Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Puisi adalah
pengisahan. Tetapi pengisahan dalam puisi tentu akan berbeda dengan pengisahan
ketika kita bercerita. Dalam puisi, bisa saja metafora, diksi dan juga perasaan
masuk disana. Di puisi, selalu ada ruang terbuka bagi pembaca untuk melakukan
tafsir terhadap apa yang diungkap penyair. Penyair disini ditantang untuk tak
terburu-buru mengajak pembaca memasuki emosi yang akan disampaikannya, atau
membiarkan saja pembaca hanyut dan memasuki lebih dalam apa yang dirasakan
penyair melalui puisi yang diungkapkannya.
Puisi modern lebih memungkinkan
penyair lebih bebas, tanpa harus terganggu oleh diksi dan rima yang ketat.
Disisi lain, puisi baru lebih memungkinkan penyair bebas mengeksplorasi bentuk puisi.
Kita bisa menemui ini pada puisi jeihan yang serupa gambar. Tetapi, bila
dibanding dengan puisi lama, penyair yang boleh dibilang mampu bereksplorasi
pada bentuk, isi dan gaya hanya beberapa saja. Yang jadi kebiasaan bagi penyair
muda biasanya mereka tak mau banyak belajar dan mempelajari khazanah dan karya
penyair lampau. Seorang Amir Hamzah misalnya bisa bersyair dengan sedemikian
rapi dan ketat tapi tak menghilangkan kesan puitik dan sisi romantiknya. Atau
seorang Chairil Anwar yang bersyair melampaui apa yang ada di jamannya. Kesemua
itu adalah bagian dari kekayaan khazanah bagi penyair muda, atau penyair kita
saat ini ketika mereka mau membuka sejarah kesusasteraan kita.
Membaca puisi Elisyus (2014)
berjudul Nocturno kita seperti diajak
untuk menyimak pengisahan penyair mengenai pelbagai pengalamannya. Ketika ia
mengambil judul Nocturno, di puisi ini kita akan menemui penyair berkisah
tentang malam dan perasaan penyair yang seperti kesal dan muak. Hati-hati matanya sibuk mengeja langit/mulutnya sibuk
merapel mantra/ mengutuk dunia beserta isinya. Pada puisi ini kita tak menemukan sesuatu yang lain selain
cara penyajiannya yang menarik. Tetapi kita bisa membandingkan dengan puisi
Chairil Anwar di bukunya Deru Campur Debu(2000)
………..Aku menyeru—tapi tidak satu suara/
membalas, hanya mati di beku udara. Sama-sama mengurai malam, tetapi cara
pengungkapan menjadikan puisi lebih indah. Chairil Anwar meneruskan : Pena dan penyair keduanya mati/ Berpalingan.
Ada paradoks yang ingin disampaikan oleh Chairil, penyair dan pena menjadi tak
satu di tangan penyair, antara keinginan dan perasaan dan penyair menjadi tak
satu, hal ini tentu terjadi saat puisi dituliskan. Nocturno di puisi Chairil
mengisahkan puisi yang ditulis oleh penyair di malam hari. Sedang di Elisyus,
ia mencoba mengurai kekesalan dan muak lewat puisi melalui indera
penglihatannya dengan mengatakan sepasang
mata menatap purnama.
Hampir di setiap puisi di buku ini kita akan menemukan
pengisahan penyair tentang kekasih, tentang rindu, tentang kekaguman dan
tentang kenangan. Kita akan menemukan betapa rindu diungkapkan dengan begitu
polos, tak ada yang tahu/ apa yang
bersemayam dalam mata itu/ yang di dalamnya tinggal malam paling akhir/ malam
yang tak pernah mungkir (Memenjara Rindu). Perasaan rindu penyair menjadi
sia-sia tatkala ia mesti menghadapi ketidakberdayaan saat ia mengingat kenangan
dan tak bisa menemui kekasihnya. Di puisi lain, penyair berkisah tentang
pernyataan cintanya. Puisi ini begitu polos dan lugas tanpa metafora dan
sederhana. Kukumpulkan seluruh
keberanian/ lalu kupandang dia/ tak ada tuduhan/ tak ada tuntutan/ matanya
hanya berkata /aku mencintaimu (Kepada Kekasih). Aku jadi ingat penggalan
puisi Rendra yang di akhir puisinya pun mengatakan serupa : “Dik Narti, aku
cinta padamu”.
Di buku Nocturno ini kita akan
menemukan tentang pengisahan-pengisahan yang mengarah pada peristiwa,
kerinduan, juga perasaan-perasaan penyair yang disuarakan melalui puisinya. Sebenarnya
ketika Elisyus mau mencoba sedikit bersabar dan merenung, puisinya akan lebih
kental dan dalam. Kita bisa simak sebait puisi berikut : tak pernah cukup diksi/ yang kupakai untuk menghias tubuhmu/ wahai
lelaki yang padanya /kuserahkan kata “puisi”. Tetapi di bait puisi
berikutnya saya tak mampu menemukan perasaan takjub sebagaimana bait puisi
pertamanya ini.
Tetapi keberanian Elisyus
menghadirkan puisi untuk kita patut kita apresiasi. Elisyus setidaknya sudah
berbekal kepekaan inderanya dan cara dia mengolah perasaan dan kenangan dengan
cukup bagus. Tentu, dengan ketekunan dan kegigihannya, kelak ia akan menemukan
warna bagi puisi-puisinya. Sebagai pengagum Kahlil Gibran, tentu ia tak akan
membiarkan puisinya begitu cepat berlalu. Di buku puisi ini kita juga akan
menemukan adanya kesatuan tema yang coba diungkap dalam puisi-puisinya. Elisyus
telah menyuguhkan puisi romantic kepada kita. Sebagai seorang penyair
perempuan, kita bisa melihat kejujuran dan kepolosannya dalam mengungkap
perasaan dan emosionalitasnya. Sebagai pembaca saya ikut menikmati dan meresapi
pengalaman yang dihadirkan penyair melalui puisi-puisinya. Elisyus seperti
mengajak kita untuk memunguti masa-masa jatuh cinta kita di masa lalu. Ah….
*) Penulis adalah Penyuka Puisi, Pembelajar
di Pawon Sastra Solo dan Bilik Literasi
No comments:
Post a Comment