Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
Siang hari, terik mentari sudah tak
kelihatan. Mentari tak mau menengok barang sejenak. Mendung lebih terlihat,
agak gelap. Terkadang rasa jenuh itu menghinggap di kepala kita tanpa kita
kuasa untuk menolaknya. Di siang hari begini, mungkin sebagai remaja kita lebih
enak menikmati kebebasan kita. Tapi rasanya tidak untukku, remaja yang sudah
menjelang melepas lajang. Aku menikmati masa-masa kalut di sekolahku,
syukurlah, aku tak merasa terganggungu dengan kekalutanku. Siang hari aku
belajar ngaji bareng murid-muridku. Setelah anak didikku membaca iqro’
semua, aku mulai membaca cerpen Sanie B Kuncoro yang menang juara Cerber Femina
tahun 2003. Buku itu diterbitkan oleh C Publishing 2006. Buku ini berisi dua
cerita pendek, yang pertama berjudul Jalan Sunyi, yang kedua berjudul Kekasih
Gelap. Aku menghabiskan Jalan Sunyi terlebih dahulu. Saat membacanya
aku merasa kisah di cerita itu mirip denganku. Aku justru lebih mirip sebagai
Puan, sosok perempuan yang mengalami perasaan tak menentu, terkadang sunyi,
terkadang hanyut, terkadang sepi,dan merasakan sesuatu yang entah apa namanya.
Seperti jasad melesu, sedang pikiran kosong. Pernikahan seperti membawa kepada
sesuatu yang lebih besar. Tak selalu masalah yang besar tetapi juga berkah yang
besar. Lima bulan menjelang pernikahan dikisahkan dengan persiapan dengan
banyak hal. Aku seperti ingin menangis. Apa yang sudah aku persiapkan. Rasanya
urusan menikah seperti menjadi sesuatu yang gelap dan tak bisa aku bayangkan.
Menengok kisah ini aku jadi begitu merindukannya, aku kangen padanya. Tetapi
apalah arti rindu, hand-phone ku beberapa hari ini sakit keras. Ia tak
mau dihidupkan, dan rusak total, tapi terkadang hidup seketika. Aku sudah
mencoba memeriksakannya di dua tukang servis hand-phone tapi tak bisa sembuh
total.
Tiba-tiba saja tatkala aku sedang
bertanya kepada muridku, “Nak, nanti kita belajar kan?”, ia menjawab : “Iya,
nanti Ayah akan membelikan hand-phone buat ustadz”. Aku merasa tak bisa
menolak, tapi merasa tak bisa mengatakan apa-apa. Aku kembali teringat tentang
pernikahanku. Aku seperti membayangkan kisahku mirip perasaan-perasaan yang ada
dicerita ini. Barangkali kehidupan setelah pernikahan mirip dengan yang
dibilang Limar : “Benar bahwa hidup kita akan mengalami perubahan besar, tapi
bukankah kau tidak sendirian menghadapinya? Aku akan selalu bersamamu
menghadapi ini semua”. Aku jadi trenyuh, tertegun dan mataku berkaca-kaca. Aku
jadi ingat apa yang diucapkannya, “apa mas juga siap menghadapi semua hari-hari
setelah pernikahan bersama adek, siap menerima kekurangan dan kelebihan adik?”.
Aku jadi ingat tatkala silaturahim ke Mbak Sanie B Kuncoro, penulis cerita ini.
Aku berkisah kehidupanku, bagaimana kalau aku terpaksa hidup di Blora. Aku tak
lagi bertemu dengan penulis-penulis solo. Aku tak lagi giat berbelanja buku,
mungkin aku semakin lesu membaca. Mbak Sanie justru bilang, wah, ya itu
tantangannya Rif, tapi ndak tahu juga kehidupan ke depan seperti apa. Mbak
berharap kamu tak berhenti berliterasi. Kesan itu seperti tertinggal dalam
percakapan antara aku dan Mbak Sanie.
Aku tak meninggalkan literasi, aku
masih bernafsu membeli buku. Aku merasa kaku, dan tak berdaya. Sayangku
berpesan untuk mengurangi belanja buku, pelan-pelan menyiapkan pernikahan. Aku
seperti jadi manusia tak berdaya. Bukan karena ketiadaan prinsip yang ada
padaku, barangkali karena kecintaan kepada ilmu menjadikanku seperti hidup
dalam kepasrahan. Tetapi tidak demikian, kalau aku ingat sayangku yang disana.
Yang siang malam menangis karenaku, dan karena orang-orang terkasihnya.
Pelan-pelan ia harus menghadapi betapa berat perasaan dan beban yang ia
tanggung di dalam keluarganya. Aku jadi harus menghapus mataku yang berkaca.
Tapi aku tak mau seperti Puan yang merelakan begitu saja perasaan kalutnya
hingga dihinggapi cinta lainnya. Aku ingin terus berbuat sebisa yang aku
lakukan. Agar kau tahu, bahwa kita memang sepasang kekasih yang melawan waktu.
Aku tak mau menghadapi jalan sunyi
sebagaimana tokoh-tokoh di cerita pendek ini. Aku tak mau seperti Limar yang
merelakan kekasihnya kalut hilang dalam kekosongan, aku pun tak mau seperti Puan,
yang tak mampu mengendalikan diri di masa-masa menjelang pernikahan. Barangkali
ini semacam surat untukmu, sayang, semoga kau tahu, dan mendengar betapa hatiku
teramat sayang padamu, dan mencoba memberi dengan segenap yang aku punya.
Ternyata, apa yang ada didalam cerita
bisa menemukan banyak realita yang tak sengaja hadir dalam kehidupanku. Aku
senang membaca buku cerita garapan Mbak Sanie ini. Meski kita tak pernah tahu,
ceritamu, ceritaku, ternyata begitu dekat, waktu yang mempertemukannya. Melalui
buku Kekasih Gelap (2006) ini, aku seperti terbakar rindu. Aku jadi ingat kata-kata
Coelho di bukunya Seperti Sungai Yang Mengalir, di pensil pengarang ada Tuhan
yang menuntun. Mungkin Tuhan yang mempertemukan cerita ini dengan ceritaku.
Solo, Rabu,
11 Februari 2015
No comments:
Post a Comment