klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Tuesday 17 March 2015

Penyair Menafsir Hidup





Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
           
Di buku Langit Pilihan(2012) ini, Eka mengajak pembaca untuk berpetualang, merefleksikan, dan juga membuat hidup menjadi lebih berarti. Kita diajak untuk menafsirkan hidup dengan pandangan penyair yakni hidup yang berbuat dan melakukan sesuatu, terlibat. Seperti kata-kata penyair berikut : jangan biarkan aku jadi pembiar sekali saja

 Hari senin (16/3/15) aku menuntaskan buku Langit Pilihan (2012) karya Eka Budianta. Eka Budianta adalah alumnus International Writing Program Lowa Amerika Serikat. Ia juga seorang budayawan. Aku mengenali buku ini dari penerbit. Penerbit kosa kata kita sering menerbitkan puisi dan karya sastra. Puisi-puisi Eka Budianta lebih sering terang dan gamblang, tanpa metafora dan membuat pembaca bimbang. Puisi-puisinya jernih, liris. Ia mengurai tak hanya urusan perjalanannya ke kota-kota, tapi ia juga menuliskan bagaimana hubungan manusia dan tuhan dalam puisinya. Keprihatinan, do’a dan perasaan sebagai manusia. Singkatnya, puisi Eka tak jauh beda dengan bagaimana pemikiran penyair berada dalam puisinya. Penyair mencoba menelisik kerinduan terhadap masa kecil yang kini mulai jauh. Ia membuat gambaran masa kecil seperti jembatan dari masa silam ke masa sekarang. Aku bikin jembatan dari masa kecilku/ setelah tua, jembatan itu jalan sendiri ke laut/ disambungnya pulau demi pulau/ disatukannya benua demi benua. Perasaan kehilangan dan kerinduan yang tak bisa diraih itu diungkap pula pada bait puisi yang lain : di langit, hanya di langit pilihan/ aku dapat menemukan kembali sungai/ kampung halaman dan surga yang mudah hilang(h.17). Ia seperti mengajak pembaca memasuki betapa perih dan kejam ketika penyair mencoba merawat apa yang ada di masa kecil ke dalam puisi. Kata-kata kampung halaman dan surga yang mudah hilang menjelaskan betapa susahnya kembali merawat memori yang telah hilang. Di sini, biografi penyair ikut memberi penjelasan ada pergeseran biografis dan pergeseran geografis tempat penyair tinggal.  Puisi bagi penyair mirip kesaksian dan batu sejarah. Yang tak hanya sebagai prasasti dan jejak dan riwayat penyair. Penyair menganggap puisi adalah cara merawat diri, sejarah dan biografi. Aku harus menulis untukmu, hidup ini lebih dari kalah dan menang/ kalau tidak percaya tanyakan pada langit/ atau pada pohon (h. 36).
Puisi dan penyair memang tak bisa dipisahkan. Eka seolah mengajak puisinya menyapa kita sebagai ajakan untuk melakukan refleksi dan permenungan kepada hidup. Hidup yang luas ini digambarkan sebagai langit dan setiap kita tentu memiliki hak untuk memilih pada dunia dan langit macam apakah kita sekarang ini. Di kata pembuka di buku ini, ia menuliskan : ‘karena itulah, sebelum terlambat marilah kita pilih langit pilihan kita’. Sapardi mengatakan bahwa Eka tak memilih bahasa yang ruwet, ia memilih bahasa yang sederhana untuk menguraikan apa yang ingin ia ungkapkan di puisi-puisinya. Penyair juga membuat metafor Indonesia sebagai langit yang penuh warna-warni :aku berjanji memilih langitku: langit kepercayaan/ langit kristen/ langit islam/ langit Budha/ langit Hindu/ semua terkembang dengan tetang/ cerah maupun hujan(h.55). 
Di buku Langit Pilihan(2012) ini, Eka mengajak pembaca untuk berpetualang, merefleksikan, dan juga membuat hidup menjadi lebih berarti. Kita diajak untuk menafsirkan hidup dengan pandangan penyair yakni hidup yang berbuat dan melakukan sesuatu, terlibat. Seperti kata-kata penyair berikut : jangan biarkan aku jadi pembiar sekali saja. Maka hidup bagi penyair tak sekadar hidup untuk kalah dan menang, tetapi melampaui itu, ia ingin mengatakan bahwa sebagaimana kata Riris K Sarumpaet, penyair ingin mengatakan bahwa : “hidup ini bukan untuk merangkak.....”.

*) Solo, 17/3/15
*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

No comments:

Post a Comment