klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Friday 6 March 2015

Hidup…



 


hidup harus bahagia dan menyenangkan bukan, agar kemiskinan tak terasa pahit seperti pesan Ibu Fugui dalam novel “Hidup”

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Jumat. Pagi benar aku mulai bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Mengajar, tapi sebenarnya lebih banyak aku belajar dan diajar oleh sekolah. Aku beranjak ke loper Koran. Kubaca tulisan Setyaningsih, disana ada secuil esai pendeknya tentang “Siluman”, ia menautkan kata siluman dengan film-film horror, tetapi menurutnya Siluman lebih mengerikan tatkala ia menempel di dana siluman, pemilih siluman, dan sebagainya. Orang sering memunculkan kata-kata yang ia sendiri belum lengkap dan belum utuh untuk memahaminya. Aku membeli kompas, disana ada liputan pendek tentang penulis buku Dreamlest ia menuturkan bahwa anak-anak memerlukan cerita, guru-guru perlu memahami itu. Aku merasa mendapat ujaran dari liputan itu, dari penulis buku itu. Maka aku membeli “kompas”, berharap suatu hari aku menemui buku penulis itu dan membacanya. Di tasku masih ada beberapa buku yang belum kubaca. Pagi hari aku bercakap dengan murid-muridku, memegangi, memegang mukanya, dan mengucap sebaris do’a. Aku naik ke menara, tempat biasa ku membaca buku. Jumat seperti hari berkah, aku seperti mendapat hidayah. Kubuka halaman-halaman buku YU HUA, berjudul To Live (HIDUP). Aku membaca sampai halaman 71. Setelah itu kututup lagi buku itu, buku itu seperti memberikan gambaran tentang hidup. Terkadang aku berfikir, apa ia hidupku selama ini baru berjalan biasa-biasa saja. Yugui tokoh dalam novel itu begitu miris. Ia adalah tuan muda, anak seorang yang kaya raya. Aku ingat kata-katanya “Hidup itu asalkan kau menjalaninya dengan senang, kemiskinan tak akan terasa”. Aku jadi berfikir, tokoh itu seperti menjalani karma dengan tegar dan mendongak ke atas. Ia seperti tak merasakan lagi pahit dan sakit kehidupan yang ia jalani. Ia mesti menjalani hidup tak seperti dulu ketika ia jadi tuan muda. Kini, pelayannya pada pergi, terkadang kangen terhadapnya, para pelayannya berfikir apa ia sanggup menghadapi kehidupan yang begitu terbalik 180 derajat. Punggungnya lecet-lecet, sering terkena arit dan cangkul karena ia tak terbiasa menggunakannya, dulu ia tuan muda, kini ia jadi petani biasa dengan tanah sewaan seadanya. Semula karena dalam tradisi cina isterinya dibawa lagi oleh menantunya, ia merasa hidup begitu sepi. Untunglah ada anak gadisnya, Feng Xia masih ada menemaninya. Akhirnya Feng Xia si gadis lucu ini yang membuatnya bertahan dan menyadari kesalahan masa lalunya. Ketika  Feng Xia belum begitu besar, ia harus menghadapi ujian baru. Isterinya akhirnya pulang ke rumah dan membawa anak lelakinya yang waktu itu masih dalam kandungan. 

Aku jadi ingat ibu, ia kini mungkin di sawah, menanam padi, atau sedang memasak. Ia tak pernah mengeluh menjalani hidup. Hidup baginya adalah laku yang teramat sangat perih. Pahit manis ia jalani, hidup bagi ibu adalah kebahagiaan anak-anaknya. Semakin jauh jarak antara aku dan ibu membuatku seperti menyesali hari-hari yang telah berlalu. Semenjak aku duduk di SMP, jarang sekali aku mencium tangannya ketika mau berangkat sekolah. Kini, ketika melihat anak-anakku di sekolah ini menciumi tangan dan pipi ibunya dan memeluknya sebelum berlarian menyalamiku, aku jadi sadar, seperti ada waktu yang hilang. Dan benar saja, aku hanya berkirim pesan, tapi ibu justru membuatku haru. Begitupun Ayah, meski terkadang pikirannya tak bisa selalu kami mengerti, kami selalu sadar, Ayah bukan hanya membanting tulang, tetapi tubuh dan peluh ia kerahkan agar kelak kami tahu, keras dan kejamnya hidup bakal kami lalui. Seringkali Ayah ajarkan betapa miris dan pedihnya perjuangan, ia tak hanya bercerita tentang masa lalunya, tetapi juga orang-orang yang ia lihatnya di manapun. Mungkin Ayah tahu, lewat cerita aku bakal menyimak apa yang ia kisahkan, dan kelak ceriat-cerita itu yang bakal aku alami. Kini, setelah mengajar dan hidup sendiri bersama Bapak kosku,aku jadi sadar betapa berharganya cerita Ayah itu. 

