klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 19 February 2015

Guru....


Aku jadi senang menuntaskan kisah ini. Bersama Botchan aku seperti diajak untuk berfikir ulang tentang makna kejujuran dan betapa penting kejujuran bagi seorang guru. Kejujuran yang tak hanya dibicarakan dan dibagi bersama murid-muridnya tetapi dilakoni dengan tulus dan penuh dedikasi. Botchan mengajariku cara menjadi guru yang lebih baik


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Pagi yang indah, pagi-pagi betul aku berangkat dari rumahku, Klaten. Aku berangkat pukul 05.30 WIB. Malam minggu tak seperti biasanya aku mencoba menghabiskan novel Botchan karya Natsuke Soseki. Akhirnya aku menghabiskan novel ini pukul 09.45 WIB. Membaca novel ini membuatku ingat masa-masa kecilku. Yang boleh dibilang nakal sampai membuatku Ibu dan Ayah hampir putus asa. Botchan pun demikian pula, berkat kenakalannya ia pun berbuah kata-kata tak mengenakkan yang bakal dia ingat seumur hidupnya. Ayahnya selalu berkata : “Anak itu tidak akan pernah jadi apa pun”. Ibunya juga berkata kepada Ayahnya “Anak itu begitu kasar dan berandalan, entah akan jadi apa dia nantinya”. Ibunya meninggal gara-gara Botchan menabrak-nabrakkan paru-parunya. Ibunya akhirnya meninggal setelah mengatakan tak mau bertemu lagi dengannya. Botchan kabur dari rumah, tapi selang beberapa saat ibunya meninggal. Ayahnya pun meninggal beberapa tahun kemudian. Ketika Ayah dan Ibunya meninggal, Botchan sudah lulus sekolah menengah swasta, sedang kakaknya lulus sekolah bisnis. Ia terpaksa harus keluar dari rumahnya karena kakaknya berniat menjual rumahnya.
            Botchan tumbuh secara wajar berkat kasih sayang pembantunya Kiyo. Kiyo akhirnya pulang ke rumah majikannya yang baru. Botchan pun mendapat tawaran mengajar di daerah pelosok. Kiyo inilah yang meninggalkan kesan mendalam dalam kehidupan Botchan. Sebutan Botchan sendiri adalah panggilan dari Kiyo yang menilai Botchan adalah seorang yang jujur dan apa adanya. Sikap kejujuran dan terus terangnya inilah yang membawanya ke resiko-resiko hidup yang tak selalu bisa dimengerti oleh kebanyakan orang. Botchan melanjutkan ke Sekolah Ilmu Alam, dan berhasil lulus meski menempati rangking urutan terakhir.
            Botchan kemudian memenuhi ajakan Kepala Sekolah untuk mengajar di pelosok. Disana Botchan harus menghadapi murid-murid di desa yang begitu “berandal”. Kesabarannya seperti diuji, tetapi ia tak bisa membiarkan semua masalah itu berlalu begitu saja. Ia pun menyelediki pangkal sebab kenakalan murid-murid ini. Akhirnya, ia pun menemukan berbagai konspirasi dan kejahatan di sekolah itu. Tak hanya Kepala Sekolah yang ia juluki sebagai Kemeja Merah, juga kepala guru yang ia juluki Si Badut ternyata diam-diam mempunyai tabiat buruk yang ia tata sedemikian rapi. Ketika tabiat ini terkuak, Botchan bersama rekan gurunya Hokka melakukan pemberontakan terhadap system di sekolah ini.
