Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Salah
satu kelebihan karya sastra adalah membuat batin pembacanya menjadi lebih kaya.
Pembaca bisa merasa senang, ikut berempatik, bersimpatik atau bahkan ikut
merasakan kesedihan si tokoh yang dikisahkan dalam karya sastra. Pembaca juga
diajak menelusuri imajinasi yang coba dihadirkan oleh penulis karya sastra
melalui novel, puisi atau cerita pendek.
Apa
yang dirasakan oleh kritikus sastra tak beda dengan apa yang dirasakan pembaca
pada umumnya. Yang jadi berbeda adalah tatkala kritikus mesti menelusuri,
menjelajahi dan menyibak misteri yang ada di karya sastra. Sehingga apa yang
ada di dalam karya sastra bisa secara utuh oleh sang kritikus. Maka tak heran
dalam kalangan masyarakat pembaca, kritikus dianggap sebagai seorang yang
seram, sekaligus sosok pembawa kejutan. Dianggap menyeramkan karena ia bisa
mendedah sampai di relung terdalam karya sastra, sedangkan dianggap sebagai
pembawa kejutan karena terkadang kritiknya membuat kita terkejut, terkesima.
Membaca
buku Petualangan Yang Mustahil (2015),
kita diajak untuk pelan-pelan menelusuri, menduga-duga, sampai pada kesimpulan
yang membuat kita takjub. Melalui pelbagai referensi dan khazanah yang dimiliki
oleh kritikus, kita seperti diajak untuk menautkan karya sastra dengan film,
teori dan juga pelbagai bacaan yang ada dalam pikiran kritikus.
Pada
puisi Ahda Imran Rusa Berbulu Merah(2014)
misalnya, kita diajak untuk membaca dengan konsep mythopoeia yang diartikan sebagai penciptaan mitos, atau dianggap
menggemakan kembali mitologi (h.7). Tia juga mengajak kita untuk menyaksikan
film Platoon yang dianggapnya menggambarkan belantara rimba yang tak
putus-putus menampilkan ular, semburan darah, yang menggambarkan imajinasi
visual, hal ini dianggap mirip dengan sajak-sajak Ahda.
Di
esai yang lain, kita juga diajak untuk menelusuri evolusi sajak Taufik Ismail
yang bernada kritik dan sindiran kemudian beralih kepada sajak yang
restropektif dan bernada kelakar. Kita juga akan menemui bagaimana penulis
menyibak pelan-pelan tafsir sajak Afrizal Malna di kumpulan puisinya bertajuk Teman-Temanku dari Atap Bahasa. Yang
mengejutkan adalah ketika sajak Afrizal yang biasa ditafsir sebagai sajak
berbau urban, kita dikejutkan oleh bagaimana Tia membuat tafsir lain. Ia
meneroka sajak Afrizal dianggap bernada sufistik. “Membaca
beberapa sajak Afrizal dalam kumpulan
“Teman-Temanku dari Atap Bahasa”ini saya merasakan nafas sufistik itu,
ruh transendental itu kembali menghembus
sayup-sayup penaka gema musik yang melantun dari jauh. Tidak, bukan berarti
Afrizal kembali menggunakan simbol-simbol sajak sufistik konvensional seperti
semula, melainkan berhembusnya tenaga transendental itu sebagai “jiwa” dalam
beberapa sajaknya”(h.83).
Melalui
7 esai di buku ini, kita juga akan menemukan bagaimana penulis mengajak kita
menyimak tembang yang dihadirkan oleh Iman Budhi santosa dalam buku puisinya
berjudul Ziarah Tanah Jawa. Sementara
itu, kita juga akan disuguhi bagaimana penulis mengajak kita bertamasya religi
bersama sajak-sajak Acep ZamZam Noor. Buku ini ditutup dengan esai yang mencoba
meneroka gerak gunung es cerpen Triyanto Triwikromo dalam buku kumcernya Celeng Satu Celeng Semua(2013) dan
meneroka novel Lauh Mahfuhz karya Nugroho Sukmanto.
Sebagai
karya kritik sastra yang pernah terbit di media massa, tentu saja kritik sastra
yang dihadirkan Tia Setiadi akan terasa biasa. Tetapi bagi pembaca khalayak
yang ingin belajar kritik sastra, kumpulan esai ini bisa dijadikan referensi
dan gambaran bahwa kritik sastra tak melulu terkesan rumit, dan memusingkan.
Melalui
buku kritik sastra ini, kita justru diajak untuk bahagia, bahagia karena telah
membaca dan menelusuri rimba dan berpetualang bersama karya sastra. Membaca
karya sastra akan membuat kita takjub dan bahagia, itulah pesan yang ada di
buku ini.
*) Penulis adalah
Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, Pengasuh MIM PK Kartasura
*) Resensi di muat di SOLO POS Minggu 24 Januari 2016
No comments:
Post a Comment