Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
Membaca buku Catatan Orang Gila karya Han Gagas kita akan menemui dunia yang
saling berkelindan. Dunia orang gila yang selama ini digambarkan sebagai dunia
yang serba tak jelas dan asing, tiba-tiba ditelisik oleh penulis novelet ini
sebagai dunia yang penuh pengetahuan dan menggugah kesadaran kita sebagai orang
yang “waras” alias normal. Sudah menjadi kebutuhan manusia biasa seperti makan,
seks dan juga kebutuhan batin lainnya. Orang dianggap gila bila ia mengalami
satu kebiasaan yang aneh, tak biasa, dan mengalami gangguan jiwanya. Orang
sering mengaitkan ini dengan masalah psikologis. Orang gila adalah orang yang
secara psikologis bermasalah. Tetapi benarkah kita orang normal tak mengalami
persoalan psikologis yang sama?. Terkadang jiwa kita berontak, dan ingin
melakukan sesuatu yang dianggap aneh, asing, misalnya terjun dari lantai tiga,
atau kita hendak menabrakkan diri di tengah jalan. Perilaku-perilaku semacam
ini bisa dijadikan alasan untuk menuduh kita sebagai seorang yang gila, edan
dan tidak “waras”.
Cerita dari bangsal rumah sakit jiwa
ini memberi gambaran utuh mengenai apa sebenarnya kegilaan itu, atau kita ini
yang normal dan wajar yang sebenarnya memiliki gejala “gila”, sehingga
melakukan perbuatan yang dianggap normal atau biasa. Ada kompromi dan sikap
yang dianggap wajar tatkala manusia melakukan kejahatan dan tidak bisa diterima
public. Sebagaimana kita bisa menyimak bagaimana kisah Tantri yang akhirnya
harus menerima sikap bapaknya yang gila, dengan melampiaskan hasrat seksualnya
kepada Tantri anaknya sendiri meski bapaknya tahu, ia salah. Tetapi yang
terjadi Tantri justru dianggap gila dan di masukkan ke rumah sakit jiwa. Berbeda
dengan kisah Lastri yang merasa sadar akan kebiasaannya yang menyukai lelaki
berlebihan. Kebiasaannya inilah yang berbuah seorang petugas perpus menodainya.
Pada akhirnya Lastri diperkosa oleh polisi yang menangkapnya, dan ia dibuang di
hutan. Perkosaan membuat mentalnya terganggu.
Tokoh-tokoh yang dianggap “gila” yang
dikisahkan oleh Han Gagas adalah tokoh yang mengalami trauma dan siksa
psikologis. Perilaku kegilaan manusia saat ini sudah mencapai pada tahapan
klimaks. Dunia sekarang ini seolah bukan tempat yang cocok bagi orang yang
dianggap “gila”. Han mencoba membalik kenyataan ini dengan menguak dan mengisahkan
kisah dari bangsal rumah sakit jiwa. Ia seolah membantah bahwa saat ini kita
sedang sehat pikiran dan badan kita. Han Gagas seolah ingin memberi ejekan dan
meemberikan sentilan, bahwa sebenarnya kegilaan yang dialami oleh orang-orang
gila di rumah sakit jiwa salah satunya adalah karena ketidakwarasan kita
orang-orang yang normal ini. Perilaku kita yang sudah “gila” inilah yang
mengakibatkan mereka menjadi benar-benar “gila”.
Di kumpulan cerita ini, kita juga akan
menemukan ajakan untuk membuat kita sadar bahwa di tengah kehidupan yang serba
keras dan kejam sekarang, kita dituntut untuk menjadi ‘waras”. Cerita dan tokoh-tokoh Han Gagas
mengingatkanku pada novel yang ditulis oleh Paulo Coelho yang berjudul Veronika Memutuskan Mati(2012). Di novel
ini, kita akan menemukan kisah orang-orang gila pula. Tetapi di Coelho, kita
akan menemukan sisi religiusitas dan alasan untuk hidup. Coelho menyebut ini
sebagai “visi firdaus”.
Tetapi di novella Han Gagas kita
justru akan menemukan alasan lain, kita justru menemukan kisah seorang kekasih
Astrid yang rela untuk diajak untuk berkunjung ke rumah sakit jiwa. Kekasih ini
akhirnya menyukai, mencintai rumah sakit jiwa yang sering diartikan sebagai
rumah orang-orang tak waras karena kekasihnya begitu menyukai dan belajar
banyak hal dari sini, belajar kehidupan. Meski tak ada sentuhan religiusitas,
novella ini menarik karena mampu membuat kita sadar bahwa kegilaan bukanlah hal
yang aneh dan asing. Dari cerita-cerita yang dikisahkan Han Gagas kita jadi
mengerti, dunia orang gila adalah dunia yang membuat kita semakin “waras”.
*) Pegiat Tadarus Buku di Bilik Literasi SOLO,
Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
*) Tulisan dimuat di SOLO POS
No comments:
Post a Comment