hidup harus bahagia dan menyenangkan bukan, agar kemiskinan tak terasa pahit seperti pesan Ibu Fugui dalam novel “Hidup”
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Jumat.
Pagi benar aku mulai bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Mengajar, tapi
sebenarnya lebih banyak aku belajar dan diajar oleh sekolah. Aku beranjak ke
loper Koran. Kubaca tulisan Setyaningsih, disana ada secuil esai pendeknya
tentang “Siluman”, ia menautkan kata siluman dengan film-film horror, tetapi
menurutnya Siluman lebih mengerikan tatkala ia menempel di dana siluman,
pemilih siluman, dan sebagainya. Orang sering memunculkan kata-kata yang ia
sendiri belum lengkap dan belum utuh untuk memahaminya. Aku membeli kompas,
disana ada liputan pendek tentang penulis buku Dreamlest ia menuturkan bahwa
anak-anak memerlukan cerita, guru-guru perlu memahami itu. Aku merasa mendapat
ujaran dari liputan itu, dari penulis buku itu. Maka aku membeli “kompas”,
berharap suatu hari aku menemui buku penulis itu dan membacanya. Di tasku masih
ada beberapa buku yang belum kubaca. Pagi hari aku bercakap dengan
murid-muridku, memegangi, memegang mukanya, dan mengucap sebaris do’a. Aku naik
ke menara, tempat biasa ku membaca buku. Jumat seperti hari berkah, aku seperti
mendapat hidayah. Kubuka halaman-halaman buku YU HUA, berjudul To Live (HIDUP).
Aku membaca sampai halaman 71. Setelah itu kututup lagi buku itu, buku itu
seperti memberikan gambaran tentang hidup. Terkadang aku berfikir, apa ia
hidupku selama ini baru berjalan biasa-biasa saja. Yugui tokoh dalam novel itu
begitu miris. Ia adalah tuan muda, anak seorang yang kaya raya. Aku ingat
kata-katanya “Hidup itu asalkan kau menjalaninya dengan senang, kemiskinan tak
akan terasa”. Aku jadi berfikir, tokoh itu seperti menjalani karma dengan tegar
dan mendongak ke atas. Ia seperti tak merasakan lagi pahit dan sakit kehidupan
yang ia jalani. Ia mesti menjalani hidup tak seperti dulu ketika ia jadi tuan
muda. Kini, pelayannya pada pergi, terkadang kangen terhadapnya, para
pelayannya berfikir apa ia sanggup menghadapi kehidupan yang begitu terbalik
180 derajat. Punggungnya lecet-lecet, sering terkena arit dan cangkul karena ia
tak terbiasa menggunakannya, dulu ia tuan muda, kini ia jadi petani biasa
dengan tanah sewaan seadanya. Semula karena dalam tradisi cina isterinya dibawa
lagi oleh menantunya, ia merasa hidup begitu sepi. Untunglah ada anak gadisnya,
Feng Xia masih ada menemaninya. Akhirnya Feng Xia si gadis lucu ini yang
membuatnya bertahan dan menyadari kesalahan masa lalunya. Ketika Feng Xia belum begitu besar, ia harus
menghadapi ujian baru. Isterinya akhirnya pulang ke rumah dan membawa anak
lelakinya yang waktu itu masih dalam kandungan.
Aku
jadi ingat ibu, ia kini mungkin di sawah, menanam padi, atau sedang memasak. Ia
tak pernah mengeluh menjalani hidup. Hidup baginya adalah laku yang teramat
sangat perih. Pahit manis ia jalani, hidup bagi ibu adalah kebahagiaan
anak-anaknya. Semakin jauh jarak antara aku dan ibu membuatku seperti menyesali
hari-hari yang telah berlalu. Semenjak aku duduk di SMP, jarang sekali aku
mencium tangannya ketika mau berangkat sekolah. Kini, ketika melihat
anak-anakku di sekolah ini menciumi tangan dan pipi ibunya dan memeluknya
sebelum berlarian menyalamiku, aku jadi sadar, seperti ada waktu yang hilang.
Dan benar saja, aku hanya berkirim pesan, tapi ibu justru membuatku haru.
Begitupun Ayah, meski terkadang pikirannya tak bisa selalu kami mengerti, kami
selalu sadar, Ayah bukan hanya membanting tulang, tetapi tubuh dan peluh ia
kerahkan agar kelak kami tahu, keras dan kejamnya hidup bakal kami lalui.
