Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Joko Pinurbo menyebut novel Pohon-Pohon Sesawi (1999)garapan Romo Mangun sebagai refleksi
perjalanan hidupnya sebagai seorang imam dan romantikanya, juga konflik
batinnya. Romo Mangun memang sosok yang “keras hati”, itulah ingatan Jokpin
tatkala mengingat semangat dan keyakinannya. Romo Mangun memang memiliki
kekhasan dan khazanah kejawaan yang cukup kuat, sehingga apa yang ia tuturkan
dalam novel begitu lancar dan renyah. Kita bisa menyimak kisah tokoh yang ada
dalam novel Pohon-Pohon Sesawi ini.
Pada bab ulat kecil di daun-daun jarak misalnya, lihatlah bagaimana ia menggunakan metafor judul yang indah,
padahal ia tak bercerita tentang ulat dan dedaunan. Ia justru mengisahkan
tentang nasib Nabi yang sinting, Romo tak canggung menggunakan
bahasa yang lancar, meski dianggap oleh sebagian khalayak aneh, nyleneh, dan
kasar. Masak nabi sinting? Bila di jaman sekarang tentu kita tahu banyak orang
yang mengaku Nabi, yang bisa saja kita sebut sinting. Tapi
bagaimana kalau yang dikatakan sinting adalah Nabi Yunus, Yunus disebut sebagai
seorang nabi yang sinting karena sering protes dengan Tuhan dan keras kepala.
Bahkan Tuhan pun dibuat untuk geleng-geleng kepala gara-gara perilaku Yunus.
Maklum, orang taubat malah diprotes oleh Yunus, menurut Yunus orang-orang itu
cuma taubat karena ia tak ingin disapu dengan tsunami dan bencana lainnya. Anehnya kisah Nabi Yunus yang sinting ini
membuat berang Romo Broto, Romo menilai ini bacaan berbahaya. “Bagaimana
jadinya kalau mereka sudah belajar membolos, lari dan merasa lebih pintar dari
Tuhan! Bukan! Kitab Yunus bukan bacaan yang baik untuk siswa seminari”. Ia
malah memasukkan urusan ulat dan daun jarak dengan kisah Nabi Yunus
yang sinting dan selalu memprotes Tuhan, Yunus pun protes mengapa ulat malah makan daun jarak
yang dianggapnya nyleneh. Dan Tuhan pun tertawa saja oleh kelakuan Yunus.
Saya jadi ingat novel garapan
Triyanto Triwikromo, Taufiq ismail menyebut ini sebagai novel yang tak hanya
memuat nama-nama islami seperti Alloh, malaikat, Syekh, tetapi juga
surga,neraka. Lebih dari itu, di dalam novel ini, religiositas lebih nampak
pada bagaimana kisah ini diceritakan. Kisah tentang religiositas nampak pada
bagaimana cara Triyanto mengupas urusan tanjung dan surau yang hampir
tenggelam. Ia lihai karena ia menguasai dan intim terhadap apa yang dia
kisahkan, Romo Mangun pun demikian, ia intim dengan apa yang ia kisahkan. Ia
menguasai betul apa dan mau kemana kisah itu akan dia bawa. Ia tak hanya
mengisahkan Nabi Yunus yang sinting, tetapi juga kisah tentang suka duka
seorang yang ditunjuk Tuhan menjadi Romo, menjadi penyampai bagi ajaran dan
pengisah bagi firman-firmanNya. Tak lupa ia pun membawa urusan kehidupan wong
cilik dan dunianya di novel ini, kita menemui ini pada kisah Durian dan Pisang, yang menceritakan
seorang Romo bengkring, kurus tergoda gadis gemuk, gendut. Yang tak kalah
lihai, Romo juga mengajak pembaca mengurus agama justru melalui drama, kisah
misa dan natal justru diwujudkan dalam drama pada bab Salib Ringan dari Gabus. Yang Tak
kalah menarik adalah autokritik yang ia tulis sebagai catatan penting bernada
satire, halus dan mendalam tentang peristiwa misa kudus. Gejala Pencolokan Suci, ia bisa saja mengaitkan antara “gejala pencolokan” dengan kata “suci”. Pada bab ini ia menyindir dengan
lengkap persoalan misa kudus justru menjadi ajang pamer busana hingga tukang
parkirnya yang menggoda wanita cantik yang mau ke gereja. Sampai ia menuliskan
bagaimana sikap mereka tak lebih seperti peribahasa “ biarpun anjing
menggonggong, kafilah tetap jalan terus”. Anehnya, kesimpulan terakhir dari Gejala Pencolokan Suci ini menurut Romo
adalah ungkapan pasrah : “agar iman, harapan dan cinta kasih berbicara.
Serahkan ikhlas kepada penilaian Tuhan yang Maha Arif. Jelaslah itu bukan
kesimpulan, tetapi kebingungan”. Memang Romo mangun pun bingung, gelisah dan
resah pada akhirnya. Urusan iman, religiositas dan keberagamaan dilukiskan
dengan apik oleh Romo Mangun. Novel pun mengajak kita semakin beradab dan
semakin religius.
Bergurau, guyon adalah khas Romo Mangun. Tatkala mengingat Romo Mangun, Cak
Nun pun mengisahkan pengalamannya, “Romo Mangun ki suka bercanda, maka dia
marah dan bilang cangkemu Nun..nun tatkala saya bilang Tuhanmu ki ra katokan
Romo”. Gurauan itu pun ditulis di novel ini ketika ada seorang Pator merasa
kewalahan menjawab seorang perempuan yang bertanya : “Apa betul Gusti Yesus
tidak menikah? Dan Mengapa? Apa perempuan dinilai Yesus kotor?”. Pertanyaan
yang membuat romo tak bisa sembarangan menjawab. Romo Mangun menginsafi, bahwa
beragama adalah berkasih sayang, tak hanya sesama orang yang beragama tapi juga
kepada semua umat manusia, dalam nuansa itulah Romo tak hendak mengejek,
apalagi menertawakan, tetapi apa yang ditulis Romo adalah kehidupan yang ada di
sekitar kita, di sekeliling kita. Ketika orang belum faham betul agama, ia
sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan spontan, lugu, tapi disitulah ekspresi
keagamaan kita pada mulanya. Dan pada akhirnya, agama adalah cara kita mengolah
pertanyaan-pertanyaan itu melalui firman serta di dukung oleh semakin kuatnya
Iman dan pemahaman seseorang mengenai agamanya. Romo dengan luwes dan lihai
mengurai bagaimana kehidupan agama orang kecil dengan tanpa menggurui pun tak
mengejek, tetapi mencoba menjelaskan bahwa dalam iman, kita tak melulu harus
menemukan hidayahNya dari kitab, tetapi juga dari kisah keseharian kita, dari
cerita. Bukankah kitab perjanjian lama dan baru, Al-Qur’an juga berisi
kisah-kisah?. Disinilah keberhasilan Romo Mangun mengajak kita beragama dengan
menyimak kisah dan ceritanya melalui novelnya ini.
No comments:
Post a Comment