Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Cerita pendek adalah kehidupan itu sendiri, kehidupan
yang pendek. Maka seorang penulis cerita pendek adalah sang sutradara, bisa
dikatakan penulis cerita pendek adalah Tuhan bagi tokoh, bagi cerita dan bagi
apa yang akan ia tuliskan sebelum menjadi sebuah cerita pendek. Cerita pendek,
dalam kesusasteraan Indonesia begitu penting, sebab ia menandakan denyut nafas
sastra Indonesia selain novel dan puisi tentunya. Cerita pendek hadir di
ruang-ruang seperti Koran dan majalah sastra di Indonesia. Hampir di setiap
hari minggu atau di setiap bulan di majalah-majalah sastra kita menjumpai cerita
pendek. Setiap penulis cerita pendek tentu memiliki pengalaman dan cirri khas
nya masing-masing dalam bercerita. Membaca cerita pendek membuat kita masih
bisa membayangkan yang khayali dari sebuah kehidupan. Dari cerita pendek kita
tahu, bahwa kehidupan ini melampaui apa yang kita harapkan, atau kadang-kadang
malah jauh dari harapan. Helvy Tiana Rosa adalah satu dari sederet penulis
cerita pendek di negeri ini. Helvy dikenal sebagai pegiat sastra yang membidani
FLP (Forum Lingkar Pena). Kita tahu, semenjak kemunculan FLP, sastra diharapkan
menjadi ruang (medium) bagi seorang penulis untuk menyampaikan
nilai-nilai(pesan) religiusitas maupun pesan moral yang lebih mendalam. Meski
mengalami beberapa kontroversi antara ambiguitas “sastra-islami”, geliat kepenulisan
dan literasi dari kelompok ini tak bisa dinafikkan ikut membentuk tradisi
kepengarangan di negeri ini. Buku kumpulan cerpen Juragan Haji(2014) ini
sebelumnya pernah diterbitkan dengan judul Bukavu(2008).
Kumcer ini dihadirkan kembali di tahun 2014, enam tahun
berselang setelah tahun itu, kita diajak untuk mengingat kembali nama Helvy
Tiana Rosa dengan kekhasan cara berceritanya. Cerita-cerita pendek penulis
Indonesia memang cenderung mengalami cetak ulang. Tidak hanya kumcer dari
Helvy, kumcer Leila S.Chudori, Kumcer Linda Christanty, kumcer dari Eka
Kurniawan, dan pengarang Indonesia lain. Helvy memiliki cara bercerita yang
liris, puitis, tapi tak picisan. Beberapa cerpen dalam kumcer ini begitu kuat.
Ia tak hanya bersinggungan dengan persoalan sejarah, kultur dan juga kehidupan
di sekitar kita. Cerpen Darahitam adalah cerpen yang digarap dengan
hati-hati dan sungguh-sungguh. Ia tak hanya mengisahkan kegetiran seorang warga
Kalimantan, tetapi juga mengisahkan persoalan identitas seorang Madura. Membaca
cerpen ini kita seolah diajak untuk melihat lebih dalam persoalan kebangsaan,
yang mesti melampaui urusan etnisitas dan kesukuan. Helvy berhasil menjadikan
cerpen ini sebagai tanda untuk mengingat dan merenungi sejarah kelam kita.
Selain itu kita bisa melihat cerpen Ze Akan Mati Ditembak!. Setali tiga
uang dengan cerpen Darahitam ,cerpen ini mengisahkan seorang pemuda yang
tak memihak, tak suka perpecahan, tak suka konflik, pada akhirnya harus
menanggung akibat dari konflik dan perpecahan di tanah airnya yang sama sekali
tak ia inginkan. Cerita ini berlatar
konflik antara Timor-Timur sebelum lepas dari Indonesia. Helvy mengajak kita
untuk bersuara dan berimbang memposisikan keberfihakan kita. Dalam ruang
konflik dan perpecahan, seringkali kita timpang dan tak adil dalam bersikap. Tampaknya
Helvy sadar posisi sebagai seorang cerpenis yang sering diberi cap “islami”. Di
kumcer ini, sering kita akan menjumpai kata-kata Alloh, do’a atau rintihan sang
tokoh yang dihadirkan Helvy. Saya tak terlalu menggubris perkara itu. Saya akan
lebih mengakui Helvy sebagai seorang cerpenis saja, cukup seorang “cerpenis”.
Pada cerpennya, kita akan menemukan kisah yang sebenarnya ada di realitas
keseharian kita. Kita seperti diajak untuk bersuara dan berada di posisi yang
adil. Sebut saja cerpen Lelaki Semesta yang mengisahkan seorang pemuda
yang shalih, tiba-tiba harus mendapatkan perlakuan tak adil, dianiaya, dan
dikucilkan akibat pemberitaan yang tak benar, akibat ulah pemburu teroris. Pada
posisi ini, kita diajak Helvy, untuk melihat dengan lensa lebih besar, bahwa
realitas yang selama ini dihadirkan oleh isu terorisme di Indonesia sering tak
berimbang dalam pemberitaan.
Sebagai Pengarang
Helvy sebagai seorang pengarang, pun menuliskan cerita
yang tak jauh-jauh dengan kehidupan pengarang. Sebut saja cerpen Pertemuan
Di Taman Hening, kita bisa menyimak
kata-kata sang tokoh dalam cerpen tersebut : “Aku tetap menulis. Bukan untuk
membantumu atau keuangan kita, tapi
untuk diriku sendiri. Dan kamu, Mas,…., adalah inspirasiku yang tak pernah
habis”(h.13). Kalimat ini seolah adalah kalimat penulis sendiri yang
menjadikan keluarganya sebagai inspirasinya. Di cerpen Peri Biru kita
akan menemukan bahwa dunia penulis yang mengidolakan penulis idolanya. Ini
menyiratkan kekaguman Helvy sendiri pada Taufiq Ismail dan Asma Nadia : Aku
masih ingin sekolah.Sebentar lagi SMP-ku selesai. Aku ingin kenal Taufiq Ismail
dan Asma Nadia. Aku ingin seperti mereka. Dan itu artinya aku harus pintar.
Membaca membaca. Menulis menulis.Sekolah!(h.115) Dalam cerpen-cerpennya
sekalipun, Helvy begitu jujur dan begitu terus terang mengungkapkan
identitasnya. Helvy sebagai pengarang
memang lebih terbuka, jujur dan tanpa menutupi dunia dan kehidupannya sebagai
pengarang. Ia mengungkap dan membuka itu dalam cerpen-cerpennya. Cerpen-cerpen
yang ditulis Helvy bisa dikatakan memiliki keunikan sendiri-sendiri, tapi
menurut saya Helvy lebih berhasil menuliskan cerpen dengan tema bebas ketimbang
tema-tema islami. Karena itulah, saya menganggap cerpen Juragan Haji
sebagai cerpen yang biasa saja, meskipun diambil sebagai judul kumcer. Helvy
sudah menorehkan catatan dan karyanya sebagai cerpenis di negeri ini, entah
dengan label apa, setidaknya Helvy sudah menunjukkan cara dia berfihak pada apa
yang ia yakini sebagai kebenaran.
*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment