Aku jadi senang menuntaskan
kisah ini. Bersama Botchan aku seperti diajak untuk berfikir ulang tentang
makna kejujuran dan betapa penting kejujuran bagi seorang guru. Kejujuran yang
tak hanya dibicarakan dan dibagi bersama murid-muridnya tetapi dilakoni dengan
tulus dan penuh dedikasi. Botchan mengajariku cara menjadi guru yang lebih
baik
Oleh Arif Saifudin
Yudistira*)
Pagi yang
indah, pagi-pagi betul aku berangkat dari rumahku, Klaten. Aku berangkat pukul
05.30 WIB. Malam minggu tak seperti biasanya aku mencoba menghabiskan novel
Botchan karya Natsuke Soseki. Akhirnya aku menghabiskan novel ini pukul 09.45
WIB. Membaca novel ini membuatku ingat masa-masa kecilku. Yang boleh dibilang
nakal sampai membuatku Ibu dan Ayah hampir putus asa. Botchan pun demikian
pula, berkat kenakalannya ia pun berbuah kata-kata tak mengenakkan yang bakal
dia ingat seumur hidupnya. Ayahnya selalu berkata : “Anak itu tidak akan pernah
jadi apa pun”. Ibunya juga berkata kepada Ayahnya “Anak itu begitu kasar dan
berandalan, entah akan jadi apa dia nantinya”. Ibunya meninggal gara-gara
Botchan menabrak-nabrakkan paru-parunya. Ibunya akhirnya meninggal setelah
mengatakan tak mau bertemu lagi dengannya. Botchan kabur dari rumah, tapi
selang beberapa saat ibunya meninggal. Ayahnya pun meninggal beberapa tahun
kemudian. Ketika Ayah dan Ibunya meninggal, Botchan sudah lulus sekolah
menengah swasta, sedang kakaknya lulus sekolah bisnis. Ia terpaksa harus keluar
dari rumahnya karena kakaknya berniat menjual rumahnya.
Botchan
tumbuh secara wajar berkat kasih sayang pembantunya Kiyo. Kiyo akhirnya pulang
ke rumah majikannya yang baru. Botchan pun mendapat tawaran mengajar di daerah
pelosok. Kiyo inilah yang meninggalkan kesan mendalam dalam kehidupan Botchan.
Sebutan Botchan sendiri adalah panggilan dari Kiyo yang menilai Botchan adalah
seorang yang jujur dan apa adanya. Sikap kejujuran dan terus terangnya inilah
yang membawanya ke resiko-resiko hidup yang tak selalu bisa dimengerti oleh
kebanyakan orang. Botchan melanjutkan ke Sekolah Ilmu Alam, dan berhasil lulus
meski menempati rangking urutan terakhir.
Botchan
kemudian memenuhi ajakan Kepala Sekolah untuk mengajar di pelosok. Disana
Botchan harus menghadapi murid-murid di desa yang begitu “berandal”.
Kesabarannya seperti diuji, tetapi ia tak bisa membiarkan semua masalah itu
berlalu begitu saja. Ia pun menyelediki pangkal sebab kenakalan murid-murid
ini. Akhirnya, ia pun menemukan berbagai konspirasi dan kejahatan di sekolah
itu. Tak hanya Kepala Sekolah yang ia juluki sebagai Kemeja Merah, juga kepala
guru yang ia juluki Si Badut ternyata diam-diam mempunyai tabiat buruk yang ia
tata sedemikian rapi. Ketika tabiat ini terkuak, Botchan bersama rekan gurunya
Hokka melakukan pemberontakan terhadap system di sekolah ini.
