Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
Di buku Langit Pilihan(2012) ini, Eka mengajak pembaca untuk berpetualang, merefleksikan, dan juga membuat hidup menjadi lebih berarti. Kita diajak untuk menafsirkan hidup dengan pandangan penyair yakni hidup yang berbuat dan melakukan sesuatu, terlibat. Seperti kata-kata penyair berikut : jangan biarkan aku jadi pembiar sekali saja
Hari senin (16/3/15) aku menuntaskan buku Langit Pilihan (2012) karya Eka
Budianta. Eka Budianta adalah alumnus International Writing Program Lowa
Amerika Serikat. Ia juga seorang budayawan. Aku mengenali buku ini dari
penerbit. Penerbit kosa kata kita sering
menerbitkan puisi dan karya sastra. Puisi-puisi Eka Budianta lebih sering
terang dan gamblang, tanpa metafora dan membuat pembaca bimbang. Puisi-puisinya
jernih, liris. Ia mengurai tak hanya urusan perjalanannya ke kota-kota, tapi ia
juga menuliskan bagaimana hubungan manusia dan tuhan dalam puisinya.
Keprihatinan, do’a dan perasaan sebagai manusia. Singkatnya, puisi Eka tak jauh
beda dengan bagaimana pemikiran penyair berada dalam puisinya. Penyair mencoba
menelisik kerinduan terhadap masa kecil yang kini mulai jauh. Ia membuat
gambaran masa kecil seperti jembatan dari masa silam ke masa sekarang. Aku bikin jembatan dari masa kecilku/
setelah tua, jembatan itu jalan sendiri ke laut/ disambungnya pulau demi pulau/
disatukannya benua demi benua. Perasaan kehilangan dan kerinduan yang tak
bisa diraih itu diungkap pula pada bait puisi yang lain : di langit, hanya di langit pilihan/ aku dapat menemukan kembali sungai/
kampung halaman dan surga yang mudah hilang(h.17). Ia seperti mengajak pembaca memasuki betapa perih dan kejam
ketika penyair mencoba merawat apa yang ada di masa kecil ke dalam puisi.
Kata-kata kampung halaman dan surga yang mudah hilang menjelaskan betapa
susahnya kembali merawat memori yang telah hilang. Di sini, biografi penyair
ikut memberi penjelasan ada pergeseran biografis dan pergeseran geografis
tempat penyair tinggal. Puisi bagi
penyair mirip kesaksian dan batu sejarah. Yang tak hanya sebagai prasasti dan
jejak dan riwayat penyair. Penyair menganggap puisi adalah cara merawat diri,
sejarah dan biografi. Aku harus menulis
untukmu, hidup ini lebih dari kalah dan menang/ kalau tidak percaya tanyakan
pada langit/ atau pada pohon (h. 36).
Puisi dan penyair memang tak bisa dipisahkan. Eka
seolah mengajak puisinya menyapa kita sebagai ajakan untuk melakukan refleksi
dan permenungan kepada hidup. Hidup yang luas ini digambarkan sebagai langit
dan setiap kita tentu memiliki hak untuk memilih pada dunia dan langit macam
apakah kita sekarang ini. Di kata pembuka di buku ini, ia menuliskan : ‘karena
itulah, sebelum terlambat marilah kita pilih langit pilihan kita’. Sapardi
mengatakan bahwa Eka tak memilih bahasa yang ruwet, ia memilih bahasa yang
sederhana untuk menguraikan apa yang ingin ia ungkapkan di puisi-puisinya. Penyair
juga membuat metafor Indonesia sebagai langit yang penuh warna-warni :aku berjanji memilih langitku: langit
kepercayaan/ langit kristen/ langit islam/ langit Budha/ langit Hindu/ semua
terkembang dengan tetang/ cerah maupun hujan(h.55).
Di buku Langit
Pilihan(2012) ini, Eka mengajak pembaca untuk berpetualang, merefleksikan,
dan juga membuat hidup menjadi lebih berarti. Kita diajak untuk menafsirkan
hidup dengan pandangan penyair yakni hidup yang berbuat dan melakukan sesuatu,
terlibat. Seperti kata-kata penyair berikut : jangan biarkan aku jadi pembiar sekali saja. Maka hidup bagi
penyair tak sekadar hidup untuk kalah dan menang, tetapi melampaui itu, ia
ingin mengatakan bahwa sebagaimana kata Riris K Sarumpaet, penyair ingin
mengatakan bahwa : “hidup ini bukan untuk merangkak.....”.
*) Solo, 17/3/15
*)
Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment