klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 21 February 2016

Cerpen, Helvy dan Dunianya


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Cerita pendek adalah kehidupan itu sendiri, kehidupan yang pendek. Maka seorang penulis cerita pendek adalah sang sutradara, bisa dikatakan penulis cerita pendek adalah Tuhan bagi tokoh, bagi cerita dan bagi apa yang akan ia tuliskan sebelum menjadi sebuah cerita pendek. Cerita pendek, dalam kesusasteraan Indonesia begitu penting, sebab ia menandakan denyut nafas sastra Indonesia selain novel dan puisi tentunya. Cerita pendek hadir di ruang-ruang seperti Koran dan majalah sastra di Indonesia. Hampir di setiap hari minggu atau di setiap bulan di majalah-majalah sastra kita menjumpai cerita pendek. Setiap penulis cerita pendek tentu memiliki pengalaman dan cirri khas nya masing-masing dalam bercerita. Membaca cerita pendek membuat kita masih bisa membayangkan yang khayali dari sebuah kehidupan. Dari cerita pendek kita tahu, bahwa kehidupan ini melampaui apa yang kita harapkan, atau kadang-kadang malah jauh dari harapan. Helvy Tiana Rosa adalah satu dari sederet penulis cerita pendek di negeri ini. Helvy dikenal sebagai pegiat sastra yang membidani FLP (Forum Lingkar Pena). Kita tahu, semenjak kemunculan FLP, sastra diharapkan menjadi ruang (medium) bagi seorang penulis untuk menyampaikan nilai-nilai(pesan) religiusitas maupun pesan moral yang lebih mendalam. Meski mengalami beberapa kontroversi antara ambiguitas “sastra-islami”, geliat kepenulisan dan literasi dari kelompok ini tak bisa dinafikkan ikut membentuk tradisi kepengarangan di negeri ini. Buku kumpulan cerpen Juragan Haji(2014) ini sebelumnya pernah diterbitkan dengan judul Bukavu(2008).

            Kumcer ini dihadirkan kembali di tahun 2014, enam tahun berselang setelah tahun itu, kita diajak untuk mengingat kembali nama Helvy Tiana Rosa dengan kekhasan cara berceritanya. Cerita-cerita pendek penulis Indonesia memang cenderung mengalami cetak ulang. Tidak hanya kumcer dari Helvy, kumcer Leila S.Chudori, Kumcer Linda Christanty, kumcer dari Eka Kurniawan, dan pengarang Indonesia lain. Helvy memiliki cara bercerita yang liris, puitis, tapi tak picisan. Beberapa cerpen dalam kumcer ini begitu kuat. Ia tak hanya bersinggungan dengan persoalan sejarah, kultur dan juga kehidupan di sekitar kita. Cerpen Darahitam adalah cerpen yang digarap dengan hati-hati dan sungguh-sungguh. Ia tak hanya mengisahkan kegetiran seorang warga Kalimantan, tetapi juga mengisahkan persoalan identitas seorang Madura. Membaca cerpen ini kita seolah diajak untuk melihat lebih dalam persoalan kebangsaan, yang mesti melampaui urusan etnisitas dan kesukuan. Helvy berhasil menjadikan cerpen ini sebagai tanda untuk mengingat dan merenungi sejarah kelam kita. Selain itu kita bisa melihat cerpen Ze Akan Mati Ditembak!. Setali tiga uang dengan cerpen Darahitam ,cerpen ini mengisahkan seorang pemuda yang tak memihak, tak suka perpecahan, tak suka konflik, pada akhirnya harus menanggung akibat dari konflik dan perpecahan di tanah airnya yang sama sekali tak ia inginkan. Cerita ini  berlatar konflik antara Timor-Timur sebelum lepas dari Indonesia. Helvy mengajak kita untuk bersuara dan berimbang memposisikan keberfihakan kita. Dalam ruang konflik dan perpecahan, seringkali kita timpang dan tak adil dalam bersikap. Tampaknya Helvy sadar posisi sebagai seorang cerpenis yang sering diberi cap “islami”. Di kumcer ini, sering kita akan menjumpai kata-kata Alloh, do’a atau rintihan sang tokoh yang dihadirkan Helvy. Saya tak terlalu menggubris perkara itu. Saya akan lebih mengakui Helvy sebagai seorang cerpenis saja, cukup seorang “cerpenis”. Pada cerpennya, kita akan menemukan kisah yang sebenarnya ada di realitas keseharian kita. Kita seperti diajak untuk bersuara dan berada di posisi yang adil. Sebut saja cerpen Lelaki Semesta yang mengisahkan seorang pemuda yang shalih, tiba-tiba harus mendapatkan perlakuan tak adil, dianiaya, dan dikucilkan akibat pemberitaan yang tak benar, akibat ulah pemburu teroris. Pada posisi ini, kita diajak Helvy, untuk melihat dengan lensa lebih besar, bahwa realitas yang selama ini dihadirkan oleh isu terorisme di Indonesia sering tak berimbang dalam pemberitaan.

Sebagai Pengarang

            Helvy sebagai seorang pengarang, pun menuliskan cerita yang tak jauh-jauh dengan kehidupan pengarang. Sebut saja cerpen Pertemuan Di Taman Hening, kita  bisa menyimak kata-kata sang tokoh dalam cerpen tersebut : “Aku tetap menulis. Bukan untuk membantumu atau  keuangan kita, tapi untuk diriku sendiri. Dan kamu, Mas,…., adalah inspirasiku yang tak pernah habis”(h.13). Kalimat ini seolah adalah kalimat penulis sendiri yang menjadikan keluarganya sebagai inspirasinya. Di cerpen Peri Biru kita akan menemukan bahwa dunia penulis yang mengidolakan penulis idolanya. Ini menyiratkan kekaguman Helvy sendiri pada Taufiq Ismail dan Asma Nadia : Aku masih ingin sekolah.Sebentar lagi SMP-ku selesai. Aku ingin kenal Taufiq Ismail dan Asma Nadia. Aku ingin seperti mereka. Dan itu artinya aku harus pintar. Membaca membaca. Menulis menulis.Sekolah!(h.115) Dalam cerpen-cerpennya sekalipun, Helvy begitu jujur dan begitu terus terang mengungkapkan identitasnya.  Helvy sebagai pengarang memang lebih terbuka, jujur dan tanpa menutupi dunia dan kehidupannya sebagai pengarang. Ia mengungkap dan membuka itu dalam cerpen-cerpennya. Cerpen-cerpen yang ditulis Helvy bisa dikatakan memiliki keunikan sendiri-sendiri, tapi menurut saya Helvy lebih berhasil menuliskan cerpen dengan tema bebas ketimbang tema-tema islami. Karena itulah, saya menganggap cerpen Juragan Haji sebagai cerpen yang biasa saja, meskipun diambil sebagai judul kumcer. Helvy sudah menorehkan catatan dan karyanya sebagai cerpenis di negeri ini, entah dengan label apa, setidaknya Helvy sudah menunjukkan cara dia berfihak pada apa yang ia yakini sebagai kebenaran.


*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

           


No comments:

Post a Comment