klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 19 March 2015

Cerita Pendek, Cerita Saya


Cerpen Emha bukan cerpen yang asing, tetapi sebaliknya cerita yang akrab di kehidupan pengarang, juga di kehidupan di sekitar kita.

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

       Cerita pendek di negeri ini (modern) lebih banyak mengangkat model-model cerita pendek berbau surealis. Penulis cerita pendek sekarang ini teramat jarang yang seperti Sori Siregar yang mengejutkan yang menulis cerita pendek berbau realis. Penulis-penulis cerita pendek kita selain mengambil setting barat, mereka juga lebih tertarik dengan gaya surealis yang tak jelas, absurd, dan membuat pembaca bingung. Akan sangat berbeda ketika kita membaca cerita pendek garapan Emha Ainun Najib. Di buku kumpulan cerpennya Yang Terhormat Nama Saya(1992) Emha Ainun Najib lebih banyak menulis cerita pendek dengan tokoh, latar, dan karakter khas lingkungan Emha. Sebagai seorang yang pernah mencicipi dunia kuliah, ia pun menulis cerpen Ijazah. Di cerpen ini, dikisahkan betapa seorang penulis muda harus mengirim ijazahnya kemana-mana ketika ingin tulisannya dimuat. Ijazah seolah digambarkan sebagai kertas yang ikut memberi pengabsahan terhadap kualitas tulisan orang. Ia seperti membuat afirmasi terhadap dirinya sendiri yang notabene tak lulus dan tak memperoleh ijazah.
    Di cerita Yang Terhormat Nama Saya, kita seperti melihat nama sebagai sebuah keberuntungan yang beruntun. Nama dikisahkan membawa peruntungan hingga menancap ke berbagai kenangan. Karena nama, si tokoh dipertemukan banyak orang, dan dari banyak orang itu, begitu terpikat kepada si tokoh, akhirnya anak-anak dari teman-teman si tokoh diberi nama serupa dengan tokoh utama di cerita itu. Hal ini mengingatkan ketika jaman Soekarno, Soeharto, kedua nama itu cukup memberikan pengaruh bagi orang di negeri ini. Orang akan senang memberi nama itu karena berpengharapan ingin menjadi presiden atau tokoh terkenal.
    Di cerpen pembuka podium, Emha berkisah mengenai kharisma seorang yang tiba-tiba didaulat menjadi kiai. Seorang yang dulunya bejat kini bertobat dan didapuk oleh seorang kiai. Tapi ada ironi disana ketika sang kiai ini pada akhirnya memikat semua penduduk kampong, kampong jadi hidup dan penuh cahaya. Mereka pun menurut dan mengikuti jejak kiai Gus Noor. Gus Noor ini di akhir ceritanya dikisahkan sempat pingsan, tapi setelah sadar Gus Noor jadi lupa segalanya. Cerita ini mengingatkan kita tentang bagaimana mitos ratu adil masih dan hidup di lingkungan kita. Dari kepercayaan masyarakat tentang “ratu adil” inilah, masyarakat kita menjadi ikut memuja sosok yang dianggap bisa membawa jalan keselamatan.
     Emha pun mampu berkisah secara puitik di cerita Anak-Anakku Yang Tercinta. Di cerita ini, kegetiran seorang ibu dan kebimbangan seorang ibu dikisahkan dengan apik. Emha seolah mengajak pembaca hanyut, bahwa seorang ibu pun berhak memiliki rasa jatuh cinta selayaknya orang muda, meski usianya sudah tua. Meski ia sudah memiliki anak-anak, rasanya hidup tak lengkap tanpa pasangan hidup. Sang Janda ini pun harus membuat hati anaknya tenang, dan mengerti perasaannya. “Anak-anakku tentu saja memahami perasaanku sebagai seorang ibu, tetapi mereka belum mampu mengerti perasaanku sebagai seorang perempuan. Buku-buku bisa member tahu mereka perihal apapun tetapi perasaan perempuan harus direguknya, seperti juga hidup ini”(halaman.24). Emha menunjukkan kepada kita, bahwa jatuh cinta, perasaan rindu dan kesepian tak bisa disembuhkan dengan hanya ditemani seorang anak. Disini, Emha menunjukkan sisi lainnya, ia seolah ingin mengatakan bahwa seorang janda tua berhak untuk bersuami kembali, berhak jatuh cinta lagi.
            Bahasa yang digunakan Emha adalah bahasa yang terang, jernih, tak muluk-muluk dan realis. Sebagai seorang yang hidup dan lekat dengan khazanah Jawa, Emha akrab dengan wayang. Hal ini dibuktikan dengan cerita “Padang kurusetra”. Di cerita ini, Emha mencoba memainkan tak hanya tokoh, tetapi juga jalan cerita saat memberikan penolakan kepada Arjuna untuk tak maju ke dalam perang karena membunuh saudaranya sendiri adalah hal yang tak bisa ia lakukan begitu saja. Emha seolah tak hanya merombak cerita Mahabarata ini, tetapi ia menyentuh kita dengan kebimbangan seorang manusia yang membunuh demi keadilan. Barangkali kita pun juga demikian ketika dihadapkan harus membunuh saudara sendiri untuk menegakkan keadilan.
            Kemampuan Emha memikat pembaca dengan bahasa yang lugas dan tetap mempesona. Kejujuran dan kelugasan yang ada di cerita-cerita Emha tak menghilangkan sosok Emha sebagai pemikir. Di cerpen-cerpennya Emha tak meninggalkan watak dan karakter tokohnya sebagai pemikir, tetapi di sisi lain, Emha juga menunjukkan bagaimana tokoh-tokohnya menampilkan emosi yang hidup seperti kesedihan, kebimbangan, juga kesadaran yang menjadi watak dasar manusia. Emha di cerpen-cerpennya tetap menampakkan sebagai pemikir, dan seorang budayaawan yang menggali nilai-nilai kemanusiaan melalui cerita.
            Maka tak heran, ketika di pengantar buku cerita ini, Emha makin sulit dirumuskan ‘siapa dianya’ melalui format status baku seperti apakah ia penyair, sastrawan, budayawan, mubaligh, cendekiawan, atau apa saja. Ini karena keterlibatannya begitu total. Tak heran, sebagai sastrawan, ia pun pernah ikut memberi warna sastra kita ketika di bawah asuhan Umbu Landu Paranggi. Kepiawaiannya sebagai sastrawan hadir saat ia menuliskan cerita-ceritanya tanpa terikat aturan-aturan baku, ia bercerita seperti bertutur. Tapi dicerpen-cerpennya, kita bisa memetik sesuatu yang berharga di cerpennya. Cerpen Emha bukan cerpen yang asing, tetapi sebaliknya cerita yang akrab di kehidupan pengarang, juga di kehidupan di sekitar kita.

*) 19/3/2015
*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

No comments:

Post a Comment