Tetapi ada
yang menarik dari kisah Botchan ini, Botchan merasakan saat-saat pertama kali
mengajar. Ia mengisahkan perasaannya ketika ia menjadi guru : “Akhirnya datang
juga hari aku mulai mengajar. Kali pertama masuk ke kelas dan naik ke podium,
aku merasa aneh. Sepanjang pelajaran, aku terus-menerus bertanya pada diriku
sendiri. Apakah aku benar-benar seorang guru?. Menyimak cerita Botchan ini aku
jadi ingat tatkala aku masuk ke MI Muhammadiyah PK Kartasura. Anak-anak ramai
memanggilku Ustadz, hehe…, aku ingat betul waktu itu muridku bernama Faza
mengajukan pekerjaannya. Ia anak rajin, bahkan terlalu rajin. Ada perasaan
ganjil seperti yang dirasakan Botchan saat pertama kali mengajar. Pernah aku
merasa bimbang untuk memutuskan antara menjadi guru atau tidak. Dan sampai saat
ini, aku justru belajar banyak hal saat melaluinya.
Memang
berbeda dengan kisah Botchan yang menghadapi anak yang usil dan berandal.
Disini, anak-anak boleh dibilang nakal dalam arti wajar. Menangani anak seperti
mengelus kaca yang terbuat dari bahan yang sangat ringan. Bila kita terlampau
keras maka kaca itu akan dengan mudah pecah. Aku belajar dari apa yang
diutarakan Botchan mengenai mengajar : “ Tidak ada masyarakat yang rela
mentoleransi orang-orang memuakkan yang berfikir bisa bersenang-senang tanpa
membayar akibatnya. Jelas sekali selulusnya dari sekolah, anak-anak ini akan
menjadi sejenis orang yang meminjam uang namun tidak mau melunasi utangnya.
Mereka datang ke sekolah, berbohong, melakukan kecurangan, dan mengendap-endap
di balik kegelapan, melakukan muslihat pada orang, lalu ketika lulus, mereka
akan berjalan penuh kebanggaan, terjebak dalam pemikiran keliru bahwa mereka
telah memperoleh pendidikan. Dasar sampah masyarakat!”(h.67). Botchan juga tak
hanya menegaskan tentang kejujuran, ia juga mengajarkan pendidikan tidak hanya
berarti memperoleh pengetahuan akademis. Pendidikan juga berarti menanamkan
semangat mulia, kejujuran, serta keberanian lalu menghapuskan kebiasan licik,
usil, serta tak bertanggungjawab”(h.112).
Membaca
Botchan seperti membaca tubuhku sendiri. Aku merasai aku begitu polos saat
bercerita tentang masa-masa kecilku di saat SD sampai kuliah. Aku jadi berfikir,
sikap kepolosan dan kejujuran seperti Botchan memang perlu. Tetapi tak selalu
sikap seperti itu mendapat sambutan baik bagi semua orang. Prinsip Botchan pun menjadi mirip dengan
kehidupanku saat ini. “Bukan pembawaanku untuk mencemaskan masa depan dan aku
tidak pernah membiarkan sesuatu yang sudah terjadi meresahkanku; aku biasa
hidup untuk hari ini”. Bila menyimak kata-kata Botchan aku jadi ingat diriku
yang bahkan sampai saat ini tak cukup banyak memiliki tabungan. Hahaha…
kenangan ini membawaku mengingat temanku yang waktu SMA saja memiliki tabungan
5 juta lebih. Memang buku tabungan di tasku tiga buah, tetapi jangan Tanya
isinya.
Botchan
tak hanya sekadar kisah tentang pemberontakan guru terhadap system di sekolah.
Ketidakjujuran dan intrik di dunia pendidikan bukan hal yang baru untuk
pendidikan di negeri ini. Aku jadi senang menuntaskan kisah ini. Bersama
Botchan aku seperti diajak untuk berfikir ulang tentang makna kejujuran dan
betapa penting kejujuran bagi seorang guru. Kejujuran yang tak hanya
dibicarakan dan dibagi bersama murid-muridnya tetapi dilakoni dengan tulus dan
penuh dedikasi. Botchan mengajariku cara menjadi guru yang lebih baik. Meski
pada akhirnya Botchan meninggalkan desa pelosoknya dan memilih tinggal di
Tokyo.
*) Penulis adalah Pengasuh MIM
PK kartasura
No comments:
Post a Comment