Cerpen Emha bukan cerpen yang asing, tetapi sebaliknya cerita yang akrab di kehidupan pengarang, juga di kehidupan di sekitar kita.
Cerita
pendek di negeri ini (modern) lebih banyak mengangkat model-model cerita pendek berbau
surealis. Penulis cerita pendek sekarang ini teramat jarang yang seperti Sori
Siregar yang mengejutkan yang menulis cerita pendek berbau realis.
Penulis-penulis cerita pendek kita selain mengambil setting barat, mereka juga
lebih tertarik dengan gaya surealis yang tak jelas, absurd, dan membuat pembaca
bingung. Akan sangat berbeda ketika kita membaca cerita pendek garapan Emha
Ainun Najib. Di buku kumpulan cerpennya Yang
Terhormat Nama Saya(1992) Emha Ainun Najib lebih banyak menulis cerita
pendek dengan tokoh, latar, dan karakter khas lingkungan Emha. Sebagai seorang
yang pernah mencicipi dunia kuliah, ia pun menulis cerpen Ijazah. Di cerpen
ini, dikisahkan betapa seorang penulis muda harus mengirim ijazahnya
kemana-mana ketika ingin tulisannya dimuat. Ijazah seolah digambarkan sebagai
kertas yang ikut memberi pengabsahan terhadap kualitas tulisan orang. Ia seperti
membuat afirmasi terhadap dirinya sendiri yang notabene tak lulus dan tak
memperoleh ijazah.
Di cerita Yang Terhormat Nama Saya, kita seperti
melihat nama sebagai sebuah keberuntungan yang beruntun. Nama dikisahkan
membawa peruntungan hingga menancap ke berbagai kenangan. Karena nama, si tokoh
dipertemukan banyak orang, dan dari banyak orang itu, begitu terpikat kepada si
tokoh, akhirnya anak-anak dari teman-teman si tokoh diberi nama serupa dengan
tokoh utama di cerita itu. Hal ini mengingatkan ketika jaman Soekarno,
Soeharto, kedua nama itu cukup memberikan pengaruh bagi orang di negeri ini.
Orang akan senang memberi nama itu karena berpengharapan ingin menjadi presiden
atau tokoh terkenal.
Di cerpen
pembuka podium, Emha berkisah mengenai kharisma seorang yang tiba-tiba didaulat
menjadi kiai. Seorang yang dulunya bejat kini bertobat dan didapuk oleh seorang
kiai. Tapi ada ironi disana ketika sang kiai ini pada akhirnya memikat semua
penduduk kampong, kampong jadi hidup dan penuh cahaya. Mereka pun menurut dan
mengikuti jejak kiai Gus Noor. Gus Noor ini di akhir ceritanya dikisahkan
sempat pingsan, tapi setelah sadar Gus Noor jadi lupa segalanya. Cerita ini
mengingatkan kita tentang bagaimana mitos ratu adil masih dan hidup di
lingkungan kita. Dari kepercayaan masyarakat tentang “ratu adil” inilah,
masyarakat kita menjadi ikut memuja sosok yang dianggap bisa membawa jalan
keselamatan.
Emha pun
mampu berkisah secara puitik di cerita Anak-Anakku
Yang Tercinta. Di cerita ini, kegetiran seorang ibu dan kebimbangan seorang
ibu dikisahkan dengan apik. Emha seolah mengajak pembaca hanyut, bahwa seorang
ibu pun berhak memiliki rasa jatuh cinta selayaknya orang muda, meski usianya
sudah tua. Meski ia sudah memiliki anak-anak, rasanya hidup tak lengkap tanpa
pasangan hidup. Sang Janda ini pun harus membuat hati anaknya tenang, dan
mengerti perasaannya. “Anak-anakku tentu saja memahami perasaanku sebagai
seorang ibu, tetapi mereka belum mampu mengerti perasaanku sebagai seorang
perempuan. Buku-buku bisa member tahu mereka perihal apapun tetapi perasaan
perempuan harus direguknya, seperti juga hidup ini”(halaman.24). Emha
menunjukkan kepada kita, bahwa jatuh cinta, perasaan rindu dan kesepian tak
bisa disembuhkan dengan hanya ditemani seorang anak. Disini, Emha menunjukkan
sisi lainnya, ia seolah ingin mengatakan bahwa seorang janda tua berhak untuk
bersuami kembali, berhak jatuh cinta lagi.
Bahasa
yang digunakan Emha adalah bahasa yang terang, jernih, tak muluk-muluk dan
realis. Sebagai seorang yang hidup dan lekat dengan khazanah Jawa, Emha akrab
dengan wayang. Hal ini dibuktikan dengan cerita “Padang kurusetra”. Di cerita
ini, Emha mencoba memainkan tak hanya tokoh, tetapi juga jalan cerita saat
memberikan penolakan kepada Arjuna untuk tak maju ke dalam perang karena
membunuh saudaranya sendiri adalah hal yang tak bisa ia lakukan begitu saja.
Emha seolah tak hanya merombak cerita Mahabarata ini, tetapi ia menyentuh kita
dengan kebimbangan seorang manusia yang membunuh demi keadilan. Barangkali kita
pun juga demikian ketika dihadapkan harus membunuh saudara sendiri untuk
menegakkan keadilan.
Kemampuan
Emha memikat pembaca dengan bahasa yang lugas dan tetap mempesona. Kejujuran
dan kelugasan yang ada di cerita-cerita Emha tak menghilangkan sosok Emha
sebagai pemikir. Di cerpen-cerpennya Emha tak meninggalkan watak dan karakter
tokohnya sebagai pemikir, tetapi di sisi lain, Emha juga menunjukkan bagaimana
tokoh-tokohnya menampilkan emosi yang hidup seperti kesedihan, kebimbangan,
juga kesadaran yang menjadi watak dasar manusia. Emha di cerpen-cerpennya tetap
menampakkan sebagai pemikir, dan seorang budayaawan yang menggali nilai-nilai
kemanusiaan melalui cerita.
Maka tak
heran, ketika di pengantar buku cerita ini, Emha makin sulit dirumuskan ‘siapa
dianya’ melalui format status baku seperti apakah ia penyair, sastrawan,
budayawan, mubaligh, cendekiawan, atau apa saja. Ini karena keterlibatannya
begitu total. Tak heran, sebagai sastrawan, ia pun pernah ikut memberi warna
sastra kita ketika di bawah asuhan Umbu Landu Paranggi. Kepiawaiannya sebagai
sastrawan hadir saat ia menuliskan cerita-ceritanya tanpa terikat aturan-aturan
baku, ia bercerita seperti bertutur. Tapi dicerpen-cerpennya, kita bisa memetik
sesuatu yang berharga di cerpennya. Cerpen Emha bukan cerpen yang asing, tetapi
sebaliknya cerita yang akrab di kehidupan pengarang, juga di kehidupan di
sekitar kita.
*) 19/3/2015
*) Pengelola
doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment