya memang seorang perempuan yang dituntun begitu saja untuk menjalani takdirnya sebagai seorang isteri Syamz. Aku mengingat kekasihku, ia melampaui Kimya. Aku terkadang berfikir, aku seperti angin yang terombang-ambing tak karuan. Tetapi setelah melihatnya, aku seperti ditenangkan, diredamkan, dan merasakan kedamaian. Aku seperi meliha cahayaNya yang tak ada habisnya, penerimaannya, ketulusannya, kehangatannya seperti terlihat jelas dari tatapan matanya. Ia seperti meyakinkan dan meneguhkan apa yang selama ini kuanggap sebagai sebuah jalan kebenaran.
            Barangkali kekasihku pun mengerti, terkadang bimbang dan merenung, hingga ia hanya bisa meneteskan air matanya. Tetapi aku mengerti, dari itulah aku merasakan bahwa yang ia rasakan adalah sebuah ketidakberdayaan dan ketidakmampuannya memahami pelan-pelan makna dan hakikat cinta yang kelak akan kita temukan bersama di pernikahan.
            Membaca Kimya, sang Putri Rumi (2004) aku merasa disuguhi bacaan yang menenangkan dan menenteramkan. Ada ketakjuban dan sekaligus rasa syukur, tatkala yang datang kepadaku bukan hanya Kimya, tetapi juga cinta yang barangkali akan melebihi cinta Maulana, yakni cinta NYA. Ketika mengingat itu, aku merasa meleleh, basah mata ini. Sebab siapa dari kita yang mampu menahan dan mampu memahami kedatangan dan kehadiranNya dalam kehidupan kita. Aku merasakan hari-hariku bakal ditenangkan, ditenteramkan, dijaga dan diberkahi olehNya. Tanpa kasih sayangNya, kita ini ibarat debu yang dihempaskan oleh angin, yang tak tahu kemana kita akan pergi, dan kemana kita akan bersandar. Membaca novel ini seperti disiram oleh percikan air yang membuat kita lega dan lepas dari dahaga. Melalui tulisan ini, aku pun ingin mengucapkan rasa syukur kepada Nya, bahwa ia telah mengirimkan Kimya atau Maulana dalam kehidupanku, yakni mengirim kekasihku. 
              Segala puji bagi Tuhan, karena kekuasaanNya itulah, segala cinta bisa berbuah indah. Aku berdo'a untuk itu, kebahagiaan dan ketenteraman. Masya Alloh....


*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
 

No comments:

Post a Comment