ia adalah perkara seberapa mampu kita berbuat dan melakukan sesuatu untuk menjadikan hidup kita benar-benar berharga
Siang ini aku mendapat komentar
pendek tentang novel Yu Hua Hidup dari Budiawan Dwi santoso, ia mengirim pesan,
“sendu, mengingatkan banyak hal”. Aku puas membaca tuntas novel itu, sesuai
dengan tekadku aku selesai. Aku ingat benar bagaimana kisah di novel itu begitu
miris berkisah tentang kegetiran revolusi. Aku mengirim resensi ke Jawa pos.
Malam sebelumnya aku mengobrol banyak dengan Budiawan. Di siang ini aku ngobrol
bersama muridku, berkisah tentang novel itu. Aku merasa senang membaca buku. Aku
seperti mendapati kisah, dan banyak hal bersama buku. Buku mengingatkanku
kepada hidup yang aku jalani itu sendiri. Aku tak mengutuki aku dilahirkan dari
mana dan oleh siapa, aku senang dan bersyukur hidup seperti sekarang. Setidaknya
aku jadi termangu, hidup tak mesti harus direnungkan dan dipikirkan
terus-menerus, hidup mesti dijalani.
Saya tak banyak memiliki cita-cita
seperti kebanyakan orang. Hidup yang sampai sekarang aku alami inipun bukan
merupakan hasrat dan ambisi yang coba aku dapatkan sebagaimana orang berhasrat
mengejar hidup. Aku bukan tipe orang yang terlampau lelah menguras tenaga dan
pikiran yang oleh orang jawa sering disebut: ngoyo. Tetapi bukan berarti aku tak memiliki rencana hidup
sebagaimana yang orang tuduhkan. Aku memiliki harapan-harapan, namun aku tak
mau mati dengan harapan, aku ingin hidup dijalani dengan mengalir, santai kalau
orang boleh bilang sebagaimana kritik Giddens soal modernitas yang terlampau
pasti dengan rencana-rencana, aku tak ingin seperti itu.
Mengingat novel Yu Hua, To live
(hidup) ini, aku seperti diingatkan betapa perjuangan terhadap hidup adalah
perjuangan tanpa lelah mengurusi perut mengurusi rumah, sampai mengurusi tanah,
dan bahkan sang tokoh ini hidup seperti kerja tanpa henti. Tetapi mereka
membawa alasan dan sebab mengapa ia harus hidup dengan begitu keras. Ia mesti
mempertahankan nyawa dan setiap kesempatan yang diberikan Tuhan padanya. Fu gui
seperti menolak dan melawan kematian, isterinya pun demikian halnya, saya jadi
ingat tatkala melihat orang-orang dan teman-teman di sekitar kita sakit, sering
mereka tak masuk kerja bahkan lebih memilih diam dan tidur. Bagi Fu gui ini
adalah kesalahan, bagaimana mungkin
tangan dan kaki masih bisa bergerak dan masih bisa bekerja harus dibiarkan
untuk diam. Bagi Fu gui hidup adalah gerak yang tak pernah henti sampai pada
titik penghabisan.
Tetapi ia melihat keluarga, melihat
kebahagiaan dan melihat orang-orang disekitarnya tersenyum dan menaruh hormat
pada sikap hidupnya. Disinilah, seorang yang memiliki etos hidup tentu akan
demikian halnya. Ia mampu menyelesaikan urusan keluarga dan dukungan dari
keluarga mengalir bak mata air. Fu gui berlimpah kasih sayang dari sang isteri,
saat dia diatas ataupun saat ia jatuh. Isterinya yang memberi mata air
keteladanan kepada hidup yang ia jalani. Isterinya tak menolak, tak marah, tak
menuntut, ia hanya ingin tangan yang ia punya bisa membantu suaminya mencapai
apa yang belum didapat dari hidup. Akhirnya mereka memiliki itu, memeluknya dan
tak melepaskannya yakni : kebahagiaan. Kebahagiaan inilah yang pada akhirnya
harus direnggut dan direlakan dengan kematian.
Tetapi Fu gui, Jiangzhen, mereka
adalah orang-orang yang tak pernah mengeluh dengan kematian anak-anaknya. Mereka
hanya berfikir mengapa anak-anak mereka harus mati dengan kematian yang
setragis ini. Tapi pilihan Youqing justru membuat bapak mereka bangga pada satu
sisi, anaknya mati untuk menolong nyawa orang lain. Begitupun ketika melihat
kematian Fengxia anak perempuannya yang tuli dan bisu harus mati ketika
melahirkan anaknya. Fu gui dan Jiangzhen menerima takdir hidupnya dengan tabah.
Bukankah begitu pula kita sebagai
manusia menyikapi hidup. Ini bukan sekadar kisah yang tak mengenali ibadah dan
religiusitas. Meski kisah ini tak mengutip kisah tentang ibadah, tentang Tuhan.
Novel ini benar-benar memberikan gambaran detail bagaimana kita mesti
menghadapi hidup ini. Hidup adalah alasan kenapa kita dilahirkan, karena
itulah, sebelum mati merenggut, alangkah baik dan alangkah bijaknya kita
memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Saya jadi ingat kisah seorang penulis yang hampir
mati berkali-kali Radar Panca Dahana, ia mengatakan “selama saya belum digedok,
dipukul waktunya, saya akan hidup dan menolak mati”. Merinding saya ketika
ingat kata-kata itu. Tubuhnya sudah penuh dengan suntikan, tetapi hidup bukan
perkara itu, ia adalah perkara seberapa mampu kita berbuat dan melakukan
sesuatu untuk menjadikan hidup kita benar-benar berharga.
Selasa, 10 Maret 2015
No comments:
Post a Comment