klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Wednesday 26 December 2012

Sejarah Makna Dan Kuasa Pakaian



Judul buku                              :  Busana Jawa Kuno
Penulis                                     : Indra citraninda Noerhadi
Penerbit                                   : Komunitas Bambu
Hal                                          : 120 halaman
ISBN                                       : 978-602-9402-16-2
Harga                                      : Rp.50.000,00
Tahun                                      : Juli,2012

Sejarah “Kuasa” Dan “Makna” Pakaian

Oleh arif saifudin yudistira*)

            Sejarah pakaian muncul sejak manusia Indonesia mengenal budaya menenun. Dengan masuknya budaya menenun di era neolitikum itulah manusia Indonesia mengenali cara menutup tubuh mereka. Sebagaimana kita mengetahui, manusia Indonesia di masa itu, memandang pakaian masih sebagai satu pelindung dari luar seperti panas, dingin, dan lain sebagainya (I made seraya 1980-1981:16). Di masa lalu, cara berpakaian nenek moyang kita pun seperti tak jauh berbeda dengan kita, mereka menutupi tubuh mereka dengan pakaian untuk menunjukkan kelebihan dan status social mereka.
            Pakaian memiliki sakralitas tersendiri bagi kaum bangsawan, istana, yang itu berlaku hingga saat ini. Pakaian dikhususkan, tidak boleh sembarangan kawula desa atau rakyat memakai pakaian para raja atau kaum bangsawan. Kuasa “pakaian” ini menunjukkan identitas hingga kini, misalnya ketika kita jumpai pakaian kebesaran di keratin-keraton dan bangsawan di Yogyakarta dan di solo. Pakaian mereka memiliki ciri khusus, seperti aksesoris, ikat pinggang, penutup kepala dari emas, hingga tongkat. Dari sanalah kita mengetahui pakaian di kalangan kerajaan atau bangsawan memiliki fungsinya sendiri baik pada upacara resmi keraton, upacara yang sifatnya kerakyatan, dan upacara-upacara lainnya. Nuansa etis dan system keraton yang ketat dalam tata budaya dan system adat ini barangkali bisa dilacak sebagai simbolisasi kuasa keraton yang mengadopsi nilai-nilai barat dan eropa yang dipadukan dengan nilai-nilai jawa. Kita bisa menemui ini pada kesaksian perempuan jawa yang ada di buku “Prajurit perempuan jawa”(2011).
            Melalui buku busana jawa kuna ini, inda citra ninda menunjukkan kepada kita, bahwa kita memiliki khasanah budaya dan kekayaan arkeologi yang begitu tinggi di dalam artefak-artefak peradaban kita. Kita bisa menemui ini pada candi misalnya, inda citraninda membuka mata kita semua, bahwa simbolisasi,kuasa, dan fungsi pakaian yang melekat pada tubuh tak sekadar berfungsi sebagai penutup tubuh semata melainkan memiliki implikasi pada bagaimana strata atau kelas social itu muncul. Penelitian ini tak hanya memberikan sumbangsih penting bagaimana membaca masa lalu nenek moyang kita yang ada pada relief candi Borobudur, tetapi juga sebagai pijakan bagaimana membaca fenomena pakaian di manusia modern. Hal ini Nampak pada bagaimana lingkungan istana kita memakai pakaian yang bermiliar-miliar rupiah untuk upacara resmi kenegaraan hingga pakaian sehari-hari. Melalui harga dan bentuk pakaian kenegaraan itulah, ternyata Negara atau dalam hal ini pemerintah masih memakai logika kuno di negeri ini yang dulu dipakai nenek moyang kita. Pakaian seorang raja mesti berbeda dengan kawula, pakaian seorang rakyat jelata harus beda dengan pakaian presidennya.

Antara kuasa dan keadaban

            Kita pun mengenali pakaian di masa kini pun menjadi mode, dan industry yang menjanjikan. Kelas social, gengsi, hingga eksistensi pun muncul, bahkan kini pakaian seperti menjadi budaya popular yang kerap membawa kontroversi dan polemic. Pakaian pun dimanfaatkan oleh dunia hiburan, dan dunia kapitalisasi modern untuk menyihir anak-anak muda kita ikut dan tak berdaya di mata trend, mode dan model pakaian yang dipakai para seleb kita. Pakaian pun seperti semakin jelas menunjukkan bahwa ia jadi alat untuk meningkatkan popularitas dan ketenaran para selebriti kita. Dengan gaya pakaian terbaru, pakaian “sexy” mereka menyihir dan membentuk opini public melalui tayangan ghossip, infotainment dan sebagainya. Pakaian di dunia modern pun seperti tak menunjukkan keadaban kita.
            Inda citraninda mengulas bagaimana pakaian dalam relief karmawibhangga di bagian bawah candi Borobudur. Pakaian dalam relief karmawibhangga menunjukkan berbagai kelas social yang ada. Kelas pekerja, kawula desa, hingga pakaian dewa-dewi. Pakaian di relief itu pun menunjukkan bahwa peradaban manusia di masa itu tak memandang pakaian yang ringkas, sederhana sebagai unsure dari pornografi sebagaimana sekarang ini. Pakaian sederhana, ringkas difahami sebagai fakta sejarah dan fungsi pakaian yang tak semodern saat ini. Tapi justru di masa itulah, kelas social sudah mulai melekat pada identitas pakaian yang mereka pakai.
            Kini, dunia modern barangkali perlu bercermin pada kajian inda citraninda, bahwa pakaian dan tubuh tak semestinya dijadikan eksploitasi dan objek dari media, kamera, hingga budaya patriarchal melalui stereotype “pornografi”. Sebab di masa lalu, kita memahami dan mengenali pakaian wanita yang sederhana dan menampakkan payudara dan bagian atas mereka dengan kondisi yang biasa dan sewajarnya. Selain itu, kajian inda citraninda “Busana jawa kuna” ini setidaknya memberikan satu pandangan jelas kepada kita semua pada makna dan kuasa pakaian.
            Kuasa dan makna pakaian sebagai symbol status social itu sudah ada sejak jaman jawa kuno sebagaimana yang diungkap pigeaud ada empat kelas social di masa itu yakni kaum penguasa,agama,orang biasa dan budak (Th.Pigeaud,1958:195). Sejarah kuasa dan makna pakaian di negeri ini pun sudah begitu lama, ia menunjukkan perkembangannya hingga kini. Buku ini setidaknya memberikan satu simpulan besar, bahwa pakaian adalah identitas, kelas-sosial yang melalui uang dan harga itulah pakaian menunjukkan kuasanya pada kita semua.


*)penulis adalah Mahasiswa UMS, Pegiat Bilik Literasi Solo  

*)tulisan termuat di retakan kata.com 21 september 2012

No comments:

Post a Comment