Judul buku :
Alloh,Cinta dan Kebebasan
Penulis :
Irshad Manji
Penerbit : Rene book
Hal :
352 halaman
ISBN :
978-602-19153-4-9
Harga :
Rp.69.900,00
Menyerukan Kembali
Pentingnya Ijtihad
Oleh arif saifudin
yudistira*)
Bila kamu melakukan ijtihad dan benar maka kamu mendapatkan pahala senilai dua, sedang bila ijtihadmu salah maka kamu akan mendapat pahala satu. Sedang tak ada dosa dalam ijtihad.
Begitulah
kiranya agama sudah menganjurkan kita melakukan ijtihad. Ijtihad dimaknai
memperjuangkan dan mencari kebenaran, untuk mencapai perubahan. Dalam konteks
sekarang, agama berubah menjadi sosok yang mandek, stagnan dan tidak mampu
menghadapi realitas jaman yang sudah sebegitu cepat dan rusak.
Betapa
islam sendiri kemudian tak mampu menghadapi terror yang melanda sejak
terjadinya 9/11. Peristiwa itu seperti meruntuhkan bangunan, hingga
membangkitkan stereotype yang aneh. Islam itu teroris, dan islam itu kejam dan
islam itu adalah bom dan kekerasan. Irshad manji mengawali ceritanya dengan
gambaran demikian. Ia ingin menolak stereotype itu. Islam tidak demikian, islam
mesti keluar dari stigmatisasi ini. Islam mesti kembali ke islam sebenarnya
yakni islam itu rahmat bagi seluruh alam. Pesan itu yang kini tegas dan layak
disuarakan oleh irshad manji. Ia tak ingin mendengar lagi islam seperti di
media massa yang identik dengan tiga kengerian yakni pengeboman, pemenggalan,
dan darah.
Manji
tak hanya ingin menegaskan bahwa , kenapa takut melakukan tafsir dan menjadikan
iman itu melampaui teks saja. Kita tak tahu siapa yang memegang otoritas
kebenaran, karena kebenaran hanya dipegang oleh Tuhan saja. Maka dari itu,
orang-orang yang merasa memegang otoritas kebenaran dan menghakimi penafsiran
yang lain itulah yang menurut irshad justru menyimpang. Betapa Alloh sudah
memberikan kebebasan sebebas-bebasnya pada umatnya.
Integritas
Tanpa
adanya kebebasan untuk berfikir dan berekspresi tidak mungkin ada integritas
baik dalam diri maupun dalam masyarakat. Oleh karena itu, prasyarat dari integritas
tak lain adalah kebebasan berfikir dan berekspresi. Menyikapi beragamnya
ekspresi dan aneka ragam pemikiran itulah dialog menjadi jembatan dan media
untuk menghindari konflik. Tak ada persoalan yang mestinya tak dapat
diselesaikan, dialog mampu menjangkau dan mencapai yang lebih dari yang
sebelumnya. Sikap dialog dan kebebasan berekspresi inilah yang seringkali
membuat orang justru ditentang oleh kelompok atau sekte keagamaan lain. Dialog
dilupakan, sedang kesempitan berfikir justru lebih dikedepankan. Akhirnya,
jalan untuk menjembatani perbedaan jadi tak ada.
Integritas
menurut irshad dalam buku Alloh,cinta dan kebebasan adalah fondasi yang
mesti dibangun. Integritas bisa melampaui dinding dan tembok keagamaan. Bagian
dari integritas itu misalnya menentang hukum rajam hingga mati. Hingga hukum
pancung, hukum yang mengerikan dan kejam itu tentu saja akan kita sepakati bila
sesuai konteksnya. Akan tetapi, bila kita melihat kasus di arab Saudi yang
seringkali melakukan hukuman pancung yang ternyata lebih banyak korban yang
justru dipancung daripada pelaku asusila sebut saja kisah pembantu Indonesia
(tki) yang sering mengalami hal itu. Maka hukum pancung mesti ditinjau kembali,
disinilah pentingnya ijtihad. Ijtihad jelas tidak meninggalkan nalar dan pikiran
kita. Integritas
itu adalah bagaimana kita menempatkan Tuhan dalam kehidupan kita. “Tuhan
bisa menjadi nurani anda, pencipta anda, atau gabungan keduanya yang sungguh
memesona yang dikenal sebagai integritas”(xxvi). Maka dari itu, membangun
integritas mesti dijalani dari hakikat kesadaran diri bahwa kita melampaui dari
apa yang kita bisa. Agama adalah sarana, sedang bagaimana kita mempraktekkan
agama dan mencapai kesempurnaannya itulah yang mesti kita laksanakan. Oleh
karena itu, irshad menyarankan kita untuk lebih menghilangkan identitas
kita dan menunjukkan integritas kita.
Relatifitas
budaya
Kita seringkali tak bisa menempatkan
antara seberapa besar posisi budaya dan posisi agama dalam kehidupan
sehari-hari kita. Orang tua kita sering mengajarkan “jangan berani padaku,
niscaya engkau masuk neraka”, maka ketika kita menjawab “ suruh saja Tuhanmu
memasukkan aku ke nerakanya”. Jawbaban semacam itu dinilai melanggar
nilai-nilai agama. Maka agama tiba-tiba jadi sesuatu yang mencekam dan menerkam
kita. Agama menjadi topeng kedirian kita.
Maka ketika melihat budaya yang ada
di negeri ini, yang sudah lebih jauh berada daripada agama yang masuk di negeri
kita, kita seringkali bersikap ekstrem terhadap kebudayaan yang ada. Atau
sebaliknya ketika budaya yang ada di arab yang mengekang masyarakatnya utamanya
perempuan membelenggu mereka. Maka budaya lebih cenderung dianggap sebagai
agama.
Oleh karena itu, budaya itu relative
dan tidak sacral. Ketidaksakralan budaya ini yang mesti dijelaskan. Budaya itu
cipta dan karsa manusia, jika kita melebih-lebihkan budaya daripada agama, maka
yang terjadi yakni perebutan kekuasaan tafsir keagamaan. Akhirnya agama pun
dijalani dengan membabi buta dan identik dengan kekerasan dan juga permusuhan. Adat
kehormatan sudah ada sebelum islam. Jika kita bertahan pada budaya dengan
mengatasnamakan islam, maka kita sama saja menyembah apa yang manusia bukan
tuhan ciptakan! Bukankah itu disebut menyembah berhala?.(99)
Dengan buku ini, Irshad tak hanya
menjelaskan bagaimana pentingnya mengembangkn integritas, karena dengan
integritas itu pula ia berharap dapat membangkitkan para umat agama yang merasa
takut berbicara tentang agama dan tentang kebenaran. Buku ini pun mengajak
kita, bahwa agama mesti disandingkan dengan iman.
Iman tidak melarang eksplorasi, dogmalah yang melarang. Secara intrinsic dogma terancam oleh pertanyaan-pertanyaan. Sementara iman menerima pertanyaan-pertanyaan karena iman meyakini bahwa Tuhan yang maha pengasih bisa menghadapi semua itu(xx).
Terakhir buku ini sebagaimana dalam pembuka
setidaknya menyerukan pesan penting yakni pentingnya mengubah amarah menjadi
aspirasi. Mengapa tidak eskpresi kemarahan berbagai orang yang merupakan
ekspresi keagamaan kita, kita jadikan aspirasi untuk membangun dunia yang lebih
baik.
*)Penulis adalah Mahasiswa UMS,
mengelola kawah institute Indonesia
*)Tulisan mampir di retakan kata 20 juni 2012
No comments:
Post a Comment