            Tetapi ada yang menarik dari kisah Botchan ini, Botchan merasakan saat-saat pertama kali mengajar. Ia mengisahkan perasaannya ketika ia menjadi guru : “Akhirnya datang juga hari aku mulai mengajar. Kali pertama masuk ke kelas dan naik ke podium, aku merasa aneh. Sepanjang pelajaran, aku terus-menerus bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku benar-benar seorang guru?. Menyimak cerita Botchan ini aku jadi ingat tatkala aku masuk ke MI Muhammadiyah PK Kartasura. Anak-anak ramai memanggilku Ustadz, hehe…, aku ingat betul waktu itu muridku bernama Faza mengajukan pekerjaannya. Ia anak rajin, bahkan terlalu rajin. Ada perasaan ganjil seperti yang dirasakan Botchan saat pertama kali mengajar. Pernah aku merasa bimbang untuk memutuskan antara menjadi guru atau tidak. Dan sampai saat ini, aku justru belajar banyak hal saat melaluinya.
            Memang berbeda dengan kisah Botchan yang menghadapi anak yang usil dan berandal. Disini, anak-anak boleh dibilang nakal dalam arti wajar. Menangani anak seperti mengelus kaca yang terbuat dari bahan yang sangat ringan. Bila kita terlampau keras maka kaca itu akan dengan mudah pecah. Aku belajar dari apa yang diutarakan Botchan mengenai mengajar : “ Tidak ada masyarakat yang rela mentoleransi orang-orang memuakkan yang berfikir bisa bersenang-senang tanpa membayar akibatnya. Jelas sekali selulusnya dari sekolah, anak-anak ini akan menjadi sejenis orang yang meminjam uang namun tidak mau melunasi utangnya. Mereka datang ke sekolah, berbohong, melakukan kecurangan, dan mengendap-endap di balik kegelapan, melakukan muslihat pada orang, lalu ketika lulus, mereka akan berjalan penuh kebanggaan, terjebak dalam pemikiran keliru bahwa mereka telah memperoleh pendidikan. Dasar sampah masyarakat!”(h.67). Botchan juga tak hanya menegaskan tentang kejujuran, ia juga mengajarkan pendidikan tidak hanya berarti memperoleh pengetahuan akademis. Pendidikan juga berarti menanamkan semangat mulia, kejujuran, serta keberanian lalu menghapuskan kebiasan licik, usil, serta tak bertanggungjawab”(h.112).
            Membaca Botchan seperti membaca tubuhku sendiri. Aku merasai aku begitu polos saat bercerita tentang masa-masa kecilku di saat SD sampai kuliah. Aku jadi berfikir, sikap kepolosan dan kejujuran seperti Botchan memang perlu. Tetapi tak selalu sikap seperti itu mendapat sambutan baik bagi semua orang.  Prinsip Botchan pun menjadi mirip dengan kehidupanku saat ini. “Bukan pembawaanku untuk mencemaskan masa depan dan aku tidak pernah membiarkan sesuatu yang sudah terjadi meresahkanku; aku biasa hidup untuk hari ini”. Bila menyimak kata-kata Botchan aku jadi ingat diriku yang bahkan sampai saat ini tak cukup banyak memiliki tabungan. Hahaha… kenangan ini membawaku mengingat temanku yang waktu SMA saja memiliki tabungan 5 juta lebih. Memang buku tabungan di tasku tiga buah, tetapi jangan Tanya isinya.
            Botchan tak hanya sekadar kisah tentang pemberontakan guru terhadap system di sekolah. Ketidakjujuran dan intrik di dunia pendidikan bukan hal yang baru untuk pendidikan di negeri ini. Aku jadi senang menuntaskan kisah ini. Bersama Botchan aku seperti diajak untuk berfikir ulang tentang makna kejujuran dan betapa penting kejujuran bagi seorang guru. Kejujuran yang tak hanya dibicarakan dan dibagi bersama murid-muridnya tetapi dilakoni dengan tulus dan penuh dedikasi. Botchan mengajariku cara menjadi guru yang lebih baik. Meski pada akhirnya Botchan meninggalkan desa pelosoknya dan memilih tinggal di Tokyo.


*) Penulis adalah Pengasuh MIM PK kartasura

           
            

No comments:

Post a Comment