klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 9 February 2015

Senja



          Pagi yang cerah, aku bareng-bareng bermain dengan murid-muridku. Setelah itu, aku ajak jalan-jalan muridku mengelilingi sekolahku. Eh ada yang jahil waktu lewat di toko buah. Tetapi kejahilan itu  hanya sementara, setelah itu dikembalikannya buah itu ke tempat toko buah. Aku lanjutkan membaca buku Mimpi Bayang Jingga karya Sanie B Kuncoro. Buku ini tergolong buku laris. Buku ini diterbitkan sejak 2009 bahkan cetak ulang sampai 2013. Buku ini adalah kumpulan  cerpen penulis yang memenangkan lomba cerpen TABLOID NYATA. Saya seperti tertegun mengikuti kisah ini. Pada cerpen pertama berjudul The Desert Dreams, aku menemukan kisah perselingkuhan antara sebuah keluarga yang semula romantic dan mesra tiba-tiba harus mendapatkan masalah. Baron, suami dari May harus mendapatkan godaan dari seorang perempuan cantik bernama Orien. Pada akhirnya Orien perempuan itu harus meninggalkan impiannya. Impian untuk bersama kekasih pujaan hatinya. Meski Baron mencoba untuk menyusulnya, tetapi Orien terlanjur pulang kerumah orangtuanya. Sedangkan May sendiri yang dikaruniai kelebihan membaca banyak hal harus merelakan suaminya pergi. Ia memiliki mimpi yang ternyata tak bisa ia gapai sepenuhnya, memiliki keluarga seutuhnya. “aku pernah menyimpan sebuah mimpi yang sempurna. Sebuah mimpi yang terbungkus sempurna dengan keindahan, yang kukira hanya akan berakhir ketika takdir kematian datang pada waktunya. Bahkan, kukira kami akan tetap memiliki mimpi kami itu di surge nanti. Ah, adakah surga itu?. Pernah kubaca dari seorang naturalis dan esais John Burrouhs yang mengatakan : “Surga yang memberikan kebahagiaan bukanlah suatu tempat, melainkan situasi diri, di dalam batin, di dalam jiwa”. Aku suka kalimat ini, aku jadi berfikir, kelak mimpi tak selalu bisa kita capai, meski ia sudah direncanakan dan diperhitungkan sedari awal. Mungkin, mimpi perlu, tetapi bersiap menghadapi kegagalan mimpi lebih penting.
          Aku melanjutkan membaca buku Mimpi Bayang Jingga, di cerpen kedua, Jingga. Aku menemukan kisah seorang perempuan yang bekerja di kota. Ia memimpikan bisa melihat senja di sebuah resor di pinggir pantai yang indah. Mimpinya ia simpan, saat ia mendapatkan job merancang iklan sebuah bank yang ingin mencitrakan sebagai bank kelas atas sehingga public melupakan image bank tersebut sebagai bank lama dengan cara mengadakan undian 25 Miliar. Sembari merancang iklan untuk itu, Jingga bekerja sama dengan Igor. Saat berbincang dengan Igor inilah, Igor menawarkan agar Jingga mencapai impiannya memperoleh 25 M ini untuk mendapatkan mimpinya dengan jalan pintas. Tanpa disangka, pucuk dicinta ulam pun tiba, Jingga menemukan lelaki itu. Lelaki itu bernama Bentang. Berawal dari pertemuannya yang tak sengaja saat Jingga menghadang taksi, semuanya berlanjut saat Bentang menyapanya dan mempersilahkan taksi antriannya diserahkan pada Jingga. Jingga menolak dan saat itu, Bentang menawarkan taksi berdua. Dikisahkan Bentang, adalah seorang yang kaya raya pewaris utama perusahaan bursa saham yang cukup terkenal.
          Pelan-pelan Jingga pun tertarik padanya, ia jatuh cinta. Bentang pun demikian, ia memberikan semua yang dimilikinya untuk Jingga kecuali pernikahan. Igor sebagai lelaki yang memainkan permainan ini tahu, ia sangat amat menyukai Jingga. Tapi apa daya, Igor pun menempuh berbagai cara agar Jingga menjadi miliknya. Disaat Jingga meninggalkan Bentang, Igor menaruh narkoba di tas Jingga. Di Bandara ia ditangkap dan dipenjara. Saat itu, Bentang membuktikan cintanya kepada Jingga. Tapi Jingga seperti menghadapi syok yang tak terhingga, hingga akhirnya ia masuk ke rumah sakit dan mendapat perawatan penuh sesuai permintaan Bentang. Melalui kisah ini, kita seperti disuguhi betapa cinta adalah sesuatu yang alami. Bentang pun pada akhirnya merasakan kenikmatan cinta yang melebihi semua harta yang ia miliki. Ia berjuang penuh untuk memperoleh cintanya Jingga.
          Pengarang mahfum mengisahkan senja yang banyak, di Jembatan Rialto, di Piazza San Marco menabur jagung untuk merpati liar yang beterbangan. Senja di Pantai Co’te dAzzur di Nice, Perancis. Atau di batas senja reruntuhan Maccupichu, atau di semilir senja di Durbar Square Tibet?. Atau senja yang ada di dingin Lapangan Merah Moskow?. Di pelataran Gereja Ortodok Sembilan kubah. Pasti tak akan kau luapkan senja romantic di Desa Ganagobic Provence, Perancis?. Ah… begitu banyak senja yang ingin kulihat dalam cerita ini. Pengarang menggodaku untuk menilik senja yang ia tulis di buku ini. Aku justru tertarik untuk mengajak mataku menelusuri Senja yang ada di buku ini, barangkali ada mata Jingga disana yang konon begitu jernih bak jernih telaga.


Selasa, 10/2/2015

No comments:

Post a Comment