Pagi yang cerah, aku bareng-bareng
bermain dengan murid-muridku. Setelah itu, aku ajak jalan-jalan muridku
mengelilingi sekolahku. Eh ada yang jahil waktu lewat di toko buah. Tetapi
kejahilan itu hanya sementara, setelah
itu dikembalikannya buah itu ke tempat toko buah. Aku lanjutkan membaca buku
Mimpi Bayang Jingga karya Sanie B Kuncoro. Buku ini tergolong buku laris. Buku
ini diterbitkan sejak 2009 bahkan cetak ulang sampai 2013. Buku ini adalah
kumpulan cerpen penulis yang memenangkan
lomba cerpen TABLOID NYATA. Saya seperti tertegun mengikuti kisah ini. Pada
cerpen pertama berjudul The Desert Dreams, aku menemukan kisah
perselingkuhan antara sebuah keluarga yang semula romantic dan mesra tiba-tiba
harus mendapatkan masalah. Baron, suami dari May harus mendapatkan godaan dari
seorang perempuan cantik bernama Orien. Pada akhirnya Orien perempuan itu harus
meninggalkan impiannya. Impian untuk bersama kekasih pujaan hatinya. Meski
Baron mencoba untuk menyusulnya, tetapi Orien terlanjur pulang kerumah
orangtuanya. Sedangkan May sendiri yang dikaruniai kelebihan membaca banyak hal
harus merelakan suaminya pergi. Ia memiliki mimpi yang ternyata tak bisa ia
gapai sepenuhnya, memiliki keluarga seutuhnya. “aku pernah menyimpan sebuah
mimpi yang sempurna. Sebuah mimpi yang terbungkus sempurna dengan keindahan,
yang kukira hanya akan berakhir ketika takdir kematian datang pada waktunya.
Bahkan, kukira kami akan tetap memiliki mimpi kami itu di surge nanti. Ah,
adakah surga itu?. Pernah kubaca dari seorang naturalis dan esais John Burrouhs
yang mengatakan : “Surga yang memberikan kebahagiaan bukanlah suatu tempat,
melainkan situasi diri, di dalam batin, di dalam jiwa”. Aku suka kalimat ini,
aku jadi berfikir, kelak mimpi tak selalu bisa kita capai, meski ia sudah
direncanakan dan diperhitungkan sedari awal. Mungkin, mimpi perlu, tetapi
bersiap menghadapi kegagalan mimpi lebih penting.
Aku melanjutkan membaca buku Mimpi
Bayang Jingga, di cerpen kedua, Jingga. Aku menemukan kisah seorang perempuan
yang bekerja di kota. Ia memimpikan bisa melihat senja di sebuah resor di
pinggir pantai yang indah. Mimpinya ia simpan, saat ia mendapatkan job
merancang iklan sebuah bank yang ingin mencitrakan sebagai bank kelas atas
sehingga public melupakan image bank tersebut sebagai bank lama dengan cara
mengadakan undian 25 Miliar. Sembari merancang iklan untuk itu, Jingga bekerja
sama dengan Igor. Saat berbincang dengan Igor inilah, Igor menawarkan agar
Jingga mencapai impiannya memperoleh 25 M ini untuk mendapatkan mimpinya dengan
jalan pintas. Tanpa disangka, pucuk dicinta ulam pun tiba, Jingga menemukan
lelaki itu. Lelaki itu bernama Bentang. Berawal dari pertemuannya yang tak
sengaja saat Jingga menghadang taksi, semuanya berlanjut saat Bentang
menyapanya dan mempersilahkan taksi antriannya diserahkan pada Jingga. Jingga
menolak dan saat itu, Bentang menawarkan taksi berdua. Dikisahkan Bentang,
adalah seorang yang kaya raya pewaris utama perusahaan bursa saham yang cukup
terkenal.
Pelan-pelan Jingga pun tertarik
padanya, ia jatuh cinta. Bentang pun demikian, ia memberikan semua yang
dimilikinya untuk Jingga kecuali pernikahan. Igor sebagai lelaki yang memainkan
permainan ini tahu, ia sangat amat menyukai Jingga. Tapi apa daya, Igor pun
menempuh berbagai cara agar Jingga menjadi miliknya. Disaat Jingga meninggalkan
Bentang, Igor menaruh narkoba di tas Jingga. Di Bandara ia ditangkap dan
dipenjara. Saat itu, Bentang membuktikan cintanya kepada Jingga. Tapi Jingga
seperti menghadapi syok yang tak terhingga, hingga akhirnya ia masuk ke rumah
sakit dan mendapat perawatan penuh sesuai permintaan Bentang. Melalui kisah
ini, kita seperti disuguhi betapa cinta adalah sesuatu yang alami. Bentang pun
pada akhirnya merasakan kenikmatan cinta yang melebihi semua harta yang ia
miliki. Ia berjuang penuh untuk memperoleh cintanya Jingga.
Pengarang mahfum mengisahkan senja
yang banyak, di Jembatan Rialto, di Piazza San Marco menabur jagung untuk
merpati liar yang beterbangan. Senja di Pantai Co’te dAzzur di Nice, Perancis.
Atau di batas senja reruntuhan Maccupichu, atau di semilir senja di Durbar
Square Tibet?. Atau senja yang ada di dingin Lapangan Merah Moskow?. Di
pelataran Gereja Ortodok Sembilan kubah. Pasti tak akan kau luapkan senja
romantic di Desa Ganagobic Provence, Perancis?. Ah… begitu banyak senja yang
ingin kulihat dalam cerita ini. Pengarang menggodaku untuk menilik senja yang
ia tulis di buku ini. Aku justru tertarik untuk mengajak mataku menelusuri
Senja yang ada di buku ini, barangkali ada mata Jingga disana yang konon begitu
jernih bak jernih telaga.
Selasa,
10/2/2015
No comments:
Post a Comment