Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Sudah
hampir sepuluh tahun aku tinggal di kota ini, kota Solo. Tepatnya di perbatasan
Solo, Sukoharjo, di Kartasura. Selama dua tahun aku mengajar disini, aku
menyaksikan pagi yang berseliweran dengan kecepatan yang cukup kencang.
Mobil-mobil seperti bergoyang dengan luwesnya di jalan raya. Jalan raya ibarat
panggung bagi para musisi dan para awak dangdut. Para awak dangdut dan musisi
itu terdiri dari mobil, sepedar motor, dan truk yang hampir tiap pagi memadati
jalan di dekat sekolahku. Sekolahku memiliki pohon, sesuatu yang jarang
dimiliki bagi sekolah modern. Terkadang aku berfikir apa jadinya manusia tanpa
pohon, lalu bila sekolah tanpa pohon, apa itu mungkin?. Dan nyatanya sekolah di
kota-kota besar tetap menamakan dirinya sekolah, meski pohon-pohonnya
artificial.
Sore ini,
anak-anak sudah mulai pulang. Kebetulan ini bukan jadwal piketku, hingga aku
sempatkan menulis. Hari-hari di sekolah tak hanya menguras otak, tetapi juga
menguras emosi. Terkadang guru perlu banyak belajar bersabar menghadapi murid
yang sedikit “unik”. Anak-anak tak suka sekali diancam, ancaman justru membuat
mereka semakin panik dan ketakutan. Aku merasa cuaca di sekolahku terasa begitu
aneh, membuat tubuh lemas begitu saja. Aku bangun tadi pagi jam tiga, aku
selesaikan buku Kota-Kota Imajiner(2006)
garapan Italo Calvino. Ia lahir di kuba dan tumbuh besar di Italia. Ia adalah
Esais, Jurnalis, dan Novelis. Novel ini bagiku terlampau tinggi. Ia tak hanya
memadukan urusan imajinasi surealis. Ia menghidupkan kota begitu sublime dan
subtil. Kota-kota tak hanya merupakan gambaran sebuah hasrat manusia, tetapi
semacam cara terburuk untuk membangun dan memugar sebuah tempat. Dari kota
itulah, dikisahkan bahwa Kaisar Kublai Khan ingin Marcopolo mengisahkan
kota-kota yang dilewatinya agar kelak Kublai Khan memiliki hasrat untuk
membangun kota-kota itu. Tetapi ada yang ganjil dari cara mengisahkan kota yang
dilakukan oleh Marcopolo. Kota seperti adegan kata-kata yang suatu ketika bisa
runtuh dengan sekejap.
Penggambaran
kota sebagai sesuatu yang hidup, perlu dipertimbangkan dengan matang nampak
dalam percakapan antara Marcopolo dengan Kublai Khan yang ditulis di novel ini.
Kublai bertanya pada Marco : “ketika kau kembali ke Barat, akankah kau ulangi
cerita yang sama yang kau sampaikan kepadaku, kepada masyarakatmu?”. Marco
menjawab : “Hambar bertutur dan bertutur, tapi para pendengar hanya mencerna
kata-kata yang ia harapkan. Uraian tentang dunia yang kini paduka dengarkan
berbeda dari uraian yang akan menular dari mulut-ke mulut kelompok-kelompok
kerani; dan para pemain gondola di jalan-jalan luar rumah hamba di hari
kepulangan hamba; dan juga berbeda dengan uraian-uraian yang suatu hari akan
hamba sampaikan di masa menjelang akhir masa hidup hamba, jika hamba di tahan
para bajak laut Genoa dan dijebloskan ke penjara berjeruji besi bersama seorang
penulis cerita perjalanan. Bukanlah suara
yang memegang kendali cerita : namun, telinga”. Ingat kalimat pendek
Marcopolo ini, aku jadi teringat ketika membaca cerpen Yudhi Herwibowo Kucing Buku yang dimuat di Koran tempo,
aku merasai saat mas Yudhi menulis ini, ia seperti tak lagi menggunakan tangan
dan mata semata. Saat membaca cerita itu, aku harus menggunakan indera
pendengaranku untuk menyimak dongeng seekor kucing yang tak sekadar mengisahkan
novel dan dunia penulis, tetapi ada fragmen-fragmen cerita tentang rencana
pembunuhan. Kita diajak untuk berpindah dari satu ruang internal ke eskternal
dalam satu cerita. Kita bisa keluar masuk rumah, rumah itu adalah cerpen Kucing
Buku. Tetapi aku tak ingin terlalu jauh mengurusi kucing buku, aku hanya
mengaitkan bagaimana indera pendengaran kita bekerja utamanya telinga untuk
meresapi apa yang dituliskan Italo Calvino.
