klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Tuesday 10 February 2015

Ceritamu, Ceritaku


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

          Siang hari, terik mentari sudah tak kelihatan. Mentari tak mau menengok barang sejenak. Mendung lebih terlihat, agak gelap. Terkadang rasa jenuh itu menghinggap di kepala kita tanpa kita kuasa untuk menolaknya. Di siang hari begini, mungkin sebagai remaja kita lebih enak menikmati kebebasan kita. Tapi rasanya tidak untukku, remaja yang sudah menjelang melepas lajang. Aku menikmati masa-masa kalut di sekolahku, syukurlah, aku tak merasa terganggungu dengan kekalutanku. Siang hari aku belajar ngaji bareng murid-muridku. Setelah anak didikku membaca iqro’ semua, aku mulai membaca cerpen Sanie B Kuncoro yang menang juara Cerber Femina tahun 2003. Buku itu diterbitkan oleh C Publishing 2006. Buku ini berisi dua cerita pendek, yang pertama berjudul Jalan Sunyi, yang kedua berjudul Kekasih Gelap. Aku menghabiskan Jalan Sunyi terlebih dahulu. Saat membacanya aku merasa kisah di cerita itu mirip denganku. Aku justru lebih mirip sebagai Puan, sosok perempuan yang mengalami perasaan tak menentu, terkadang sunyi, terkadang hanyut, terkadang sepi,dan merasakan sesuatu yang entah apa namanya. Seperti jasad melesu, sedang pikiran kosong. Pernikahan seperti membawa kepada sesuatu yang lebih besar. Tak selalu masalah yang besar tetapi juga berkah yang besar. Lima bulan menjelang pernikahan dikisahkan dengan persiapan dengan banyak hal. Aku seperti ingin menangis. Apa yang sudah aku persiapkan. Rasanya urusan menikah seperti menjadi sesuatu yang gelap dan tak bisa aku bayangkan. Menengok kisah ini aku jadi begitu merindukannya, aku kangen padanya. Tetapi apalah arti rindu, hand-phone ku beberapa hari ini sakit keras. Ia tak mau dihidupkan, dan rusak total, tapi terkadang hidup seketika. Aku sudah mencoba memeriksakannya di dua tukang servis hand-phone tapi tak bisa sembuh total.
          Tiba-tiba saja tatkala aku sedang bertanya kepada muridku, “Nak, nanti kita belajar kan?”, ia menjawab : “Iya, nanti Ayah akan membelikan hand-phone buat ustadz”. Aku merasa tak bisa menolak, tapi merasa tak bisa mengatakan apa-apa. Aku kembali teringat tentang pernikahanku. Aku seperti membayangkan kisahku mirip perasaan-perasaan yang ada dicerita ini. Barangkali kehidupan setelah pernikahan mirip dengan yang dibilang Limar : “Benar bahwa hidup kita akan mengalami perubahan besar, tapi bukankah kau tidak sendirian menghadapinya? Aku akan selalu bersamamu menghadapi ini semua”. Aku jadi trenyuh, tertegun dan mataku berkaca-kaca. Aku jadi ingat apa yang diucapkannya, “apa mas juga siap menghadapi semua hari-hari setelah pernikahan bersama adek, siap menerima kekurangan dan kelebihan adik?”. Aku jadi ingat tatkala silaturahim ke Mbak Sanie B Kuncoro, penulis cerita ini. Aku berkisah kehidupanku, bagaimana kalau aku terpaksa hidup di Blora. Aku tak lagi bertemu dengan penulis-penulis solo. Aku tak lagi giat berbelanja buku, mungkin aku semakin lesu membaca. Mbak Sanie justru bilang, wah, ya itu tantangannya Rif, tapi ndak tahu juga kehidupan ke depan seperti apa. Mbak berharap kamu tak berhenti berliterasi. Kesan itu seperti tertinggal dalam percakapan antara aku dan Mbak Sanie.
          Aku tak meninggalkan literasi, aku masih bernafsu membeli buku. Aku merasa kaku, dan tak berdaya. Sayangku berpesan untuk mengurangi belanja buku, pelan-pelan menyiapkan pernikahan. Aku seperti jadi manusia tak berdaya. Bukan karena ketiadaan prinsip yang ada padaku, barangkali karena kecintaan kepada ilmu menjadikanku seperti hidup dalam kepasrahan. Tetapi tidak demikian, kalau aku ingat sayangku yang disana. Yang siang malam menangis karenaku, dan karena orang-orang terkasihnya. Pelan-pelan ia harus menghadapi betapa berat perasaan dan beban yang ia tanggung di dalam keluarganya. Aku jadi harus menghapus mataku yang berkaca. Tapi aku tak mau seperti Puan yang merelakan begitu saja perasaan kalutnya hingga dihinggapi cinta lainnya. Aku ingin terus berbuat sebisa yang aku lakukan. Agar kau tahu, bahwa kita memang sepasang kekasih yang melawan waktu.
          Aku tak mau menghadapi jalan sunyi sebagaimana tokoh-tokoh di cerita pendek ini. Aku tak mau seperti Limar yang merelakan kekasihnya kalut hilang dalam kekosongan, aku pun tak mau seperti Puan, yang tak mampu mengendalikan diri di masa-masa menjelang pernikahan. Barangkali ini semacam surat untukmu, sayang, semoga kau tahu, dan mendengar betapa hatiku teramat sayang padamu, dan mencoba memberi dengan segenap yang aku punya.
          Ternyata, apa yang ada didalam cerita bisa menemukan banyak realita yang tak sengaja hadir dalam kehidupanku. Aku senang membaca buku cerita garapan Mbak Sanie ini. Meski kita tak pernah tahu, ceritamu, ceritaku, ternyata begitu dekat, waktu yang mempertemukannya. Melalui buku Kekasih Gelap (2006) ini, aku seperti terbakar rindu. Aku jadi ingat kata-kata Coelho di bukunya Seperti Sungai Yang Mengalir, di pensil pengarang ada Tuhan yang menuntun. Mungkin Tuhan yang mempertemukan cerita ini dengan ceritaku.  



Solo, Rabu, 11 Februari 2015

No comments:

Post a Comment