klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Tuesday 26 January 2016

Yang Lampau dan Yang Pinggir






Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Majalah, berita, ataupun surat kabar terlanjur dianggap sebagai sebuah kebaruan. Yang aktual, yang sekarang tentu menjadi perhatian banyak pihak. Karena itulah, orang jarang menengok apa yang lampau, yang lalu. Untuk itulah, media cetak utamanya majalah atau koran menyediakan ruang untuk sesuatu yang lampau, dan lawas menjadi aktual melalui rubrik : opini di setiap harinya.
            Barangkali disinilah kekuatan esai, ia mampu memadukan antara yang lampau, dan yang sekarang. Antara yang lawas dengan yang baru. Tetapi tak mudah bagi seorang penulis untuk memadukan antara yang lampau, dengan yang sekarang. Orang tak hanya memerlukan referensi berlimpah, tetapi juga memerlukan ketekunan untuk menggarap perpaduan dua hal ini dalam satu esai yang memikat pembaca.
            Diantara sekian penulis indonesia misalnya, kita bisa menyebut GM, Ignas Kleden, atau Seno Gumira Adji Darma. Mereka adalah orang-orang yang tak hanya mengurusi sesuatu yang aktual, yang sekarang, tetapi melalui olah tubuh, pengalaman, dan juga pembacaan mendalam para penulis ini mampu menghadirkan sesuatu yang lampau, yang lawas menjadi suguhan yang memikat.
            Tentu saja kerja penulis yang semacam ini tergolong “minor” dalam jagad kepenulisan di negeri ini. Bandung Mawardi adalah satu dari sekian orang yang mencoba untuk melakukan kerja semacam itu. Melalui ketekunannya membaca dan mengulas buku-buku lawas, kita bisa menemukan bagaimana yang lampau dan yang aktual bisa menjadi satu dalam satu sajian esai.
            Kita bisa menyimak bagaimana BM di esainya yang bertajuk “nisan” cukup menggebrak dengan kalimat pembuka memukau mengisahkan yang aktual : “Para penggerak hak asasi manusia bakal melakukan pemasangan nisan di kuburan massal di Plumbon, Wonosari, Semarang, Jawa Tengah. Selama puluhan tahun, kuburan itu tak beridentitas tapi mengingatkan malapetaka 1965”. Penggunaan kata “bakal” tentu merujuk kepada berita, informasi dan peristiwa yang sedang direncanakan. Kemudian disusul kalimat berikutnya yang mencoba mengajak kita untuk mengingat memori masa silam dengan menggunakan kalimat  pendek  “selama puluhan tahun” dipadukan dengan kalimat akhir yang  “mengingatkan malapetaka 1965”.
            Dari paragraf pembuka ini, kita sudah bisa menebak bagaimana cara penulis mencoba untuk mengaitkan, menautkan yang sekarang, yang aktual dengan yang lampau. Tetapi bukan berarti yang lampau tak memerlukan dalil, atau pengesahan.    Melalui referensi, sumber berita, koran, majalah lawas sampai buku-buku lawas, BM melakukan kerja untuk memberikan pengesahan atas gagasannya. BM mencoba melakukan perunutan, pelacakan dan penyusunan argumentasi yang kokoh di esainya meski terkadang terlampau susah untuk mengajak kita untuk lekas percaya. Kita bisa menilik dari kutipan esainya yang mencoba menautkan antara “nisan dalam latar politik”, dengan “nisan dalam puisi”. “Joko Pinurbo dalam puisi berjudul Sedang Apa (2006) memberi cerita kecil mengenai nisan: Sedang apa, penyair, malam-malam/ masih sibuk menempa dan memahat kata?/ Sedang membuat patung dirimu?// Sedang membuat batu nisan untukmu. Kemunculan “batu nisan” mengesankan ada pengekalan kerja berpuisi. Gubahan puisi diharapkan melampaui usia pujangga, hadir sebagai ingatan atas biografi dan arus perkembangan sastra”(h.10).
            Membaca esai pembuka di buku ini kita jelas tak menemukan aroma yang pas antara perpaduan “nisan berlatar politik” dengan “nisan berlatar puisi” atau biografi penyair. Ajakan dan metafora boleh saja dipaparkan, tetapi tetap membuat pembaca tak lekas percaya. Tarikan antara puisi dengan nisan barangkali muncul karena kerja literasi BM menautkan antara sastra dengan urusan sejarah dan referensi. BM memang mengajak kita tak mengabaikan puisi. Tetapi kemauan BM tentu tak selalu bisa berterima dengan kemauan pembaca. Di sisi ini, barangkali kelebihan sekaligus kekurangannya. 

Pinggir 

               Esai-esai BM memang terkadang membuat kita tergelitik dan membuat kita tersentil. BM tak hanya mengurusi urusan dan tema-tema besar. Ia bergerak mengurusi tema-tema sepele diangkat kepada urusan  tafsir politik, sejarah, sosial, ekonomi dan politik. Meski di mata kita, tema-tema kecil ini suah lazim dan jamak, tapi BM tak lekas menganggap tema-tema ini sebagai tema yang klise apalagi basi.
            Di buku ini misalnya kita bisa melihat tema-tema  remeh disulap menjadi tema yang penting dan aktual di depan kita seperti “beras”, “rezeki”, “pohon”, “lampu”, “foto”, “bulu tangkis” dan lain-lain. Keseriusan menggarap yang pinggir, yang remeh, dan tak banyak digagas orang menjadi cara kerja tersendiri baginya. Bagi BM, tema-tema seperti itulah yang akrab di sekitar kita, tak terlepas dari kehidupan kita, ikut dalam keseharian kita.
            Karena itulah, urusan menulis esai baginya tak beda dengan urusan melakukan aktifitas sehari-hari. Pada sisi itulah, ia tak hendak menyusun sesuatu yang muluk-muluk, mendalam dan serius. Bisa jadi karena itulah kumpulan esai ini diberi judul “cuilan” (potongan). Lalu siapa yang bakal menggenapinya?, tentu BM tak mengurusi itu. Ia hanya hendak mengabarkan, dan menyiarkan bahwa melalui kerja literasi yang ia jalani, ia ingin menghadirkan yang sepotong itu, yang tak utuh itu, meski terkadang terkesan lucu dan wagu. Begitu.


 *) Penulis adalah Pengasuh MIM PK kartasura, Nyantrik di BILIK LITERASI SOLO

No comments:

Post a Comment