klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 5 March 2015

Kota…





Oleh Arif Saifudin Yudistira*) 

            Sudah hampir sepuluh tahun aku tinggal di kota ini, kota Solo. Tepatnya di perbatasan Solo, Sukoharjo, di Kartasura. Selama dua tahun aku mengajar disini, aku menyaksikan pagi yang berseliweran dengan kecepatan yang cukup kencang. Mobil-mobil seperti bergoyang dengan luwesnya di jalan raya. Jalan raya ibarat panggung bagi para musisi dan para awak dangdut. Para awak dangdut dan musisi itu terdiri dari mobil, sepedar motor, dan truk yang hampir tiap pagi memadati jalan di dekat sekolahku. Sekolahku memiliki pohon, sesuatu yang jarang dimiliki bagi sekolah modern. Terkadang aku berfikir apa jadinya manusia tanpa pohon, lalu bila sekolah tanpa pohon, apa itu mungkin?. Dan nyatanya sekolah di kota-kota besar tetap menamakan dirinya sekolah, meski pohon-pohonnya artificial.
            Sore ini, anak-anak sudah mulai pulang. Kebetulan ini bukan jadwal piketku, hingga aku sempatkan menulis. Hari-hari di sekolah tak hanya menguras otak, tetapi juga menguras emosi. Terkadang guru perlu banyak belajar bersabar menghadapi murid yang sedikit “unik”. Anak-anak tak suka sekali diancam, ancaman justru membuat mereka semakin panik dan ketakutan. Aku merasa cuaca di sekolahku terasa begitu aneh, membuat tubuh lemas begitu saja. Aku bangun tadi pagi jam tiga, aku selesaikan buku Kota-Kota Imajiner(2006) garapan Italo Calvino. Ia lahir di kuba dan tumbuh besar di Italia. Ia adalah Esais, Jurnalis, dan Novelis. Novel ini bagiku terlampau tinggi. Ia tak hanya memadukan urusan imajinasi surealis. Ia menghidupkan kota begitu sublime dan subtil. Kota-kota tak hanya merupakan gambaran sebuah hasrat manusia, tetapi semacam cara terburuk untuk membangun dan memugar sebuah tempat. Dari kota itulah, dikisahkan bahwa Kaisar Kublai Khan ingin Marcopolo mengisahkan kota-kota yang dilewatinya agar kelak Kublai Khan memiliki hasrat untuk membangun kota-kota itu. Tetapi ada yang ganjil dari cara mengisahkan kota yang dilakukan oleh Marcopolo. Kota seperti adegan kata-kata yang suatu ketika bisa runtuh dengan sekejap.
            Penggambaran kota sebagai sesuatu yang hidup, perlu dipertimbangkan dengan matang nampak dalam percakapan antara Marcopolo dengan Kublai Khan yang ditulis di novel ini. Kublai bertanya pada Marco : “ketika kau kembali ke Barat, akankah kau ulangi cerita yang sama yang kau sampaikan kepadaku, kepada masyarakatmu?”. Marco menjawab : “Hambar bertutur dan bertutur, tapi para pendengar hanya mencerna kata-kata yang ia harapkan. Uraian tentang dunia yang kini paduka dengarkan berbeda dari uraian yang akan menular dari mulut-ke mulut kelompok-kelompok kerani; dan para pemain gondola di jalan-jalan luar rumah hamba di hari kepulangan hamba; dan juga berbeda dengan uraian-uraian yang suatu hari akan hamba sampaikan di masa menjelang akhir masa hidup hamba, jika hamba di tahan para bajak laut Genoa dan dijebloskan ke penjara berjeruji besi bersama seorang penulis cerita perjalanan. Bukanlah suara yang memegang kendali cerita : namun, telinga”. Ingat kalimat pendek Marcopolo ini, aku jadi teringat ketika membaca cerpen Yudhi Herwibowo Kucing Buku yang dimuat di Koran tempo, aku merasai saat mas Yudhi menulis ini, ia seperti tak lagi menggunakan tangan dan mata semata. Saat membaca cerita itu, aku harus menggunakan indera pendengaranku untuk menyimak dongeng seekor kucing yang tak sekadar mengisahkan novel dan dunia penulis, tetapi ada fragmen-fragmen cerita tentang rencana pembunuhan. Kita diajak untuk berpindah dari satu ruang internal ke eskternal dalam satu cerita. Kita bisa keluar masuk rumah, rumah itu adalah cerpen Kucing Buku. Tetapi aku tak ingin terlalu jauh mengurusi kucing buku, aku hanya mengaitkan bagaimana indera pendengaran kita bekerja utamanya telinga untuk meresapi apa yang dituliskan Italo Calvino.
