klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 1 February 2015

Pesantren


Oleh Arif  Saifudin Yudistira *)

Dunia pesantren adalah dunia yang dibangun dengan nilai-nilai dan tradisi yang kokoh sebagai bekal santrinya mengarungi kehidupan di masyarakat kelak. Melalui cerita Saifuddin Zuhri di buku ini, ia telah membuktikan peranan pesantren dan system pendidikan disana sebagai sebuah dunia pendidikan yang ikut memberikan sumbangsih bagi kehidupan masyarakat dan negara kita

          Di pagi yang cerah menjelang siang pukul 09.45 WIB, di hari senin, tanggal 2 bulan februari 2015, aku menyelesaikan buku Guruku Orang-Orang Dari Pesantren (2008) terbitan LKIS. Buku ini diterbitkan pertama kali di tahun 1974. Pengarangnya KH.Saifuddin Zuhri. Ia adalah ulama kenamaan sekaligus politikus yang dilahirkan di Banyumas 1 Oktober 1919, dan meninggal di Jakarta pada 25 Februrari 1986. Buku karangannya ini adalah tinggalan dan warisan berharga dari sebuah dunia pesantren dan kehidupannya. Kehidupan pesantren yang digambarkan sebagai ndeso, tertinggal dan terbelakang, ternyata tak seperti yang digambarkan oleh kebanyakan orang. Sebut saja kisah KH.Saifuddin Zuhri tatkala mengisahkan dirinya tatkala menjadi guru di sekolah belanda. Ia mesti mengubah pakaiannya menjadi pakaian seperti meneer Belanda. Ia mengaku harus menyesuaikan diri terhadap urusan pakaian. Urusan pakaian tak selalu mulus, ia adalah symbol dan identitas politik. Bila Muhammadiyah pada waktu itu memakai pakaian Belanda sebagai simbolisasi perlawanan dan kesetaraan, maka peci (kopiah) bagi seorang santri dan sarung adalah identitas cultural di pondok pesantren.
          Dunia pesantren adalah dunia yang sibuk dengan urusan ilmu dan ibadah. Kehidupan yang dialami dan dijalani penulis pun demikian halnya. Ia hanya mengalami waktu-waktu luang hanya beberapa saat saja. Pagi sampai siang ia sekolah di sekolah negeri, sorenya mengaji di langgar sedang malamnya di pondok pesantren. Diantara waktu-waktu luang itu ia gunakan untuk bermain dengan teman-temannya dan menonton wayang kulit. Kehidupan pesantren di masa itu digambarkan begitu susah. Untuk memasuki pondok pesantren, orangtua Saifuddin Zuhri mesti bekerja keras. Menyadari hal itu, Saifuddin pun belajar dengan tekun. Ia mengamati dan menekuni apa yang ada di  dalam dunia pesantren yang ia jalani. Selain beribadah, dalam dunia pesantren dikenal tradisi berjanjen yakni membaca kitab syair yang berisi pujian kepada nabi Muhammad SAW. Di pesantren juga sering dilakukan pembacaan pelbagai kitab tak hanya kitab sastra dari Arab, tetapi juga kitab dari ulama terdahulu. Melalui buku ini, Saifuddin Zuhri juga mengisahkan bagaimana Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah seorang ulama yang mumpuni dan begitu terkenal dengan sikap zuhud dan tawadu’nya.
          Sebagaimana para santri yang memiliki idola, Saifuddin begitu mengidolakan Ustadz Mursyid, serta kiai yang lainnya. Ustadz mursyid selain dipandang sebagai seorang ustadz yang gagah dan ganteng, ustadz mursyid memiliki ilmu cukup mumpuni meski masih muda. Karena itulah, para kiai sering melibatkannya dalam perkumpulan (pengajian) para kiai. Saifuddin Zuhri mengalami masa-masa yang sejuk, nyaman dan tenang dalam dunia pesantren. Di dalam lingkungan ini ia belajar banyak hal salah satunya adalah mengenai bagaimana menghormati seorang ulama yang di pesantren tak lain adalah para kiai. Rasa hormat itu didasari perintah dari Rasul untuk menghormati dan mendengarkan nasehat ulama. Sebab bila ulama sudah ditinggalkan, maka kehidupan ini akan menjadi gelap dan tiada penerang.
