klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 19 February 2015

Puisi adalah Pengisahan




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Puisi  adalah pengisahan. Tetapi pengisahan dalam puisi tentu akan berbeda dengan pengisahan ketika kita bercerita. Dalam puisi, bisa saja metafora, diksi dan juga perasaan masuk disana. Di puisi, selalu ada ruang terbuka bagi pembaca untuk melakukan tafsir terhadap apa yang diungkap penyair. Penyair disini ditantang untuk tak terburu-buru mengajak pembaca memasuki emosi yang akan disampaikannya, atau membiarkan saja pembaca hanyut dan memasuki lebih dalam apa yang dirasakan penyair melalui puisi yang diungkapkannya.
            Puisi modern lebih memungkinkan penyair lebih bebas, tanpa harus terganggu oleh diksi dan rima yang ketat. Disisi lain, puisi baru lebih memungkinkan penyair bebas mengeksplorasi bentuk puisi. Kita bisa menemui ini pada puisi jeihan yang serupa gambar. Tetapi, bila dibanding dengan puisi lama, penyair yang boleh dibilang mampu bereksplorasi pada bentuk, isi dan gaya hanya beberapa saja. Yang jadi kebiasaan bagi penyair muda biasanya mereka tak mau banyak belajar dan mempelajari khazanah dan karya penyair lampau. Seorang Amir Hamzah misalnya bisa bersyair dengan sedemikian rapi dan ketat tapi tak menghilangkan kesan puitik dan sisi romantiknya. Atau seorang Chairil Anwar yang bersyair melampaui apa yang ada di jamannya. Kesemua itu adalah bagian dari kekayaan khazanah bagi penyair muda, atau penyair kita saat ini ketika mereka mau membuka sejarah kesusasteraan kita.
            Membaca puisi Elisyus (2014) berjudul Nocturno kita seperti diajak untuk menyimak pengisahan penyair mengenai pelbagai pengalamannya. Ketika ia mengambil judul Nocturno, di puisi ini kita akan menemui penyair berkisah tentang malam dan perasaan penyair yang seperti kesal dan muak. Hati-hati matanya sibuk mengeja langit/mulutnya sibuk merapel mantra/ mengutuk dunia beserta isinya. Pada puisi ini kita tak menemukan sesuatu yang lain selain cara penyajiannya yang menarik. Tetapi kita bisa membandingkan dengan puisi Chairil Anwar di bukunya Deru Campur Debu(2000) ………..Aku menyeru—tapi tidak satu suara/ membalas, hanya mati di beku udara. Sama-sama mengurai malam, tetapi cara pengungkapan menjadikan puisi lebih indah. Chairil Anwar meneruskan : Pena dan penyair keduanya mati/ Berpalingan. Ada paradoks yang ingin disampaikan oleh Chairil, penyair dan pena menjadi tak satu di tangan penyair, antara keinginan dan perasaan dan penyair menjadi tak satu, hal ini tentu terjadi saat puisi dituliskan. Nocturno di puisi Chairil mengisahkan puisi yang ditulis oleh penyair di malam hari. Sedang di Elisyus, ia mencoba mengurai kekesalan dan muak lewat puisi melalui indera penglihatannya dengan mengatakan sepasang mata menatap purnama.
            Hampir di setiap puisi di buku ini kita akan menemukan pengisahan penyair tentang kekasih, tentang rindu, tentang kekaguman dan tentang kenangan. Kita akan menemukan betapa rindu diungkapkan dengan begitu polos, tak ada yang tahu/ apa yang bersemayam dalam mata itu/ yang di dalamnya tinggal malam paling akhir/ malam yang tak pernah mungkir (Memenjara Rindu). Perasaan rindu penyair menjadi sia-sia tatkala ia mesti menghadapi ketidakberdayaan saat ia mengingat kenangan dan tak bisa menemui kekasihnya. Di puisi lain, penyair berkisah tentang pernyataan cintanya. Puisi ini begitu polos dan lugas tanpa metafora dan sederhana. Kukumpulkan seluruh keberanian/ lalu kupandang dia/ tak ada tuduhan/ tak ada tuntutan/ matanya hanya berkata /aku mencintaimu (Kepada Kekasih). Aku jadi ingat penggalan puisi Rendra yang di akhir puisinya pun mengatakan serupa : “Dik Narti, aku cinta padamu”.
            Di buku Nocturno ini kita akan menemukan tentang pengisahan-pengisahan yang mengarah pada peristiwa, kerinduan, juga perasaan-perasaan penyair yang disuarakan melalui puisinya. Sebenarnya ketika Elisyus mau mencoba sedikit bersabar dan merenung, puisinya akan lebih kental dan dalam. Kita bisa simak sebait puisi berikut : tak pernah cukup diksi/ yang kupakai untuk menghias tubuhmu/ wahai lelaki yang padanya /kuserahkan kata “puisi”. Tetapi di bait puisi berikutnya saya tak mampu menemukan perasaan takjub sebagaimana bait puisi pertamanya ini.
            Tetapi keberanian Elisyus menghadirkan puisi untuk kita patut kita apresiasi. Elisyus setidaknya sudah berbekal kepekaan inderanya dan cara dia mengolah perasaan dan kenangan dengan cukup bagus. Tentu, dengan ketekunan dan kegigihannya, kelak ia akan menemukan warna bagi puisi-puisinya. Sebagai pengagum Kahlil Gibran, tentu ia tak akan membiarkan puisinya begitu cepat berlalu. Di buku puisi ini kita juga akan menemukan adanya kesatuan tema yang coba diungkap dalam puisi-puisinya. Elisyus telah menyuguhkan puisi romantic kepada kita. Sebagai seorang penyair perempuan, kita bisa melihat kejujuran dan kepolosannya dalam mengungkap perasaan dan emosionalitasnya. Sebagai pembaca saya ikut menikmati dan meresapi pengalaman yang dihadirkan penyair melalui puisi-puisinya. Elisyus seperti mengajak kita untuk memunguti masa-masa jatuh cinta kita di masa lalu. Ah….


*) Penulis adalah Penyuka Puisi, Pembelajar di Pawon Sastra Solo dan Bilik Literasi

No comments:

Post a Comment