klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Wednesday 26 December 2012

Menyerukan Kembali Pentingnya Ijtihad



Judul buku                            :  Alloh,Cinta dan Kebebasan 
Penulis                                    : Irshad Manji
Penerbit                                  : Rene book
Hal                                          : 352 halaman
ISBN                                       : 978-602-19153-4-9
Harga                                     : Rp.69.900,00


Menyerukan Kembali Pentingnya Ijtihad
Oleh arif saifudin yudistira*)

Bila kamu melakukan ijtihad dan benar maka kamu mendapatkan pahala senilai dua, sedang bila ijtihadmu salah maka kamu akan mendapat pahala satu. Sedang tak ada dosa dalam ijtihad.


Begitulah kiranya agama sudah menganjurkan kita melakukan ijtihad. Ijtihad dimaknai memperjuangkan dan mencari kebenaran, untuk mencapai perubahan. Dalam konteks sekarang, agama berubah menjadi sosok yang mandek, stagnan dan tidak mampu menghadapi realitas jaman yang sudah sebegitu cepat dan rusak.
Betapa islam sendiri kemudian tak mampu menghadapi terror yang melanda sejak terjadinya 9/11. Peristiwa itu seperti meruntuhkan bangunan, hingga membangkitkan stereotype yang aneh. Islam itu teroris, dan islam itu kejam dan islam itu adalah bom dan kekerasan. Irshad manji mengawali ceritanya dengan gambaran demikian. Ia ingin menolak stereotype itu. Islam tidak demikian, islam mesti keluar dari stigmatisasi ini. Islam mesti kembali ke islam sebenarnya yakni islam itu rahmat bagi seluruh alam. Pesan itu yang kini tegas dan layak disuarakan oleh irshad manji. Ia tak ingin mendengar lagi islam seperti di media massa yang identik dengan tiga kengerian yakni pengeboman, pemenggalan, dan darah.
Manji tak hanya ingin menegaskan bahwa , kenapa takut melakukan tafsir dan menjadikan iman itu melampaui teks saja. Kita tak tahu siapa yang memegang otoritas kebenaran, karena kebenaran hanya dipegang oleh Tuhan saja. Maka dari itu, orang-orang yang merasa memegang otoritas kebenaran dan menghakimi penafsiran yang lain itulah yang menurut irshad justru menyimpang. Betapa Alloh sudah memberikan kebebasan sebebas-bebasnya pada umatnya.

Integritas

Tanpa adanya kebebasan untuk berfikir dan berekspresi tidak mungkin ada integritas baik dalam diri maupun dalam masyarakat. Oleh karena itu, prasyarat dari integritas tak lain adalah kebebasan berfikir dan berekspresi. Menyikapi beragamnya ekspresi dan aneka ragam pemikiran itulah dialog menjadi jembatan dan media untuk menghindari konflik. Tak ada persoalan yang mestinya tak dapat diselesaikan, dialog mampu menjangkau dan mencapai yang lebih dari yang sebelumnya. Sikap dialog dan kebebasan berekspresi inilah yang seringkali membuat orang justru ditentang oleh kelompok atau sekte keagamaan lain. Dialog dilupakan, sedang kesempitan berfikir justru lebih dikedepankan. Akhirnya, jalan untuk menjembatani perbedaan jadi tak ada.
Integritas menurut irshad dalam buku Alloh,cinta dan kebebasan adalah fondasi yang mesti dibangun. Integritas bisa melampaui dinding dan tembok keagamaan. Bagian dari integritas itu misalnya menentang hukum rajam hingga mati. Hingga hukum pancung, hukum yang mengerikan dan kejam itu tentu saja akan kita sepakati bila sesuai konteksnya. Akan tetapi, bila kita melihat kasus di arab Saudi yang seringkali melakukan hukuman pancung yang ternyata lebih banyak korban yang justru dipancung daripada pelaku asusila sebut saja kisah pembantu Indonesia (tki) yang sering mengalami hal itu. Maka hukum pancung mesti ditinjau kembali, disinilah pentingnya ijtihad. Ijtihad jelas tidak meninggalkan nalar dan pikiran kita. Integritas itu adalah bagaimana kita menempatkan Tuhan dalam kehidupan kita. “Tuhan bisa menjadi nurani anda, pencipta anda, atau gabungan keduanya yang sungguh memesona yang dikenal sebagai integritas”(xxvi). Maka dari itu, membangun integritas mesti dijalani dari hakikat kesadaran diri bahwa kita melampaui dari apa yang kita bisa. Agama adalah sarana, sedang bagaimana kita mempraktekkan agama dan mencapai kesempurnaannya itulah yang mesti kita laksanakan. Oleh karena itu, irshad menyarankan kita untuk lebih menghilangkan identitas kita  dan menunjukkan integritas kita.

Relatifitas budaya

          Kita seringkali tak bisa menempatkan antara seberapa besar posisi budaya dan posisi agama dalam kehidupan sehari-hari kita. Orang tua kita sering mengajarkan “jangan berani padaku, niscaya engkau masuk neraka”, maka ketika kita menjawab “ suruh saja Tuhanmu memasukkan aku ke nerakanya”. Jawbaban semacam itu dinilai melanggar nilai-nilai agama. Maka agama tiba-tiba jadi sesuatu yang mencekam dan menerkam kita. Agama menjadi topeng kedirian kita.
      Maka ketika melihat budaya yang ada di negeri ini, yang sudah lebih jauh berada daripada agama yang masuk di negeri kita, kita seringkali bersikap ekstrem terhadap kebudayaan yang ada. Atau sebaliknya ketika budaya yang ada di arab yang mengekang masyarakatnya utamanya perempuan membelenggu mereka. Maka budaya lebih cenderung dianggap sebagai agama.
      Oleh karena itu, budaya itu relative dan tidak sacral. Ketidaksakralan budaya ini yang mesti dijelaskan. Budaya itu cipta dan karsa manusia, jika kita melebih-lebihkan budaya daripada agama, maka yang terjadi yakni perebutan kekuasaan tafsir keagamaan. Akhirnya agama pun dijalani dengan membabi buta dan identik dengan kekerasan dan juga permusuhan. Adat kehormatan sudah ada sebelum islam. Jika kita bertahan pada budaya dengan mengatasnamakan islam, maka kita sama saja menyembah apa yang manusia bukan tuhan ciptakan! Bukankah itu disebut menyembah berhala?.(99)
        Dengan buku ini, Irshad tak hanya menjelaskan bagaimana pentingnya mengembangkn integritas, karena dengan integritas itu pula ia berharap dapat membangkitkan para umat agama yang merasa takut berbicara tentang agama dan tentang kebenaran. Buku ini pun mengajak kita, bahwa agama mesti disandingkan dengan iman.

Iman tidak melarang eksplorasi, dogmalah yang melarang. Secara intrinsic dogma terancam oleh pertanyaan-pertanyaan. Sementara iman menerima pertanyaan-pertanyaan karena iman meyakini bahwa Tuhan yang maha pengasih bisa menghadapi semua itu(xx).  

Terakhir buku ini sebagaimana dalam pembuka setidaknya menyerukan pesan penting yakni pentingnya mengubah amarah menjadi aspirasi. Mengapa tidak eskpresi kemarahan berbagai orang yang merupakan ekspresi keagamaan kita, kita jadikan aspirasi untuk membangun dunia yang lebih baik.


            *)Penulis adalah Mahasiswa UMS, mengelola kawah institute Indonesia 

             *)Tulisan mampir di retakan kata 20 juni 2012

No comments:

Post a Comment