Bahwa hanya ada satu kebahagiaan dalam hidup—hidup untuk orang lain
(Leo Tolstoy ,A Happy Married, 1975)
Pada
akhirnya kita menjalani kehidupan pun menginginkan kebahagiaan. Mengapa
kebahagiaan kita justru bertaut dengan orang lain, berhubungan dengan orang
lain, bahkan tak bisa dilepaskan dengan orang lain. Apalagi bila kebahagiaan
bersinggungan dengan urusan dan persoalan rumah tangga. Novel Tolstoy
yang diterjemahkan dengan judul Rumah Tangga Yang Bahagia sebenarnya
agak berlainan dengan makna dalam judul aslinya. Bila di judul aslinya, kita
bisa mengartikan “Pernikahan Yang Bahagia”,tetapi dalam terjemahan Dodong Djiwapradja dimaknai sebagai “Rumah
Tangga Yang Bahagia”. Bila mengacu pada judul asli, saya jadi teringat pada
novel yang mengisahkan kisah pernikahan yang gagal sebagaimana yang dialami
oleh NH Dini dalam novelnya La Barca. Namun, pernikahan tentu tak
semulus pula dalam gambaran kita. Konon, bila pernikahan sudah berlangsung,
maka kehidupan pun berjalan dengan tenang, bahagia, dan kebersamaan pun seolah
menguatkan kebahagiaan. Cerita tentang kebahagiaan dalam pernikahan memang tak
bias segampang dalam bayangan kita. Seringkali kehidupan pernikahan diterpa
badai cobaan entah itu cobaan berkaitan dengan komunikasi, problem rumah tangga
hingga urusan kebutuhan keluarga. Dan biasanya, kita berharap dengan hadirnya
anak, kebahagiaan semakin diuji. Ujian dalam rumah tangga itu pun dialami Masha gadis remaja dalam novel
ini. Gadis yang menikah di usia muda ini, tak memerlukan waktu lama, bahwa
teman Ayahnya dulu, membuatnya menjadi pelindung dan pengayom semenjak ibu dan
Ayahnya mati. Ibunya menyusul kemudian saat ia berusia kanak-kanak. Kehidupan
Masha pada mulanya adalah ketertarikan dari seorang perempuan yang membutuhkan
sosok lelaki,sebagaimana yang ada pada Sergei Mikhailich. Ketertarikannya pada
Sergei Mikhailich pelan-pelan menghilangkan duka padanya, rasa berkabungnya
pelan-pelan hilang. Tentu, kita tahu bagaimana seseorang yang kehilangan Ibu. Masha telah kehilangan semua, tapi
Sergei Mikhailich mengatakan sebaliknya, “Tak ada maaf buat yang suka
jemu,usahakanlah supaya jangan demikian, kau mengerti music, ada buku-buku dan
bisa belajar.Seluruh hidupmu ada di hadapanmu, kini saatnya kau mempersiapkan
diri untuk menghadapinya,supaya tak akan menyesal kelak. Tahun depan sudah
terlambat”.
Saya jadi teringat puisi Radar Panca Dahana yang berjudul Hak : apa yang membuat wanita berhak pada
lelaki/apa yang membuat lelaki berhak pada wanita. Dalam pernikahan, orang
sering mengandaikan bahwa lelakilah yang kelak memimpin dan mengatur urusan
rumah tangga. Kehidupan kita terlanjur menerima doktrin agama yang diplintir
bahwa dalam kehidupan rumah tangga, seorang lelaki dan perempuan dibedakan.
Padahal, dalam persoalan strata social, lelaki dan perempuan sebenarnya
memiliki kedudukan yang sama dalam urusan rumah tangga. Apa yang dialami oleh
Sergei Mikhailich adalah gambaran bahwa seorang lelaki dalam rumah tangga pada
akhirnya harus saling menerima, mengerti perasaan-perasaan perempuan
sebagaimana mestinya. Hal ini cukup susah, mengingat lelaki dalam novel ini
adalah seorang pak tua yang berumur puluhan tahun, ia harus menuruti,
membimbing, mengayomi, membuat seorang perempuan menjadi lebih dewasa dan lebih
memahami keadaannya. Mikhailich pada awalnya malu, dan kaku memperlihatkan
istrinya, tetapi pada akhirnya justru Masha
yang tampil dalam kalangan bangsawan dengan gaya yang luar biasa. Ia
menarik perhatian, dan menjadi perhatian public. Pada akhirnya Masha terjatuh juga pada rayuan
lelaki.Namun, ia lebih memilih kembali pada suaminya dan menyadari
kesalahannya. Masha pada akhirnya sadar, kebahagiaan yang selama ini ia impikan
sebenarnya sudah ia dapatkan, justru ia mendapat sesuatu yang lebih.
Pernikahannya dengan lelaki yang lebih tua tak jadi masalah, ia menerima dengan
perasaan wajar dan biasa. Setelah kehadiran anaknya yang pertama, ia menyadari
bahwa setelah pernikahan, kita masih perlu menyelesaikan kebahagiaan yang lain.
Ia pun sadar, pernikahan adalah awal, tangga untuk mendapatkan kebahagiaan,
meski sebenarnya pernikahan itu sendiri sudah merupakan kebahagiaa. Sebagaimana
penutup dalam novel ini, kehidupan ini tak pernah berakhir sampai hari ini. Dan
disaat itulah, Masha sadar bahwa
kebahagiaannya adalah kebahagiaan rumah tangganya.
Solo, 15/8/14
No comments:
Post a Comment