Ayah tak lagi cerita seperti dulu, ceritanya kini sudah menguap jadi cerita-ceritaku yang kukisahkan kepada murid-muridku, mungkin. Hidup tak selamanya ada dalam putaran diatas, tapi kita harus bersiap untuk mengatakan, kita menerima apa yang ditakdirkan saat kita berada di bawah, begitu pula sebaliknya. Aku jadi ingat pesan Ayah Fugui, yang bercerita kepada anaknya “ dulu keluarga ini, pelan-pelan memelihara ayam, ayam jadi angsa, angsa jadi kambing, kambing jadi sapi, lalu sapi jadi berpetak-petak sawah”. Tetapi dua keturunan keluarga Xu mengubahnya menjadi Sapi, lalu kambing, lalu ayam, dan kini ayam pun tak ada”. Saat itupula Fugui harus bersiap menghadapi hari-hari penuh penderitaan. Ia harus belajar memegang arit, memegang cangkul. Aku jadi ingat saat kecil diajari Ayah untuk mencari makan sapi. Di sawah, aku tak mencari rumput, tetapi justru berkelahi dengan adikku,. Ayah selalu tertawa ketika ingat kisah itu, aku jadi malu, serasa hidupku tak bakal kuat menghadapi masa-masa sulit. Ayah selalu berdoa agar kelak aku tak mengalami masa-masa sulit. Tetapi apa daya, masa sulit tak selalu berbuah pada satu kejadian, bisa jadi kejadian-kejadian yang sering Ayah pesankan itu kini mulai hadir pelan-pelan. 

Aku jadi ingat guruku SMA yang di usia 23 sudah menikah, aku kini 26 tahun belum menikah. Bagiku bukan urusan menikahnya, tetapi bagaimana kelak ia harus bertarung dan belajar untuk menjadi mandiri dan berhasil seperti sekarang, guruku kini punya biro wisata dan mengajar. Aku hanya diam sejenak ketika mengingat kisah itu, hidup berkecukupan itupun aku merasa lebih dari cukup. Aku merasakan masa-masa kekurangan, harus hutang sana-sini, dan aku merasa diriku tak lagi bisa berdiri tanpa bantuan dari banyak orang. Bukuku terbit pun karena belas kasihan percetakan, kini, aku masih tersendal-sendal mengembalikan utang itu. Tapi hidup harus bahagia dan menyenangkan bukan, agar kemiskinan tak terasa pahit seperti pesan Ibu Fugui dalam novel “Hidup”.
Aku belum selesai membaca novel “Hidup” ini, tetapi aku merasakan bahwa aku seperti dipecut, dicambuk kencang, ada sisi dan banyak sisi kehidupan lain yang perlu aku lihat dan rasakan. Barangkali hidup di solo benar seperti yang dikatakan Radar Panca Dahana, hidup di Solo terlalu tenang, setali tiga uang yang dikatakan Afrizal Malna. Hidup harus berjalan, sembari membaca aku mendapat pesan dari teman kuliah yang memintaku untuk mengisi pelatihan menulis. Aku menyaguhi saja, hidup harus dilalui dengan senang dan tersenyum, meski kemiskinan kadang terasa pahit. Aku menumpahkan air mata, bagiku tangis lelaki tak melulu urusan picisan, tetapi aku menangis karena hidup kadang perlu menangis, bisa jadi jiwa dan mental kita kuat, tetapi mata tak punya bendungan untuk membendung banjir di dalamnya.
Aku jadi ingat pesan temanku di handphoneku, “Segera selesaikan”, aku akan menyelesaikannya dengan segera kisah ini, karena membaca novel hidup kalau tak selesai seperti membaca hidup yang tak utuh.


*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

No comments:

Post a Comment