Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Di hari Sabtu (13/2/15) aku selesai
membaca Tifa Penyair dan Daerahnya Karya Hans Bague Jassin. Bapak
kritikus sastra Indonesia ini terkenal produktif mengurusi kritik sastra di
Indonesia. Buku ini mengalami cetakan keempat di tahun 1961. Terbit pertama
tahun 1949. Pada cetakan keempat ini diterbitkan oleh Gunung Agung. Ada banyak
hal yang saya temukan di buku ini. Tak hanya persoalan kritik sastra, tetapi
juga perkembangan sastra di masa penjajahan hingga masa modern. Dahulu, para
sastrawan masih mengurusi tema-tema perjuangan dan kepahlawanan. Tapi semakin
modern, para sastrawan semakin kompleks dalam urusan tema. Di buku ini pula
kita akan menemukan betapa pentingnya sebuah ide bagi pengarang. Menurut penulis,
ide bisa jadi bersifat tendensius dan bersifat propaganda. Sifat ide itu
ditentukan oleh penulis berkaitan dengan maksud dan tujuan karangan. Ditentukan
pula semangat dan kondisi lingkungan dimana pengarang tinggal.
Pengarang menurut HB Jassin, bukanlah
seorang yang sedang melamun semata, ia memerlukan bacaan dan pengetahuan
sebagai penambah khazanah dan pengetahuan agar mempertinggi kualitas
karangannya. “betapapun besarnya kecakapan seniman-alam, dengan tiada usaha ia
akan tetap memberikan hasil yang kurus” (h.7). Mengutip kata-kata Jassin di
buku ini : “Dalam riwayat hidup pengarang dan seniman dunia yang mashur kita
bisa melihat, bahwa pengarang-pengarang dan seniman-seniman itu orang yang luas
pengetahuannya dan banyak pengalamannya. Dunia rohani dan dunia jasmani
dijalani mereka dalam segala jurusan sehingga hasil ciptaan mereka ialah
bayangan atau petikan padu penghidupan yang maha luas itu” (h.9). Melalui buku ini, saya juga belajar berbagai
aliran sastra dari ekspresionisme (ekspresif), naturalisme (alam), di buku ini
kita akan menemui penggalan contoh-contoh karya sastra yang dihadirkan oleh HB
Jassin yang berkaitan dengan perkembangan kesusasteraan di negeri ini.
Saya jadi ingat esai panjang yang
ditulis Radar Panca Dahana di Media Indonesia yang mengkritik perkembangan
sastra dewasa ini. Menurutnya ,perkembangan sastra paska orde baru lebih di
dominasi oleh kelompok-kelompok tertentu dan juga menilai para sastrawan muda
menjadi begitu dangkal dan tak menyublim. Kita bisa menyimak kritik serupa yang
diajukan oleh Ajip Rosidi dalam buku ini yang menilai : “teknik memang hanyalah
teknik. Tapi tekniklah yang membedakan seseorang apakah ia memang penulis yang
baik ataukah ia budak baru belajar bicara”(Merdeka,IX/29,21 Juli 1956).
Bagi pengarang, teknik penting untuk
medium bagi apa yang disuarakannya. Tanpa teknik yang bagus, pengarang biasanya
akan dinilai kurang menarik dan tak banyak mendapatkan pembaca. Tetapi teknik
yang bagus pun tentu akan semakin membuat karya semakin bagus pula isinya.
Tentu dalam urusan makna, kesusasteraan punya cara tersendiri dalam hal
menyampaikan yang bernilai tinggi.
Refleksi
Buku ini bisa dibilang sebagai buku
teori kesusasteraan sekaligus buku bagi sastrawan muda. Setidaknya di buku ini
ditulis berbagai anjuran dan saran agar sastrawan kita tak hanya mendalami dan
menggeluti pengalaman keseharian, tetapi juga belajar teori dan sejarah
perkembangan sastra kita. Saya jadi ingat Afrizal Malna seorang sastrawan yang
belajar tentang bagaimana puisi dan sejarah perpuisian di Indonesia semenjak
awal dan ditulikan di bukunya Sesuatu Indonesia.
Tanpa pengetahuan, saya pikir
kesusasteraan Indonesia akan tetap menjadi kesusasteraan yang pincang. Saya
jadi teringat di buku antologi kritik DKJ 2013 , Memasak Nasi Goreng Tanpa
Nasi (2013), judul ini mengingatkan kritik Martin Suryajaya yang mengkritik
karya Ayu Utami di Bilangan Fu yang dinilainya terlampau memudahkan urusan
posmodernisme yang disampaikan di dalam novel. Sehingga banyak cacat dalam
karyanya yang dinilai belum banyak dan belum begitu mendalami tema yang
diangkat penulis. Ada ambiguitas dan rapuh dalam novel itu.
Dunia kesusasteraan sebenarnya bisa
memasuki pelbagai wilayah atau bidang lain. Dari itulah, seorang sastrawan
bukan saja seorang yang mengilhami ayat-ayat Tuhan yang tercipta, tetapi lebih
dari itu, sastrawan juga seorang pemikir yang terlibat dalam dunia
kemasyarakatan melalui karya-karyanya. Dari itulah, kita memerlukan kritik agar
kesusasteraan di negeri ini selalu dan terus berkembang. Sayang, sebagaimana
yang dikatakan oleh H.B.Jassin, kritik kesusasteraan kita belum begitu maju.
Pasalnya para sastrawan belum menyadari betapa pentingnya kesusasteraan bagi
kita. Hingga akhirnya mereka hanya mengandalkan produktifitas tanpa
memperhatikan aspek kualitas dan nilai karya sastranya bagi pembaca.
Buku ini merangkum dan memberikan
penjelasan detail mengenai bagaimana dunia sastra kita di negeri ini, dan
bagaimana para sastrawan bersikap dalam sejarah kesusasteraan kita. Tentu,
semakin maju negeri ini, kita juga dituntut untuk mengembangkan kesusasteraan
kita lebih jauh. Bukan hanya kesusasteraan yang hanya pandai dalam urusan
menyair bulan dan malam, tetapi lebih dari itu juga kesusasteraan yang
memberikan kesan yang mendalam bagi perkembangan sejarah kesusasteraan kita.
Begitu.
*)
Penulis adalah Pembelajar Sastra, Peminat Buku Sastra
No comments:
Post a Comment