Dunia pesantren adalah
dunia yang dibangun dengan nilai-nilai dan tradisi yang kokoh sebagai bekal
santrinya mengarungi kehidupan di masyarakat kelak. Melalui cerita Saifuddin
Zuhri di buku ini, ia telah membuktikan peranan pesantren dan system pendidikan
disana sebagai sebuah dunia pendidikan yang ikut memberikan sumbangsih bagi
kehidupan masyarakat dan negara kita
Di pagi yang cerah menjelang siang pukul 09.45 WIB, di hari
senin, tanggal 2 bulan februari 2015, aku menyelesaikan buku Guruku
Orang-Orang Dari Pesantren (2008) terbitan LKIS. Buku ini diterbitkan
pertama kali di tahun 1974. Pengarangnya KH.Saifuddin Zuhri. Ia adalah ulama
kenamaan sekaligus politikus yang dilahirkan di Banyumas 1 Oktober 1919, dan meninggal
di Jakarta pada 25 Februrari 1986. Buku karangannya ini adalah tinggalan dan
warisan berharga dari sebuah dunia pesantren dan kehidupannya. Kehidupan
pesantren yang digambarkan sebagai ndeso, tertinggal dan terbelakang,
ternyata tak seperti yang digambarkan oleh kebanyakan orang. Sebut saja kisah
KH.Saifuddin Zuhri tatkala mengisahkan dirinya tatkala menjadi guru di sekolah
belanda. Ia mesti mengubah pakaiannya menjadi pakaian seperti meneer
Belanda. Ia mengaku harus menyesuaikan diri terhadap urusan pakaian. Urusan
pakaian tak selalu mulus, ia adalah symbol dan identitas politik. Bila
Muhammadiyah pada waktu itu memakai pakaian Belanda sebagai simbolisasi
perlawanan dan kesetaraan, maka peci (kopiah) bagi seorang santri dan sarung
adalah identitas cultural di pondok pesantren.
Dunia pesantren adalah dunia yang sibuk dengan urusan ilmu
dan ibadah. Kehidupan yang dialami dan dijalani penulis pun demikian halnya. Ia
hanya mengalami waktu-waktu luang hanya beberapa saat saja. Pagi sampai siang
ia sekolah di sekolah negeri, sorenya mengaji di langgar sedang malamnya di
pondok pesantren. Diantara waktu-waktu luang itu ia gunakan untuk bermain
dengan teman-temannya dan menonton wayang kulit. Kehidupan pesantren di masa
itu digambarkan begitu susah. Untuk memasuki pondok pesantren, orangtua
Saifuddin Zuhri mesti bekerja keras. Menyadari hal itu, Saifuddin pun belajar
dengan tekun. Ia mengamati dan menekuni apa yang ada di dalam dunia pesantren yang ia jalani. Selain beribadah,
dalam dunia pesantren dikenal tradisi berjanjen yakni membaca kitab
syair yang berisi pujian kepada nabi Muhammad SAW. Di pesantren juga sering
dilakukan pembacaan pelbagai kitab tak hanya kitab sastra dari Arab, tetapi
juga kitab dari ulama terdahulu. Melalui buku ini, Saifuddin Zuhri juga
mengisahkan bagaimana Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah seorang ulama yang
mumpuni dan begitu terkenal dengan sikap zuhud dan tawadu’nya.
Sebagaimana para santri yang memiliki idola, Saifuddin
begitu mengidolakan Ustadz Mursyid, serta kiai yang lainnya. Ustadz mursyid
selain dipandang sebagai seorang ustadz yang gagah dan ganteng, ustadz mursyid
memiliki ilmu cukup mumpuni meski masih muda. Karena itulah, para kiai sering
melibatkannya dalam perkumpulan (pengajian) para kiai. Saifuddin Zuhri mengalami
masa-masa yang sejuk, nyaman dan tenang dalam dunia pesantren. Di dalam
lingkungan ini ia belajar banyak hal salah satunya adalah mengenai bagaimana
menghormati seorang ulama yang di pesantren tak lain adalah para kiai. Rasa
hormat itu didasari perintah dari Rasul untuk menghormati dan mendengarkan
nasehat ulama. Sebab bila ulama sudah ditinggalkan, maka kehidupan ini akan
menjadi gelap dan tiada penerang.
Di umur belasan tahun, Saifuddin kemudian melanjutkan
sekolah di Solo. Ia pun memiliki ijazah. Dari ijazah itu, ia menjadi pengajar.
