klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 4 August 2014

Beragama, Berkisah





Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

Joko Pinurbo menyebut novel Pohon-Pohon Sesawi (1999)garapan Romo Mangun sebagai refleksi perjalanan hidupnya sebagai seorang imam dan romantikanya, juga konflik batinnya. Romo Mangun memang sosok yang “keras hati”, itulah ingatan Jokpin tatkala mengingat semangat dan keyakinannya. Romo Mangun memang memiliki kekhasan dan khazanah kejawaan yang cukup kuat, sehingga apa yang ia tuturkan dalam novel begitu lancar dan renyah. Kita bisa menyimak kisah tokoh yang ada dalam novel Pohon-Pohon Sesawi ini. Pada bab ulat kecil di daun-daun jarak misalnya, lihatlah bagaimana ia menggunakan metafor judul yang indah, padahal ia tak bercerita tentang ulat dan dedaunan. Ia justru mengisahkan tentang nasib Nabi yang sinting, Romo tak canggung menggunakan bahasa yang lancar, meski dianggap oleh sebagian khalayak aneh, nyleneh, dan kasar. Masak nabi sinting? Bila di jaman sekarang tentu kita tahu banyak orang yang mengaku Nabi, yang bisa saja kita sebut sinting. Tapi bagaimana kalau yang dikatakan sinting adalah Nabi Yunus, Yunus disebut sebagai seorang nabi yang sinting karena sering protes dengan Tuhan dan keras kepala. Bahkan Tuhan pun dibuat untuk geleng-geleng kepala gara-gara perilaku Yunus. Maklum, orang taubat malah diprotes oleh Yunus, menurut Yunus orang-orang itu cuma taubat karena ia tak ingin disapu dengan tsunami dan bencana lainnya.  Anehnya kisah Nabi Yunus yang sinting ini membuat berang Romo Broto, Romo menilai ini bacaan berbahaya. “Bagaimana jadinya kalau mereka sudah belajar membolos, lari dan merasa lebih pintar dari Tuhan! Bukan! Kitab Yunus bukan bacaan yang baik untuk siswa seminari”. Ia malah memasukkan urusan ulat  dan daun jarak dengan kisah Nabi Yunus yang sinting dan selalu memprotes Tuhan, Yunus pun protes mengapa ulat malah makan daun jarak yang dianggapnya nyleneh. Dan Tuhan pun tertawa saja oleh kelakuan Yunus.  
            Saya jadi ingat novel garapan Triyanto Triwikromo, Taufiq ismail menyebut ini sebagai novel yang tak hanya memuat nama-nama islami seperti Alloh, malaikat, Syekh, tetapi juga surga,neraka. Lebih dari itu, di dalam novel ini, religiositas lebih nampak pada bagaimana kisah ini diceritakan. Kisah tentang religiositas nampak pada bagaimana cara Triyanto mengupas urusan tanjung dan surau yang hampir tenggelam. Ia lihai karena ia menguasai dan intim terhadap apa yang dia kisahkan, Romo Mangun pun demikian, ia intim dengan apa yang ia kisahkan. Ia menguasai betul apa dan mau kemana kisah itu akan dia bawa. Ia tak hanya mengisahkan Nabi Yunus yang sinting, tetapi juga kisah tentang suka duka seorang yang ditunjuk Tuhan menjadi Romo, menjadi penyampai bagi ajaran dan pengisah bagi firman-firmanNya. Tak lupa ia pun membawa urusan kehidupan wong cilik dan dunianya di novel ini, kita menemui ini pada kisah Durian dan Pisang, yang menceritakan seorang Romo bengkring, kurus tergoda gadis gemuk, gendut. Yang tak kalah lihai, Romo juga mengajak pembaca mengurus agama justru melalui drama, kisah misa dan natal justru diwujudkan dalam drama pada bab Salib Ringan dari Gabus. Yang Tak kalah menarik adalah autokritik yang ia tulis sebagai catatan penting bernada satire, halus dan mendalam tentang peristiwa misa kudus. Gejala Pencolokan Suci, ia bisa saja mengaitkan antara “gejala pencolokan” dengan kata “suci”. Pada bab ini ia menyindir dengan lengkap persoalan misa kudus justru menjadi ajang pamer busana hingga tukang parkirnya yang menggoda wanita cantik yang mau ke gereja. Sampai ia menuliskan bagaimana sikap mereka tak lebih seperti peribahasa “ biarpun anjing menggonggong, kafilah tetap jalan terus”. Anehnya, kesimpulan terakhir dari Gejala Pencolokan Suci ini menurut Romo adalah ungkapan pasrah : “agar iman, harapan dan cinta kasih berbicara. Serahkan ikhlas kepada penilaian Tuhan yang Maha Arif. Jelaslah itu bukan kesimpulan, tetapi kebingungan”. Memang Romo mangun pun bingung, gelisah dan resah pada akhirnya. Urusan iman, religiositas dan keberagamaan dilukiskan dengan apik oleh Romo Mangun. Novel pun mengajak kita semakin beradab dan semakin religius. 
            Bergurau, guyon adalah khas Romo Mangun. Tatkala mengingat Romo Mangun, Cak Nun pun mengisahkan pengalamannya, “Romo Mangun ki suka bercanda, maka dia marah dan bilang cangkemu Nun..nun tatkala saya bilang Tuhanmu ki ra katokan Romo”. Gurauan itu pun ditulis di novel ini ketika ada seorang Pator merasa kewalahan menjawab seorang perempuan yang bertanya : “Apa betul Gusti Yesus tidak menikah? Dan Mengapa? Apa perempuan dinilai Yesus kotor?”. Pertanyaan yang membuat romo tak bisa sembarangan menjawab. Romo Mangun menginsafi, bahwa beragama adalah berkasih sayang, tak hanya sesama orang yang beragama tapi juga kepada semua umat manusia, dalam nuansa itulah Romo tak hendak mengejek, apalagi menertawakan, tetapi apa yang ditulis Romo adalah kehidupan yang ada di sekitar kita, di sekeliling kita. Ketika orang belum faham betul agama, ia sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan spontan, lugu, tapi disitulah ekspresi keagamaan kita pada mulanya. Dan pada akhirnya, agama adalah cara kita mengolah pertanyaan-pertanyaan itu melalui firman serta di dukung oleh semakin kuatnya Iman dan pemahaman seseorang mengenai agamanya. Romo dengan luwes dan lihai mengurai bagaimana kehidupan agama orang kecil dengan tanpa menggurui pun tak mengejek, tetapi mencoba menjelaskan bahwa dalam iman, kita tak melulu harus menemukan hidayahNya dari kitab, tetapi juga dari kisah keseharian kita, dari cerita. Bukankah kitab perjanjian lama dan baru, Al-Qur’an juga berisi kisah-kisah?. Disinilah keberhasilan Romo Mangun mengajak kita beragama dengan menyimak kisah dan ceritanya melalui novelnya ini.


No comments:

Post a Comment