          Di umur belasan tahun, Saifuddin kemudian melanjutkan sekolah di Solo. Ia pun memiliki ijazah. Dari ijazah itu, ia menjadi pengajar. Namun sebelum itu, di Madrasah Al Huda ia dipercaya oleh ustadz Mursyid untuk menjadi kelompok yang mengajar bagi murid (santri) angkatan bawahnya. Melalui itu  Saifuddin belajar mengenai bagaimana menjadi seorang guru yang bijak.  Pada bab “Menjadi Guru” kita akan menemui banyak hal mengenai metode pedagogic dan cara mengajar serta mengkondisikan anak dengan sabar. Di masa remajanya, ia suka menonton wayang, dari wayang itulah ia jadi tahu kalau wayang itu dimetaforakan sebagai rukun islam, satria pandawa itu ibarat rukun islam. Yudistita misalnya memiliki sikap yang bijak, sabar sebagaimana orang yang sudah bersyahadat maka ia mesti sabar dan bijak. Sedangkan Bima yang memiliki sifat-sifat sebagai penegak dan pembela kebenaran, diidentikkan dengan sholat sebagai tiang dan fondasi agama. Kalau tiang dan pondasinya rapuh, maka kehidupan manusia akan goyah. Arjuna diibaratkan sebagai sebuah sikap keprihatinan, sikap keprihatinan ini disukai semua orang, dan memancarkan pesonanya. Begitu pula orang yang berpuasa maka ia akan mampu memikat banyak orang dan memiliki cahaya penerang dalam hidupnya.Sedangkan Nakula dan Sadewa digambarkan sebagai rukun islam keempat dan kelima yakni zakat dan haji. Kedua rukun ini jarang sekali ditonjolkan dalam kehidupan umat islam. Karena itulah, kedua tokoh Nakula dan Sadewa jarang dikeluarkan. Ia adalah gambaran puncak dari pengamalan islam itu sendiri.
          Selain menjadi guru, kita juga menemui kisah Saifuddin sebagai seorang pejuang. Karena ia menduduki sebagai ketua pemuda ansor di jawa tengah membuat ia bertemu dengan hadratus syekh Hasyim Asyari. Ia juga kerap bertemu dengan anaknya yakni KH. A.Wahid Hasyim. Bersama para kiai dan para tokoh, ia terlibat dalam perjuangan melawan penjajah. Ia harus mengalami masa-masa yang sulit tatkala harus berpisah dengan anak-anaknya tatkala berjuang melawan penjajah. Saifuddin pun belajar bagaimana para kiai dan para ulama ini memerankan perannya dalam perundingan dan dalam berjuang senantiasa tak sedikitpun menurunkan prinsip-prinsipnya sebagai tokoh islam.
          Saifuddin Zuhri telah bersaksi, telah bercerita, bahwa seorang santri dari sebuah pesantren bukan seorang yang patah semangat dan bukan seorang yang khawatir dengan kehidupan di masa mendatang. Saifuddin pun tak menyangka kalau ia kelak menduduki jabatan dan posisi penting di kehidupan pemerintahan. Dengan bekal-bekal yang ia terima dari kehidupan pesantren ia membawa spirit dan semangat islam dalam kehidupan (pekerjaan)nya. Sebagai seorang ulama dan politilkus ia pernah menjabat sebagai ketua DPP PPP, anggota DPR/MPR, komandan Hizbulloh jawa tengah, pemimpin pemuda Ansor Jawa Tengah, dan pernah menjabat sebagai Menteri Agama RI (1962-1967) Rektor perguruan tinggi Ilmu Dakwah, serta Mustasyar di PBNU.
          Ia telah mengamalkan kehidupan agama sebagai tiang penegak dan dasar bagi kehidupan seorang. Ia membuktikan kepada kita, bahwa pesantren dan dunianya adalah gerakan keagamaan yang ikut memberikan sumbangsihnya dari jaman penjajahan sampai pada masa kemerdekaan bahkan sampai sekarang.  Dunia pesantren adalah dunia yang dibangun dengan nilai-nilai dan tradisi yang kokoh sebagai bekal santrinya mengarungi kehidupan di masyarakat kelak. Saifuddin Zuhri telah membuktikan peranan pesantren dan system pendidikan disana sebagai sebuah dunia pendidikan yang ikut memberikan sumbangsih bagi kehidupan masyarakat dan negara kita.


MI Muh. PK Kartasura
 10.57 WIB  

No comments:

Post a Comment