Namun sebelum itu, di Madrasah Al Huda ia dipercaya oleh ustadz Mursyid untuk
menjadi kelompok yang mengajar bagi murid (santri) angkatan bawahnya. Melalui
itu Saifuddin belajar mengenai bagaimana
menjadi seorang guru yang bijak. Pada
bab “Menjadi Guru” kita akan menemui banyak hal mengenai metode pedagogic dan
cara mengajar serta mengkondisikan anak dengan sabar. Di masa remajanya, ia
suka menonton wayang, dari wayang itulah ia jadi tahu kalau wayang itu
dimetaforakan sebagai rukun islam, satria pandawa itu ibarat rukun islam.
Yudistita misalnya memiliki sikap yang bijak, sabar sebagaimana orang yang
sudah bersyahadat maka ia mesti sabar dan bijak. Sedangkan Bima yang memiliki
sifat-sifat sebagai penegak dan pembela kebenaran, diidentikkan dengan sholat
sebagai tiang dan fondasi agama. Kalau tiang dan pondasinya rapuh, maka
kehidupan manusia akan goyah. Arjuna diibaratkan sebagai sebuah sikap
keprihatinan, sikap keprihatinan ini disukai semua orang, dan memancarkan pesonanya.
Begitu pula orang yang berpuasa maka ia akan mampu memikat banyak orang dan
memiliki cahaya penerang dalam hidupnya.Sedangkan Nakula dan Sadewa digambarkan
sebagai rukun islam keempat dan kelima yakni zakat dan haji. Kedua rukun ini
jarang sekali ditonjolkan dalam kehidupan umat islam. Karena itulah, kedua
tokoh Nakula dan Sadewa jarang dikeluarkan. Ia adalah gambaran puncak dari
pengamalan islam itu sendiri.
Selain menjadi guru, kita juga menemui kisah Saifuddin
sebagai seorang pejuang. Karena ia menduduki sebagai ketua pemuda ansor di jawa
tengah membuat ia bertemu dengan hadratus syekh Hasyim Asyari. Ia juga kerap
bertemu dengan anaknya yakni KH. A.Wahid Hasyim. Bersama para kiai dan para
tokoh, ia terlibat dalam perjuangan melawan penjajah. Ia harus mengalami
masa-masa yang sulit tatkala harus berpisah dengan anak-anaknya tatkala
berjuang melawan penjajah. Saifuddin pun belajar bagaimana para kiai dan para
ulama ini memerankan perannya dalam perundingan dan dalam berjuang senantiasa
tak sedikitpun menurunkan prinsip-prinsipnya sebagai tokoh islam.
Saifuddin Zuhri telah bersaksi, telah bercerita, bahwa
seorang santri dari sebuah pesantren bukan seorang yang patah semangat dan
bukan seorang yang khawatir dengan kehidupan di masa mendatang. Saifuddin pun
tak menyangka kalau ia kelak menduduki jabatan dan posisi penting di kehidupan
pemerintahan. Dengan bekal-bekal yang ia terima dari kehidupan pesantren ia
membawa spirit dan semangat islam dalam kehidupan (pekerjaan)nya. Sebagai
seorang ulama dan politilkus ia pernah menjabat sebagai ketua DPP PPP, anggota
DPR/MPR, komandan Hizbulloh jawa tengah, pemimpin pemuda Ansor Jawa Tengah, dan
pernah menjabat sebagai Menteri Agama RI (1962-1967) Rektor perguruan tinggi
Ilmu Dakwah, serta Mustasyar di PBNU.
Ia telah mengamalkan kehidupan agama sebagai tiang penegak
dan dasar bagi kehidupan seorang. Ia membuktikan kepada kita, bahwa pesantren
dan dunianya adalah gerakan keagamaan yang ikut memberikan sumbangsihnya dari
jaman penjajahan sampai pada masa kemerdekaan bahkan sampai sekarang. Dunia pesantren adalah dunia yang dibangun
dengan nilai-nilai dan tradisi yang kokoh sebagai bekal santrinya mengarungi
kehidupan di masyarakat kelak. Saifuddin Zuhri telah membuktikan peranan
pesantren dan system pendidikan disana sebagai sebuah dunia pendidikan yang
ikut memberikan sumbangsih bagi kehidupan masyarakat dan negara kita.
MI Muh. PK Kartasura
10.57 WIB
No comments:
Post a Comment