Kita bisa mendengar dengan baik-baik penggalan pernyataan
dalam novel ini yang menurutku hanya bisa dinikmati dengan menyimaknya
baik-baik : “sesungguhnya kaum yang matilah yang membangun kota Eusapia, sesuai
dengan cerita mereka. Dalam kota kembar itu, tak lagi bisa dibedakan siapa yang
hidup dan siapa yang mati” (h. 124). Kita bisa menyimak pernyataan lain dari
Marcopolo yang menurut saya mengajak ingatan tentang kota-kota yang ia kunjungi
menjadi sebuah dunia yang lain. Ia menautkan dunia dan kota-kota yang ia
singgahi dalam tautan kerajaan yang ia singgahi di masa itu. “segala yang hamba
lihat dan lakukan mengandaikan makna
dalam sebuah ruang mental di mana, sama seperti di sini, sebuah
pemerintahan, yang tenang berdaulat, dan bayang-bayang yang sama, keheningan
yang sama, diusik oleh gemerisik dedaunan. Ketika hamba memusatkan perhatian
dan berfikir, hamba mendapati diri hamba, selalu kembali berada di taman ini,
di waktu malam seperti ini, dalam kehadiran paduka yang penuh keagungan,kendati
hamba terus beranjak, tanpa waktu jeda sesaatpun, mengarungi sungai hijau penuh
buaya atau menghitung tong-tong ikan asin yang diturunkan ke palka”. Kota-kota
yang digambarkan Calvino seperti makhluk hidup yang akan mengalami perasaan
duka, senang, dan juga perasaan-perasaan yang menyedihkan dan membuat kita
terheran-heran menyimaknya. Calvino tak hanya membawa benda mati dan apa yang
ada di kota itu, ia pun membawa manusia, perempuan, dan laki-laki, muda-mudi,
dan sebagainya. Gang-gang, pabrik, cerobong asap, pengendara unta, sampai pada
pantai dan laut. Kota seolah ada yang tumbuh dan tenggelam di laut. Dari sini,
kota seperti sebuah imajinasi yang rapuh dan lemah. Ia seperti sebuah khayalan
dan perpaduan sebuah hasrat yang pada akhirnya kembali kepada sebuah
angan-angan kaisar Kublai, atau wali kota tertentu.
Menyimak uraian Calvino dan cara ia menafsirkan kota, kita
seperti diajak untuk kembali kepada sebuah cita-cita manusia yang ingin
membangun kota. Di sisi lain, kota adalah sebuah gambaran absurditas yang
nampak nyata yang mereduksi pelan-pelan dan menghilangkan makna dari sebuah
bangunan, jalan, tempat public dan sebagainya.Kita seperti melihat tayangan
industrial di masa depan justru lewat kota. Melalui baliho, pamphlet dan juga
videotron, kota –kota adalah perpaduan kebisingan dan sebuah teater
kapitalistik yang berlomba di jalanan-jalanan merebut ruang kita.
Kota memang telah menjadi perpaduan hasrat dan
konsumerisme. Dari hasrat dan kesekrahan manusia itulah, manusia menghabisi dan
membangun “kota”. Nafas dan mentalitas kota bisa dicipta dari sebuah nurani dan
nalar manusia yang membangun kota. Dengan novel ini, Italo Calvino telah
bersuara dengan mengisahkan kepada kita bagaimana mestinya menciptakan kota
yang begitu imajinatif dan seperti nyata di belahan dunia kita, tetapi dunia
yang dibangun Italo Calvino adalah gambaran kota yang terlalu indah untuk
kota-kota di masa depan.
*) Penulis adalah
Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment