klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 9 March 2015

Hidup…




ia adalah perkara seberapa mampu kita berbuat dan melakukan sesuatu untuk menjadikan hidup kita benar-benar berharga


            Siang ini aku mendapat komentar pendek tentang novel Yu Hua Hidup dari Budiawan Dwi santoso, ia mengirim pesan, “sendu, mengingatkan banyak hal”. Aku puas membaca tuntas novel itu, sesuai dengan tekadku aku selesai. Aku ingat benar bagaimana kisah di novel itu begitu miris berkisah tentang kegetiran revolusi. Aku mengirim resensi ke Jawa pos. Malam sebelumnya aku mengobrol banyak dengan Budiawan. Di siang ini aku ngobrol bersama muridku, berkisah tentang novel itu. Aku merasa senang membaca buku. Aku seperti mendapati kisah, dan banyak hal bersama buku. Buku mengingatkanku kepada hidup yang aku jalani itu sendiri. Aku tak mengutuki aku dilahirkan dari mana dan oleh siapa, aku senang dan bersyukur hidup seperti sekarang. Setidaknya aku jadi termangu, hidup tak mesti harus direnungkan dan dipikirkan terus-menerus, hidup mesti dijalani.
            Saya tak banyak memiliki cita-cita seperti kebanyakan orang. Hidup yang sampai sekarang aku alami inipun bukan merupakan hasrat dan ambisi yang coba aku dapatkan sebagaimana orang berhasrat mengejar hidup. Aku bukan tipe orang yang terlampau lelah menguras tenaga dan pikiran yang oleh orang jawa sering disebut: ngoyo. Tetapi bukan berarti aku tak memiliki rencana hidup sebagaimana yang orang tuduhkan. Aku memiliki harapan-harapan, namun aku tak mau mati dengan harapan, aku ingin hidup dijalani dengan mengalir, santai kalau orang boleh bilang sebagaimana kritik Giddens soal modernitas yang terlampau pasti dengan rencana-rencana, aku tak ingin seperti itu.
            Mengingat novel Yu Hua, To live (hidup) ini, aku seperti diingatkan betapa perjuangan terhadap hidup adalah perjuangan tanpa lelah mengurusi perut mengurusi rumah, sampai mengurusi tanah, dan bahkan sang tokoh ini hidup seperti kerja tanpa henti. Tetapi mereka membawa alasan dan sebab mengapa ia harus hidup dengan begitu keras. Ia mesti mempertahankan nyawa dan setiap kesempatan yang diberikan Tuhan padanya. Fu gui seperti menolak dan melawan kematian, isterinya pun demikian halnya, saya jadi ingat tatkala melihat orang-orang dan teman-teman di sekitar kita sakit, sering mereka tak masuk kerja bahkan lebih memilih diam dan tidur. Bagi Fu gui ini adalah kesalahan,  bagaimana mungkin tangan dan kaki masih bisa bergerak dan masih bisa bekerja harus dibiarkan untuk diam. Bagi Fu gui hidup adalah gerak yang tak pernah henti sampai pada titik penghabisan.
            Tetapi ia melihat keluarga, melihat kebahagiaan dan melihat orang-orang disekitarnya tersenyum dan menaruh hormat pada sikap hidupnya. Disinilah, seorang yang memiliki etos hidup tentu akan demikian halnya. Ia mampu menyelesaikan urusan keluarga dan dukungan dari keluarga mengalir bak mata air. Fu gui berlimpah kasih sayang dari sang isteri, saat dia diatas ataupun saat ia jatuh. Isterinya yang memberi mata air keteladanan kepada hidup yang ia jalani. Isterinya tak menolak, tak marah, tak menuntut, ia hanya ingin tangan yang ia punya bisa membantu suaminya mencapai apa yang belum didapat dari hidup. Akhirnya mereka memiliki itu, memeluknya dan tak melepaskannya yakni : kebahagiaan. Kebahagiaan inilah yang pada akhirnya harus direnggut dan direlakan dengan kematian.
            Tetapi Fu gui, Jiangzhen, mereka adalah orang-orang yang tak pernah mengeluh dengan kematian anak-anaknya. Mereka hanya berfikir mengapa anak-anak mereka harus mati dengan kematian yang setragis ini. Tapi pilihan Youqing justru membuat bapak mereka bangga pada satu sisi, anaknya mati untuk menolong nyawa orang lain. Begitupun ketika melihat kematian Fengxia anak perempuannya yang tuli dan bisu harus mati ketika melahirkan anaknya. Fu gui dan Jiangzhen menerima takdir hidupnya dengan tabah.
            Bukankah begitu pula kita sebagai manusia menyikapi hidup. Ini bukan sekadar kisah yang tak mengenali ibadah dan religiusitas. Meski kisah ini tak mengutip kisah tentang ibadah, tentang Tuhan. Novel ini benar-benar memberikan gambaran detail bagaimana kita mesti menghadapi hidup ini. Hidup adalah alasan kenapa kita dilahirkan, karena itulah, sebelum mati merenggut, alangkah baik dan alangkah bijaknya kita memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Saya jadi ingat kisah seorang penulis yang hampir mati berkali-kali Radar Panca Dahana, ia mengatakan “selama saya belum digedok, dipukul waktunya, saya akan hidup dan menolak mati”. Merinding saya ketika ingat kata-kata itu. Tubuhnya sudah penuh dengan suntikan, tetapi hidup bukan perkara itu, ia adalah perkara seberapa mampu kita berbuat dan melakukan sesuatu untuk menjadikan hidup kita benar-benar berharga.

Selasa, 10 Maret 2015

No comments:

Post a Comment