Cerita Gunawan mengajak kita untuk hanyut kedalam aroma masa lalu, aroma yang lampau, untuk menyentak dan mengejutkan yang cepat, yang saat ini, yang cenderung berjalan cepat tanpa jeda
Bagi
Gunawan Maryanto, barangkali menulis cerita seperti meniupkan kata-kata atau
mendongeng di depan anaknya. Maka cerita-cerita yang ditulisnya ibarat cerita
yang dikisahkan olehnya untuk anaknya. Kita, pembaca, jadi diajak untuk menjadi
kanak-kanak lagi. Melalui suara dan tatapan mata yang membaca ceritanya, kita
berubah jadi penyimak cerita, kita jadi hanyut dalam dongeng yang ia bunyikan
lewat cerpen-cerpennya. Buku kumpulan cerpen Usaha Menjadi Sakti menjadi
jalan bagi Gunawan untuk merawat dongeng sebagai sebuah cerita. Kita tahu,
bahwa mendongeng di saat ini menjadi sesuatu yang langka. Di tengah derasnya
arus televise, media social dan juga maraknya hand-phone, anak-anak merasa tak
lagi perlu dongeng. Dari dongeng itulah, sebenarnya kita bisa menaruh nafas
cultural dan nafas moral yang bisa diambil dari balik kisah-kisah itu. Karena
dongeng yang ditulis oleh Gunawan Maryanto adalah untuk semua orang, maka ia
pun memadukan antara imajinasi dan juga dongeng lewat ceritanya. Ia mengajak
kita memasuki dunia yang asing, tapi terasa dekat dengan kita. Simaklah awalan
cerita berjudul Sarengas berikut ini : “Sarengas ingin menguasai bahasa. Segala
bahasa yang ada di muka bumi”. Awalan ini adalah awalan yang terasa khayali, tapi
dihidupkan oleh Gunawan menjadi awal bercerita yang menyentak dan menghentak.
Di cerita Lukmanakim kita tak hanya diajak untuk mengimajinasikan lukman yang
diabadikan dalam Qur’an, lebih dari itu, kita diajak untuk mendekatkan cerita
dan kisah lampau dari agama. Gunawan mengajak kita untuk menelusuri kembali
teks-teks lampau yang sengaja jadi bahan ceritanya melalui serat menak karya R. Ng. Yosodipuro. Ia membagi kumcernya
dalam dua ruang, yakni Ruang pertama dan
Ruang kedua. Di Ruang Pertama, kita akan
menemui kisah-kisah yang berbau dongeng, Sarengas, Lukmanakim, Bektijamal,
Gangga, Dua Pendekar. Sedang di Ruang Kedua, kita melihat kekhasan Gunawan
dengan cerita dan bahasa yang datar, tak begitu meliuk-liuk, lugas tetapi
mengajak kita terus untuk penasaran dan membaca ceritanya sampai habis. Kita
bisa menyimak dalam cerpen Usaha Menjadi Sakti 1 dan Usaha menjadi sakti 2.
Dengan awalan cerita yang sama menyentak pula seperti di Ruang pertama dalam
buku kumcer ini. Saya jadi teringat tatkala membaca kumcernya di Galigi(2007)
kita pun akan menemukan kekhasannya dalam
bercerita. Kita diajak memasuki dunia khayali, dunia yang tiba-tiba
hadir di depan mata kita.
Kita memang masih memerlukan
dongeng. Dongeng bagi anak-anak maupun untuk kaum dewasa. Dari fiksi itulah
kita belajar tentang makna kesedihan, harapan, bahkan kemenangan yang paling
khayali sekalipun. Sebab dari itulah, kita akan mengerti, hidup kita bukan
sekadar fiksi, melainkan realitas yang tak selalu kaku, tak selalu monoton dan
penuh variasi. Membaca cerpen adalah mendengarkan dongeng. Kita akan merasa
berterima, menyerahkan telinga kita untuk menelisik dan menyimak dengan khusyuk
dongeng dari Gunawan Maryanto. Gunawan Maryanto menunjukkan dengan cara yang
paling sederhana. Ia tak membuat cerita dengan diksi dan metafora yang meliuk.
Lebih dari itu, Gunawan justru mengajak dan menghidupkan diksi-diksi yang
bertaut dengan apa yang lampau, beraroma desa, beraroma jawa, dan cerita di
masa lampau. Ia seolah mencoba mendekatkan yang lampau, mendekatkan masa yang
lewat, yang tak bisa kita hilangkan begitu saja, bahkan tak bisa hilang.
Gunawan mengingatkan kita, di tengah dunia dan arus cerita dan produktifitas
sastra bergaya modern, Gunawan seperti menyeru, bahwa kisah-kisah dan
dongeng-dongeng itu membuat kita menjadi seperti sekarang. Mustahil hidup di
era sekarang dengan menghapus ingatan dan cerita kita di masa lalu. Usaha
menjadi Sakti adalah cara Gunawan Maryanto menyentuh pembaca untuk memasuki
dunia mereka sendiri. Barangkali dari cerita yang dituturkan Gunawan, kita jadi
menggali kembali apa yang telah lewat. Gunawan meniupkan kerinduan kita kepada
yang sudah lalu, kepada yang hampir hilang. Meski demikian, kita jadi tak tahu
dan tak bisa mencari jalan pulang kepada tradisi lisan, mendongeng. Dahulu
tukang dongeng begitu laku dan begitu memikat, tapi sekarang?. Barangkali kita
sudah tak lagi menganggap bahwa tukang dongeng itu ada. Mungkin, posisi itulah
yang coba diisi oleh Gunawan Maryanto, ia ingin mendongeng dan terus mendongeng
untuk kita.
Bagiku, disitulah cerita pendek akan
tetap mendapatkan tempat, ia akan hadir seperti tamu di tiap hari minggu. Ia
akan hadir untuk menyela dari yang cepat. Untuk mengingatkan dari yang lupa.
Kita sadar, kita memerlukan masa lalu, sebagai cermin, sekaligus cara kita
menelisik sejarah dan riwayat kita dulu. Sejarah, pada mulanya adalah pelajaran
dari masa lalu. Dari dongeng, cerita, kita diingatkan ada yang tak mau dibuang,
ada yang tak mau hilang dari bagian kita dan riwayat orang terdahulu. Cerita
Gunawan mengajak kita untuk hanyut kedalam aroma masa lalu, aroma yang lampau,
untuk menyentak dan mengejutkan yang cepat, yang saat ini, yang cenderung
berjalan cepat tanpa jeda.
No comments:
Post a Comment