klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Saturday 23 August 2014

Max Lane Menuliskan 65




Buku Max Lane, adalah sebaris catatan pendek tentang sejarah 65, beserta konsekuensi-konsekuensi yang ada setelahnya. Setidaknya Max Lane mencatat, setelah tragedi 65, demokrasi yang ada di negeri ini yang baru mau dibangun Soekarno justru hancur lebur
 
Pramoedya Ananta Toer. Tokoh, budayawan kiri, sekaligus salah satu jajaran pengurus lekra mengucapkan kata-kata yang menurut saya menarik : “Soeharto dan rejimnya tidak mempunyai idealism. Itulah sebabnya mengapa yang dikembangkan di bidang kebudayaan hanyalah hiburan. Hiburan yang makin lama makin tidak masuk akal. Gombal semuanya itu! Otak manusia yang normal tidak akan bias menyerap itu”. Wawancara ini diterbitkan tahun 2006. Saya mencoba mengingat apa saja tinggalan kebudayaan Orba yang sampai saat ini masih ada. Saya jadi ingat buku Kekerasan Budaya 1965 (2014) karya Wijaya Herlambang. Di buku itu dipaparkan mengenai bagaimana peran para tokoh intelektual, sejarawan, hingga pada agensi kebudayaan mencoba melakukan konspirasi dan memunculkan kebudayaan baru di bawah naungan rezim Soeharto. Dengan waktu yang begitu singkat, Soeharto memproduksi film, juga novel serta melakukan reproduksi wacana. Melalui buku-buku sejarah, juga pelajaran yang ada di sekolah-sekolah, rezim ini masih melekat dengan versi sejarah yang buram dan membingungkan. Bahkan sampai saat ini, kita tak banyak menemui karya-karya para tokoh lekra dan orang-orang kiri di masa lampau. Bahkan, Pramoedya sendiri, kalau tidak diselundupkan naskah dan karya-karyanya, kita tak bisa menemui karya-karya itu sampai hari ini. Melalui agensi kebudayaan, rezim Soeharto membangun poros bersama Amerika. Bersamaan dengan itu, masuklah kucuran dana yang cukup deras dan terumuskan upaya liberalisasi kebudayaan melalui  perumusan “Manifesto kebudayaan” yang lebih dikenal Manikebu. Memang pada akhirnya perseteruan antara Manikebu vs Lekra tak lain adalah bagian dari politik kebudayaan. Pada mulanya perdebatan mengenai kebudayaan ini teramat penting mengenai pentingnya modernisasi atau tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa kita.
Lalu apa saja kebudayaan yang diciptakan oleh rezim Soeharto yang sampai saat ini masih melekat dalam pikiran kita?. Soeharto sudah cukup banyak menciptakan memori “Negara” dalam hati masyarakatnya, tidak hanya melalui penggunaan “seragam”, melalui nalar militeristik, Soeharto telah menciptakan kultur ABS (asal bapak senang) tak hanya dalam dunia militer tapi juga di dunia pendidikan. Melalui upacara bendera, tak hanya nasionalisme semu, tetapi juga nalar disiplin,tertib, patuh pada Negara ditanamkan melalui upacara bendera. Di dalam dunia pendidikan, atribut Negara di ruang kelas kita adalah buah dari ideologisasi ala rezim Soeharto. Melalui buku-buku pelajaran, diproduksi aneka cerita rakyat dan buku cerita anak, yang memuji peran Soeharto sebagai bapak pembangunan, agenda suksesi wajib belajar 9 tahun, dan aneka sosialisasi program pemerintah melalui cerita-cerita itu.
Buku Max Lane “Malapetaka di Indonesia”(2012) membantu saya membuka kembali peristiwa yang sudah puluhan tahun silam. Peristiwa 65 tak sekadar peristiwa penggulingan kekuasaan yang tersistematis, tetapi juga produksi bahasa yang secara sadar digunakan bersamaan dengan lengsernya Soekarno. Termasuk munculnya istilah Orde Baru, Orde lama, penyebutan istilah 65 dengan menggunakan kata “tragedy” misalnya. Pemakaian tragedi adalah penyelewengan sejarah dan seharusnya segera berhenti. Tragedi diambil dari bahasa inggris “tragedy” yang berarti sebuah peristiwa sedih, atau malapetaka. Memang pembantaian ini adalah malapetaka buat Indonesia dan jelas juga sesuatu kejadian yang menyedihkan. Tetapi tragedi mengesankan seolah sebuah kecelakaan (Lane, 2012:108). Melalui buku ini Max Lane juga mengulas bahwa seandainya konflik dua fraksi antara Soekarno-PKI, Soeharto-militer, dibantu dengan kelompok islam, mekanisme demokrasi tanpa pemilihan, demokrasi musyawarah dan gotong royong bisa saja dijalankan. Tahun-tahun itu memang telah lewat, namun sepertinya kita belum mampu menyibak misteri September yang memilukan itu. Buku Max Lane, adalah sebaris catatan pendek tentang sejarah 65, beserta konsekuensi-konsekuensi yang ada setelahnya. Setidaknya Max Lane mencatat, setelah tragedi 65, demokrasi yang ada di negeri ini yang baru mau dibangun Soekarno justru hancur lebur. Meski sebelumnya, demokrasi liberal yang diujicobakan Soekarno justru menemukan kegagalan dan kritik keras dari penentangnya. Demokrasi ala sosialime ini pun harus menanggung duka dan luka tatkala ia harus berakhir dengan begitu keji dan kejam. Setelah itu, ia pun harus menanggung konsekuensi tragis dari apa yang mereka perjuangkan yakni pelarangan dan penghancuran missal menggunakan tangan Negara. Max Lane pun mengkritik, setelah Indonesia merdeka, Indonesia tidak memiliki kelas feodal yang kuat, juga tak memiliki kelas borjuasi nasional yang menyatukan kekuatan Negara. Paska kemerdekaan, poros perjuangan yang dibangun dari massa rakyat yang teradikalisasi, harus mengalami posisi yang kontradiktif dengan partai borjuis dalam negeri yang belum bersifat nasional.


Komputer UMS, 23/8/14



           

No comments:

Post a Comment