Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Majalah, berita, ataupun surat kabar
terlanjur dianggap sebagai sebuah kebaruan. Yang aktual, yang sekarang tentu
menjadi perhatian banyak pihak. Karena itulah, orang jarang menengok apa yang
lampau, yang lalu. Untuk itulah, media cetak utamanya majalah atau koran
menyediakan ruang untuk sesuatu yang lampau, dan lawas menjadi aktual melalui
rubrik : opini di setiap harinya.
Barangkali disinilah kekuatan esai,
ia mampu memadukan antara yang lampau, dan yang sekarang. Antara yang lawas
dengan yang baru. Tetapi tak mudah bagi seorang penulis untuk memadukan antara
yang lampau, dengan yang sekarang. Orang tak hanya memerlukan referensi
berlimpah, tetapi juga memerlukan ketekunan untuk menggarap perpaduan dua hal
ini dalam satu esai yang memikat pembaca.
Diantara sekian penulis indonesia
misalnya, kita bisa menyebut GM, Ignas Kleden, atau Seno Gumira Adji Darma. Mereka
adalah orang-orang yang tak hanya mengurusi sesuatu yang aktual, yang sekarang,
tetapi melalui olah tubuh, pengalaman, dan juga pembacaan mendalam para penulis
ini mampu menghadirkan sesuatu yang lampau, yang lawas menjadi suguhan yang
memikat.
Tentu saja kerja penulis yang
semacam ini tergolong “minor” dalam jagad kepenulisan di negeri ini. Bandung
Mawardi adalah satu dari sekian orang yang mencoba untuk melakukan kerja
semacam itu. Melalui ketekunannya membaca dan mengulas buku-buku lawas, kita
bisa menemukan bagaimana yang lampau dan yang aktual bisa menjadi satu dalam
satu sajian esai.
Kita bisa menyimak bagaimana BM di
esainya yang bertajuk “nisan” cukup menggebrak dengan kalimat pembuka memukau
mengisahkan yang aktual : “Para
penggerak hak asasi manusia bakal melakukan pemasangan nisan di kuburan massal
di Plumbon, Wonosari, Semarang, Jawa Tengah. Selama puluhan tahun, kuburan itu
tak beridentitas tapi mengingatkan malapetaka 1965”. Penggunaan kata “bakal”
tentu merujuk kepada berita, informasi dan peristiwa yang sedang direncanakan.
Kemudian disusul kalimat berikutnya yang mencoba mengajak kita untuk mengingat
memori masa silam dengan menggunakan kalimat
pendek “selama puluhan tahun”
dipadukan dengan kalimat akhir yang
“mengingatkan malapetaka 1965”.
Dari paragraf pembuka ini, kita
sudah bisa menebak bagaimana cara penulis mencoba untuk mengaitkan, menautkan
yang sekarang, yang aktual dengan yang lampau. Tetapi bukan berarti yang lampau
tak memerlukan dalil, atau pengesahan. Melalui
referensi, sumber berita, koran, majalah lawas sampai buku-buku lawas, BM
melakukan kerja untuk memberikan pengesahan atas gagasannya. BM mencoba
melakukan perunutan, pelacakan dan penyusunan argumentasi yang kokoh di esainya
meski terkadang terlampau susah untuk mengajak kita untuk lekas percaya. Kita
bisa menilik dari kutipan esainya yang mencoba menautkan antara “nisan dalam
latar politik”, dengan “nisan dalam puisi”. “Joko Pinurbo dalam puisi berjudul Sedang
Apa (2006) memberi cerita kecil mengenai nisan: Sedang apa, penyair,
malam-malam/ masih sibuk menempa dan memahat kata?/ Sedang membuat patung
dirimu?// Sedang membuat batu nisan untukmu. Kemunculan “batu nisan”
mengesankan ada pengekalan kerja berpuisi. Gubahan puisi diharapkan melampaui
usia pujangga, hadir sebagai ingatan atas biografi dan arus perkembangan
sastra”(h.10).
Membaca esai pembuka di buku ini
kita jelas tak menemukan aroma yang pas antara perpaduan “nisan berlatar
politik” dengan “nisan berlatar puisi” atau biografi penyair. Ajakan dan
metafora boleh saja dipaparkan, tetapi tetap membuat pembaca tak lekas percaya.
Tarikan antara puisi dengan nisan barangkali muncul karena kerja literasi BM
menautkan antara sastra dengan urusan sejarah dan referensi. BM memang mengajak
kita tak mengabaikan puisi. Tetapi kemauan BM tentu tak selalu bisa berterima
dengan kemauan pembaca. Di sisi ini, barangkali kelebihan sekaligus
kekurangannya.
Pinggir
Esai-esai
BM memang terkadang membuat kita tergelitik dan membuat kita tersentil. BM tak
hanya mengurusi urusan dan tema-tema besar. Ia bergerak mengurusi tema-tema
sepele diangkat kepada urusan tafsir
politik, sejarah, sosial, ekonomi dan politik. Meski di mata kita, tema-tema
kecil ini suah lazim dan jamak, tapi BM tak lekas menganggap tema-tema ini
sebagai tema yang klise apalagi basi.
Di buku ini misalnya kita bisa
melihat tema-tema remeh disulap menjadi
tema yang penting dan aktual di depan kita seperti “beras”, “rezeki”, “pohon”,
“lampu”, “foto”, “bulu tangkis” dan lain-lain. Keseriusan menggarap yang
pinggir, yang remeh, dan tak banyak digagas orang menjadi cara kerja tersendiri
baginya. Bagi BM, tema-tema seperti itulah yang akrab di sekitar kita, tak
terlepas dari kehidupan kita, ikut dalam keseharian kita.
Karena itulah, urusan menulis esai
baginya tak beda dengan urusan melakukan aktifitas sehari-hari. Pada sisi
itulah, ia tak hendak menyusun sesuatu yang muluk-muluk, mendalam dan serius.
Bisa jadi karena itulah kumpulan esai ini diberi judul “cuilan” (potongan).
Lalu siapa yang bakal menggenapinya?, tentu BM tak mengurusi itu. Ia hanya
hendak mengabarkan, dan menyiarkan bahwa melalui kerja literasi yang ia jalani,
ia ingin menghadirkan yang sepotong itu, yang tak utuh itu, meski terkadang
terkesan lucu dan wagu. Begitu.
*) Penulis adalah Pengasuh MIM PK kartasura,
Nyantrik di BILIK LITERASI SOLO
No comments:
Post a Comment