Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Membaca cerita konon bisa dianggap
lebih ringan daripada membaca berita. Orang sering beranggapan berita lebih
serius, berkaitan dengan fakta dan aktualitas. Tetapi cerita bisa lain. Cerita
memberi ruang bagi kita untuk berdiam sejenak, merenung, dan bermeditasi walau
sejenak. Tetapi, dunia jurnalisme memberi kemungkinan lain, memberikan ruang
bertemu antara berita dan cerita. Apa yang kita kenal sebagai jurnalisme
sastrawi memberi ruang pertemuan antara berita dan cerita. Catatan Linda
Chirstanty yang diberi judul seekor
burung kecil biru di Naha mempertemukan antara dunia berita dan dunia
cerita. Masa lalu dan masa depan, yang aktual dan yang lampau seolah bertaut
jadi satu jadi sebuah liputan yang kian menarik. Linda mengolah berita tak
sekadar pengungkapan kebenaran dan liputan yang actual. Linda mengajak
tokoh-tokoh dalam peristiwa dalam berita ikut diberi ruang berbicara mengenai
segala hal. Kebetulan di buku ini Linda mencoba menarik benang merah liputannya
menjadi tiga hal penting yakni : konflik, tragedy, dan rekonsiliasi. Dari tema
itu, Linda tak lupa mencoba menarik garis simpul antara liputannya dengan
pengalaman biografisnya. Dari kisah tentang Ayahnya, keluarganya sampai kepada
peristiwa di tanah kelahirannya (Aceh).
Melalui jurnalisme sastrawi, berita
tak sekadar menjadi sebuah kisah yang hanya berumur satu sampai lima menit.
Tetapi bisa berumur panjang dan tetap menarik dibaca sampai kapanpun. Tak hanya
persoalan bahasa yang bermain, judul dan cara bertutur mengisahkan berita jadi
sesuatu yang bernilai menjadi salah satu keunggulan dari reportase jurnalisme
sastrawi. Melalui liputan-liputan dalam buku ini, kita bisa mengerti bahwa
Linda tak mencoba memisahkan jarak antara pembaca dengan apa yang
dikisahkannya. Pembaca diajak untuk memasuki latar tempat, bahkan emosi sang
tokoh yang dituturkan melalui wawancara dengan sumber berita. Hal itulah yang
membuat liputan ini tak sekadar liputan, tetapi ada intimitas dan
emosionalitas. Simak saja liputan yang berjudul Berdamai Dari Bawah. Pada liputan ini Linda menyoroti bagaimana
proses dan sejarah panjang perjuangan perdamaian yang terjadi di Aceh semenjak
era Soeharto sampai sekarang. Kita tahu, perang dan konflik tak bisa
disembuhkan begitu saja dalam waktu yang singkat. Karena itulah, para anak muda
di Aceh sadar akan konsekuensi itu, dengan membangun museum HAM pertama di Asia
tenggara. Melalui sumber berita Linda menuliskan pendapat para anak muda ini
yang ingin perdamaian. Tetapi juga dengan dibangunnya museum, orangtua dan
semua generasi muda semakin mengerti bahwa perang begitu kejam dan keji. Bahkan
tak jarang merenggut korban dari keluarga kita sendiri.
Membaca buku Seekor Burung Kecil Biru di Naha (2015) kita seolah seperti
mendengarkan dan menyimak cerita Linda. Linda mengisahkan orang-orang dengan
segala lika-likunya, menyoroti dari sudut paling dalam, menyentuhnya dan
mengajak orang-orang itu bersuara. Di dalam buku ini, Linda berperan ganda
sekaligus sebagai seorang Wartawan sekaligus Sastrawan. Bahasa Linda begitu
memikat, menyentuh dan menyentil. Ia tak hanya bertutur tentang peristiwa
perang dan konflik, ada kegetiran yang dikisahkan dari kesepian seorang nenek
dan orang-orang jompo, ada kesepian dan keterkucilan seorang waria, sampai pada
cerita dan kehidupan perempuan di Jepang yang memilih karier.
Berita jadi tak sekadar peristiwa di
tangan Linda, ia bisa menjadi sebuah kisah yang mengesankan, menyentuh dan
membuat kita merenungi makna kejadian-kejadian di sekitar kita. Peristiwa jadi
bahan untuk kita insafi, bukan sebagai sesuatu yang berlalu dan menghilang.
Tetapi sebagai kisah dan pelajaran bagi nurani dan kemanusiaan kita. Dari
berita yang disuguhkan Linda, kita bisa memetik pelajaran berharga dari segala
peristiwa di berbagai belahan dunia. Ketidakadilan yang mengatasnamakan suku,
ras, agama, maupun ideology akan membuat kita menjadi manusia yang nista.
Begitu.
*) Penulis adalah Peresensi Buku, tinggal
di kartasura, Sukoharjo
No comments:
Post a Comment