klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Tuesday 26 January 2016

Bahagia Membaca Karya Sastra





Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Salah satu kelebihan karya sastra adalah membuat batin pembacanya menjadi lebih kaya. Pembaca bisa merasa senang, ikut berempatik, bersimpatik atau bahkan ikut merasakan kesedihan si tokoh yang dikisahkan dalam karya sastra. Pembaca juga diajak menelusuri imajinasi yang coba dihadirkan oleh penulis karya sastra melalui novel, puisi atau cerita pendek.
            Apa yang dirasakan oleh kritikus sastra tak beda dengan apa yang dirasakan pembaca pada umumnya. Yang jadi berbeda adalah tatkala kritikus mesti menelusuri, menjelajahi dan menyibak misteri yang ada di karya sastra. Sehingga apa yang ada di dalam karya sastra bisa secara utuh oleh sang kritikus. Maka tak heran dalam kalangan masyarakat pembaca, kritikus dianggap sebagai seorang yang seram, sekaligus sosok pembawa kejutan. Dianggap menyeramkan karena ia bisa mendedah sampai di relung terdalam karya sastra, sedangkan dianggap sebagai pembawa kejutan karena terkadang kritiknya membuat kita terkejut, terkesima.
            Membaca buku Petualangan Yang Mustahil (2015), kita diajak untuk pelan-pelan menelusuri, menduga-duga, sampai pada kesimpulan yang membuat kita takjub. Melalui pelbagai referensi dan khazanah yang dimiliki oleh kritikus, kita seperti diajak untuk menautkan karya sastra dengan film, teori dan juga pelbagai bacaan yang ada dalam pikiran kritikus.
            Pada puisi Ahda Imran Rusa Berbulu Merah(2014) misalnya, kita diajak untuk membaca dengan konsep mythopoeia yang diartikan sebagai penciptaan mitos, atau dianggap menggemakan kembali mitologi (h.7). Tia juga mengajak kita untuk menyaksikan film Platoon yang dianggapnya menggambarkan belantara rimba yang tak putus-putus menampilkan ular, semburan darah, yang menggambarkan imajinasi visual, hal ini dianggap mirip dengan sajak-sajak Ahda.
            Di esai yang lain, kita juga diajak untuk menelusuri evolusi sajak Taufik Ismail yang bernada kritik dan sindiran kemudian beralih kepada sajak yang restropektif dan bernada kelakar. Kita juga akan menemui bagaimana penulis menyibak pelan-pelan tafsir sajak Afrizal Malna di kumpulan puisinya bertajuk Teman-Temanku dari Atap Bahasa. Yang mengejutkan adalah ketika sajak Afrizal yang biasa ditafsir sebagai sajak berbau urban, kita dikejutkan oleh bagaimana Tia membuat tafsir lain. Ia meneroka sajak Afrizal dianggap bernada sufistik. “Membaca beberapa sajak Afrizal dalam kumpulan “Teman-Temanku dari Atap Bahasa”ini saya merasakan nafas sufistik itu, ruh transendental itu  kembali menghembus sayup-sayup penaka gema musik yang melantun dari jauh. Tidak, bukan berarti Afrizal kembali menggunakan simbol-simbol sajak sufistik konvensional seperti semula, melainkan berhembusnya tenaga transendental itu sebagai “jiwa” dalam beberapa sajaknya”(h.83).
            Melalui 7 esai di buku ini, kita juga akan menemukan bagaimana penulis mengajak kita menyimak tembang yang dihadirkan oleh Iman Budhi santosa dalam buku puisinya berjudul Ziarah Tanah Jawa. Sementara itu, kita juga akan disuguhi bagaimana penulis mengajak kita bertamasya religi bersama sajak-sajak Acep ZamZam Noor. Buku ini ditutup dengan esai yang mencoba meneroka gerak gunung es cerpen Triyanto Triwikromo dalam buku kumcernya Celeng Satu Celeng Semua(2013) dan meneroka novel Lauh Mahfuhz karya Nugroho Sukmanto.
            Sebagai karya kritik sastra yang pernah terbit di media massa, tentu saja kritik sastra yang dihadirkan Tia Setiadi akan terasa biasa. Tetapi bagi pembaca khalayak yang ingin belajar kritik sastra, kumpulan esai ini bisa dijadikan referensi dan gambaran bahwa kritik sastra tak melulu terkesan rumit, dan memusingkan.
            Melalui buku kritik sastra ini, kita justru diajak untuk bahagia, bahagia karena telah membaca dan menelusuri rimba dan berpetualang bersama karya sastra. Membaca karya sastra akan membuat kita takjub dan bahagia, itulah pesan yang ada di buku ini.


*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, Pengasuh MIM PK Kartasura

*) Resensi di muat di SOLO POS Minggu 24 Januari 2016 
           

No comments:

Post a Comment