klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 14 August 2014

Pernikahan dan Kebahagiaan


 




















Bahwa hanya ada satu kebahagiaan dalam hidup—hidup untuk orang lain

(Leo Tolstoy ,A Happy Married, 1975)



Pada akhirnya kita menjalani kehidupan pun menginginkan kebahagiaan. Mengapa kebahagiaan kita justru bertaut dengan orang lain, berhubungan dengan orang lain, bahkan tak bisa dilepaskan dengan orang lain. Apalagi bila kebahagiaan bersinggungan dengan urusan dan persoalan rumah tangga. Novel Tolstoy yang diterjemahkan dengan judul Rumah Tangga Yang Bahagia sebenarnya agak berlainan dengan makna dalam judul aslinya. Bila di judul aslinya, kita bisa mengartikan “Pernikahan Yang Bahagia”,tetapi dalam terjemahan Dodong Djiwapradja dimaknai sebagai “Rumah Tangga Yang Bahagia”. Bila mengacu pada judul asli, saya jadi teringat pada novel yang mengisahkan kisah pernikahan yang gagal sebagaimana yang dialami oleh NH Dini dalam novelnya La Barca. Namun, pernikahan tentu tak semulus pula dalam gambaran kita. Konon, bila pernikahan sudah berlangsung, maka kehidupan pun berjalan dengan tenang, bahagia, dan kebersamaan pun seolah menguatkan kebahagiaan. Cerita tentang kebahagiaan dalam pernikahan memang tak bias segampang dalam bayangan kita. Seringkali kehidupan pernikahan diterpa badai cobaan entah itu cobaan berkaitan dengan komunikasi, problem rumah tangga hingga urusan kebutuhan keluarga. Dan biasanya, kita berharap dengan hadirnya anak, kebahagiaan semakin diuji. Ujian dalam rumah tangga itu pun dialami Masha  gadis remaja dalam novel ini. Gadis yang menikah di usia muda ini, tak memerlukan waktu lama, bahwa teman Ayahnya dulu, membuatnya menjadi pelindung dan pengayom semenjak ibu dan Ayahnya mati. Ibunya menyusul kemudian saat ia berusia kanak-kanak. Kehidupan Masha pada mulanya adalah ketertarikan dari seorang perempuan yang membutuhkan sosok lelaki,sebagaimana yang ada pada Sergei Mikhailich. Ketertarikannya pada Sergei Mikhailich pelan-pelan menghilangkan duka padanya, rasa berkabungnya pelan-pelan hilang. Tentu, kita tahu bagaimana seseorang yang kehilangan Ibu. Masha telah kehilangan semua, tapi Sergei Mikhailich mengatakan sebaliknya, “Tak ada maaf buat yang suka jemu,usahakanlah supaya jangan demikian, kau mengerti music, ada buku-buku dan bisa belajar.Seluruh hidupmu ada di hadapanmu, kini saatnya kau mempersiapkan diri untuk menghadapinya,supaya tak akan menyesal kelak. Tahun depan sudah terlambat”.  
             Saya jadi teringat puisi Radar Panca Dahana yang berjudul Hak : apa yang membuat wanita berhak pada lelaki/apa yang membuat lelaki berhak pada wanita. Dalam pernikahan, orang sering mengandaikan bahwa lelakilah yang kelak memimpin dan mengatur urusan rumah tangga. Kehidupan kita terlanjur menerima doktrin agama yang diplintir bahwa dalam kehidupan rumah tangga, seorang lelaki dan perempuan dibedakan. Padahal, dalam persoalan strata social, lelaki dan perempuan sebenarnya memiliki kedudukan yang sama dalam urusan rumah tangga. Apa yang dialami oleh Sergei Mikhailich adalah gambaran bahwa seorang lelaki dalam rumah tangga pada akhirnya harus saling menerima, mengerti perasaan-perasaan perempuan sebagaimana mestinya. Hal ini cukup susah, mengingat lelaki dalam novel ini adalah seorang pak tua yang berumur puluhan tahun, ia harus menuruti, membimbing, mengayomi, membuat seorang perempuan menjadi lebih dewasa dan lebih memahami keadaannya. Mikhailich pada awalnya malu, dan kaku memperlihatkan istrinya, tetapi pada akhirnya justru Masha yang tampil dalam kalangan bangsawan dengan gaya yang luar biasa. Ia menarik perhatian, dan menjadi perhatian public. Pada akhirnya Masha terjatuh juga pada rayuan lelaki.Namun, ia lebih memilih kembali pada suaminya dan menyadari kesalahannya. Masha pada akhirnya sadar, kebahagiaan yang selama ini ia impikan sebenarnya sudah ia dapatkan, justru ia mendapat sesuatu yang lebih. Pernikahannya dengan lelaki yang lebih tua tak jadi masalah, ia menerima dengan perasaan wajar dan biasa. Setelah kehadiran anaknya yang pertama, ia menyadari bahwa setelah pernikahan, kita masih perlu menyelesaikan kebahagiaan yang lain. Ia pun sadar, pernikahan adalah awal, tangga untuk mendapatkan kebahagiaan, meski sebenarnya pernikahan itu sendiri sudah merupakan kebahagiaa. Sebagaimana penutup dalam novel ini, kehidupan ini tak pernah berakhir sampai hari ini. Dan disaat itulah, Masha sadar bahwa kebahagiaannya adalah kebahagiaan rumah tangganya.


Solo, 15/8/14

   
           

No comments:

Post a Comment