Seringkali Ayah ajarkan betapa miris dan pedihnya perjuangan, ia tak hanya
bercerita tentang masa lalunya, tetapi juga orang-orang yang ia lihatnya di
manapun. Mungkin Ayah tahu, lewat cerita aku bakal menyimak apa yang ia
kisahkan, dan kelak ceriat-cerita itu yang bakal aku alami. Kini, setelah
mengajar dan hidup sendiri bersama Bapak kosku,aku jadi sadar betapa
berharganya cerita Ayah itu.
Ayah
tak lagi cerita seperti dulu, ceritanya kini sudah menguap jadi cerita-ceritaku
yang kukisahkan kepada murid-muridku, mungkin. Hidup tak selamanya ada dalam
putaran diatas, tapi kita harus bersiap untuk mengatakan, kita menerima apa
yang ditakdirkan saat kita berada di bawah, begitu pula sebaliknya. Aku jadi
ingat pesan Ayah Fugui, yang bercerita kepada anaknya “ dulu keluarga ini,
pelan-pelan memelihara ayam, ayam jadi angsa, angsa jadi kambing, kambing jadi
sapi, lalu sapi jadi berpetak-petak sawah”. Tetapi dua keturunan keluarga Xu
mengubahnya menjadi Sapi, lalu kambing, lalu ayam, dan kini ayam pun tak ada”.
Saat itupula Fugui harus bersiap menghadapi hari-hari penuh penderitaan. Ia
harus belajar memegang arit, memegang cangkul. Aku jadi ingat saat kecil
diajari Ayah untuk mencari makan sapi. Di sawah, aku tak mencari rumput, tetapi
justru berkelahi dengan adikku,. Ayah selalu tertawa ketika ingat kisah itu,
aku jadi malu, serasa hidupku tak bakal kuat menghadapi masa-masa sulit. Ayah
selalu berdoa agar kelak aku tak mengalami masa-masa sulit. Tetapi apa daya,
masa sulit tak selalu berbuah pada satu kejadian, bisa jadi kejadian-kejadian
yang sering Ayah pesankan itu kini mulai hadir pelan-pelan.
Aku
jadi ingat guruku SMA yang di usia 23 sudah menikah, aku kini 26 tahun belum
menikah. Bagiku bukan urusan menikahnya, tetapi bagaimana kelak ia harus
bertarung dan belajar untuk menjadi mandiri dan berhasil seperti sekarang,
guruku kini punya biro wisata dan mengajar. Aku hanya diam sejenak ketika
mengingat kisah itu, hidup berkecukupan itupun aku merasa lebih dari cukup. Aku
merasakan masa-masa kekurangan, harus hutang sana-sini, dan aku merasa diriku
tak lagi bisa berdiri tanpa bantuan dari banyak orang. Bukuku terbit pun karena
belas kasihan percetakan, kini, aku masih tersendal-sendal mengembalikan utang
itu. Tapi hidup harus bahagia dan menyenangkan bukan, agar kemiskinan tak
terasa pahit seperti pesan Ibu Fugui dalam novel “Hidup”.
Aku
belum selesai membaca novel “Hidup” ini, tetapi aku merasakan bahwa aku seperti
dipecut, dicambuk kencang, ada sisi dan banyak sisi kehidupan lain yang perlu
aku lihat dan rasakan. Barangkali hidup di solo benar seperti yang dikatakan
Radar Panca Dahana, hidup di Solo terlalu tenang, setali tiga uang yang dikatakan
Afrizal Malna. Hidup harus berjalan, sembari membaca aku mendapat pesan dari teman
kuliah yang memintaku untuk mengisi pelatihan menulis. Aku menyaguhi saja,
hidup harus dilalui dengan senang dan tersenyum, meski kemiskinan kadang terasa
pahit. Aku menumpahkan air mata, bagiku tangis lelaki tak melulu urusan
picisan, tetapi aku menangis karena hidup kadang perlu menangis, bisa jadi jiwa
dan mental kita kuat, tetapi mata tak punya bendungan untuk membendung banjir
di dalamnya.
Aku
jadi ingat pesan temanku di handphoneku, “Segera selesaikan”, aku akan
menyelesaikannya dengan segera kisah ini, karena membaca novel hidup kalau tak
selesai seperti membaca hidup yang tak utuh.
*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment