Buku Max Lane, adalah sebaris catatan pendek tentang sejarah 65, beserta konsekuensi-konsekuensi yang ada setelahnya. Setidaknya Max Lane mencatat, setelah tragedi 65, demokrasi yang ada di negeri ini yang baru mau dibangun Soekarno justru hancur lebur
Pramoedya Ananta Toer. Tokoh,
budayawan kiri, sekaligus salah satu jajaran pengurus lekra mengucapkan
kata-kata yang menurut saya menarik : “Soeharto dan rejimnya tidak mempunyai
idealism. Itulah sebabnya mengapa yang dikembangkan di bidang kebudayaan
hanyalah hiburan. Hiburan yang makin lama makin tidak masuk akal. Gombal
semuanya itu! Otak manusia yang normal tidak akan bias menyerap itu”. Wawancara
ini diterbitkan tahun 2006. Saya mencoba mengingat apa saja tinggalan
kebudayaan Orba yang sampai saat ini masih ada. Saya jadi ingat buku Kekerasan Budaya 1965 (2014) karya
Wijaya Herlambang. Di buku itu dipaparkan mengenai bagaimana peran para tokoh
intelektual, sejarawan, hingga pada agensi kebudayaan mencoba melakukan
konspirasi dan memunculkan kebudayaan baru di bawah naungan rezim Soeharto.
Dengan waktu yang begitu singkat, Soeharto memproduksi film, juga novel serta
melakukan reproduksi wacana. Melalui buku-buku sejarah, juga pelajaran yang ada
di sekolah-sekolah, rezim ini masih melekat dengan versi sejarah yang buram dan
membingungkan. Bahkan sampai saat ini, kita tak banyak menemui karya-karya para
tokoh lekra dan orang-orang kiri di masa lampau. Bahkan, Pramoedya sendiri,
kalau tidak diselundupkan naskah dan karya-karyanya, kita tak bisa menemui
karya-karya itu sampai hari ini. Melalui agensi kebudayaan, rezim Soeharto
membangun poros bersama Amerika. Bersamaan dengan itu, masuklah kucuran dana
yang cukup deras dan terumuskan upaya liberalisasi kebudayaan melalui perumusan “Manifesto kebudayaan” yang lebih
dikenal Manikebu. Memang pada akhirnya perseteruan antara Manikebu vs Lekra tak
lain adalah bagian dari politik kebudayaan. Pada mulanya perdebatan mengenai
kebudayaan ini teramat penting mengenai pentingnya modernisasi atau tetap
mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa kita.
Lalu apa saja kebudayaan yang
diciptakan oleh rezim Soeharto yang sampai saat ini masih melekat dalam pikiran
kita?. Soeharto sudah cukup banyak menciptakan memori “Negara” dalam hati
masyarakatnya, tidak hanya melalui penggunaan “seragam”, melalui nalar
militeristik, Soeharto telah menciptakan kultur ABS (asal bapak senang) tak
hanya dalam dunia militer tapi juga di dunia pendidikan. Melalui upacara
bendera, tak hanya nasionalisme semu, tetapi juga nalar disiplin,tertib, patuh
pada Negara ditanamkan melalui upacara bendera. Di dalam dunia pendidikan,
atribut Negara di ruang kelas kita adalah buah dari ideologisasi ala rezim
Soeharto. Melalui buku-buku pelajaran, diproduksi aneka cerita rakyat dan buku
cerita anak, yang memuji peran Soeharto sebagai bapak pembangunan, agenda
suksesi wajib belajar 9 tahun, dan aneka sosialisasi program pemerintah melalui
cerita-cerita itu.
Buku Max Lane “Malapetaka di Indonesia”(2012) membantu
saya membuka kembali peristiwa yang sudah puluhan tahun silam. Peristiwa 65 tak
sekadar peristiwa penggulingan kekuasaan yang tersistematis, tetapi juga
produksi bahasa yang secara sadar digunakan bersamaan dengan lengsernya
Soekarno. Termasuk munculnya istilah Orde Baru, Orde lama, penyebutan istilah
65 dengan menggunakan kata “tragedy” misalnya. Pemakaian tragedi adalah
penyelewengan sejarah dan seharusnya segera berhenti. Tragedi diambil dari
bahasa inggris “tragedy” yang berarti sebuah peristiwa sedih, atau malapetaka. Memang
pembantaian ini adalah malapetaka buat Indonesia dan jelas juga sesuatu
kejadian yang menyedihkan. Tetapi tragedi mengesankan seolah sebuah kecelakaan
(Lane, 2012:108). Melalui buku ini Max Lane juga mengulas bahwa seandainya
konflik dua fraksi antara Soekarno-PKI, Soeharto-militer, dibantu dengan
kelompok islam, mekanisme demokrasi tanpa pemilihan, demokrasi musyawarah dan
gotong royong bisa saja dijalankan. Tahun-tahun itu memang telah lewat, namun
sepertinya kita belum mampu menyibak misteri September yang memilukan itu. Buku
Max Lane, adalah sebaris catatan pendek tentang sejarah 65, beserta
konsekuensi-konsekuensi yang ada setelahnya. Setidaknya Max Lane mencatat,
setelah tragedi 65, demokrasi yang ada di negeri ini yang baru mau dibangun
Soekarno justru hancur lebur. Meski sebelumnya, demokrasi liberal yang
diujicobakan Soekarno justru menemukan kegagalan dan kritik keras dari
penentangnya. Demokrasi ala sosialime ini pun harus menanggung duka dan luka
tatkala ia harus berakhir dengan begitu keji dan kejam. Setelah itu, ia pun
harus menanggung konsekuensi tragis dari apa yang mereka perjuangkan yakni
pelarangan dan penghancuran missal menggunakan tangan Negara. Max Lane pun
mengkritik, setelah Indonesia merdeka, Indonesia tidak memiliki kelas feodal
yang kuat, juga tak memiliki kelas borjuasi nasional yang menyatukan kekuatan
Negara. Paska kemerdekaan, poros perjuangan yang dibangun dari massa rakyat
yang teradikalisasi, harus mengalami posisi yang kontradiktif dengan partai
borjuis dalam negeri yang belum bersifat nasional.
Komputer
UMS, 23/8/14
No comments:
Post a Comment