Kita bisa mendengar dengan baik-baik penggalan pernyataan dalam novel ini yang menurutku hanya bisa dinikmati dengan menyimaknya baik-baik : “sesungguhnya kaum yang matilah yang membangun kota Eusapia, sesuai dengan cerita mereka. Dalam kota kembar itu, tak lagi bisa dibedakan siapa yang hidup dan siapa yang mati” (h. 124). Kita bisa menyimak pernyataan lain dari Marcopolo yang menurut saya mengajak ingatan tentang kota-kota yang ia kunjungi menjadi sebuah dunia yang lain. Ia menautkan dunia dan kota-kota yang ia singgahi dalam tautan kerajaan yang ia singgahi di masa itu. “segala yang hamba lihat dan lakukan mengandaikan makna  dalam sebuah ruang mental di mana, sama seperti di sini, sebuah pemerintahan, yang tenang berdaulat, dan bayang-bayang yang sama, keheningan yang sama, diusik oleh gemerisik dedaunan. Ketika hamba memusatkan perhatian dan berfikir, hamba mendapati diri hamba, selalu kembali berada di taman ini, di waktu malam seperti ini, dalam kehadiran paduka yang penuh keagungan,kendati hamba terus beranjak, tanpa waktu jeda sesaatpun, mengarungi sungai hijau penuh buaya atau menghitung tong-tong ikan asin yang diturunkan ke palka”. Kota-kota yang digambarkan Calvino seperti makhluk hidup yang akan mengalami perasaan duka, senang, dan juga perasaan-perasaan yang menyedihkan dan membuat kita terheran-heran menyimaknya. Calvino tak hanya membawa benda mati dan apa yang ada di kota itu, ia pun membawa manusia, perempuan, dan laki-laki, muda-mudi, dan sebagainya. Gang-gang, pabrik, cerobong asap, pengendara unta, sampai pada pantai dan laut. Kota seolah ada yang tumbuh dan tenggelam di laut. Dari sini, kota seperti sebuah imajinasi yang rapuh dan lemah. Ia seperti sebuah khayalan dan perpaduan sebuah hasrat yang pada akhirnya kembali kepada sebuah angan-angan kaisar Kublai, atau wali kota tertentu.
Menyimak uraian Calvino dan cara ia menafsirkan kota, kita seperti diajak untuk kembali kepada sebuah cita-cita manusia yang ingin membangun kota. Di sisi lain, kota adalah sebuah gambaran absurditas yang nampak nyata yang mereduksi pelan-pelan dan menghilangkan makna dari sebuah bangunan, jalan, tempat public dan sebagainya.Kita seperti melihat tayangan industrial di masa depan justru lewat kota. Melalui baliho, pamphlet dan juga videotron, kota –kota adalah perpaduan kebisingan dan sebuah teater kapitalistik yang berlomba di jalanan-jalanan merebut ruang kita.
Kota memang telah menjadi perpaduan hasrat dan konsumerisme. Dari hasrat dan kesekrahan manusia itulah, manusia menghabisi dan membangun “kota”. Nafas dan mentalitas kota bisa dicipta dari sebuah nurani dan nalar manusia yang membangun kota. Dengan novel ini, Italo Calvino telah bersuara dengan mengisahkan kepada kita bagaimana mestinya menciptakan kota yang begitu imajinatif dan seperti nyata di belahan dunia kita, tetapi dunia yang dibangun Italo Calvino adalah gambaran kota yang terlalu indah untuk kota-kota di masa depan.


*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

No comments:

Post a Comment