klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Saturday 18 October 2014

Jejak Nasib Perempuan


oleh Sobiatun
Peminat Issue Perempuan


Jejak-jejak inilah yang ditemukan penulis. Bagaimana seorang perempuan kehilangan ke-empuannya. Perempuan tidak lagi berdaulat dan berkuasa atas miliknya. Dalih-dalih agama digunakan untuk memenjarakannya. Hukum dibuat untuk melemahkannya


            Adalah penjara, tempat ditemukannya perempuan oleh penulis. Seolah ada radar yang menancap pada perempuan, penulis telah berhasil mendeteksi keberadaan nasib perempuan saat ini. Anda pasti bertanya, dosa apa yang telah diperbuat oleh perempuan, hingga mereka dijadikan tersangka lalu masuk penjara. Buku “Penjara Perempuan” telah membuka mata pengetahuan kita, bahwa dosa tak selamanya diturunkan dari murka Tuhan. Kini, dosa bisa juga dikeluarkan oleh kapital, negara, iklan, industri, atau budaya atau dalil agama sekalipun. Berbeda dengan dosa yang diturunkan oleh Tuhan yang demi kebaikan, jera dan kasih sayang, dosa dari para kapital dijatuhkan kepada perempuan untuk memenjarakannya sampai lupa akan siapa sebenarnya perempuan. Siapa tak kenal perempuan? Dirinya begitu tenar. Dirinya pun selalu dan masih menjadi lakon dalam cerita kehidupan ini. Pendalangnya adalah negara, industri, iklan dan otak kapital lainnya. Perempuan telah diberontak. Meski kita telah ketahui bersama, dampak dari kapitalisme adalah kerugian bagi semua tak terkecuali perempuan, namun bagi perempuan ini adalah perihal yang menusuk bertubi-tubi. Dirinya dijadikan umpan untuk menarik mangsa-mangsa sang kapital, ditambah lagi dirinya masuk perangkap untuk menjadi identik dengan konstruk yang dibangun iklan, atau “modern” ala kapital. Belum lagi permasalahan perlindungan negara. Kasus TKI juga diungkap penulis dalam bukunya tersebut. Atau kasus pemerkosaan dan kasus pelecehan seksual yang menimbulkan perempuan sebagai korban tidak membuat negara turut prihatin. Perempuan masih menajdi korban dan datang lagi berjatuhan. Nyatanya, negara belum berhasil mendatangkan efek jera, dan menjadi tindakan preventif bagi yang memiliki niat untuk jahat.
“Karena aku empu, maka aku melawan!” kata-kata ini membuat saya menggigil. Kutipan itu ada dalam essai pertama dalam buku tersebut. Saya jadi berfikir ulang bahwa ternyata yang menyebabkan saya perempuan bukanlah Tuhan. Saya perempuan bukan karena saya memiliki payudara dan vagina. Saya perempuan karena saya memilih menjadi perempuan.Penulis berkisah, perempuan adalah pemilik kerajaan di masa lalu. Perempuanlah sebenarnya sang pemilik, sang penguasa, bahkan agamapun mengamini jika perempuan adalah berdaulat! Karena perempuan adalah empu, yang dimaknai sebagai yang memiliki. Dalam buku ini, perempuan telah banyak diperbincangkan. Lihatlah! Bagaimana dunia ini telah mengacaukan akan arti dari relevansi. Kalau dipertanyakan, apa hubungan mobil mewah dan perempuan yang berpakaian mini, atau barang-barang mewah lainnya dengan menampilkan perempuan yang demikian? Ketika berbicara tentang dampak, memang tidak hanya perempuan, namun juga laki-laki. Mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan mobil mewah agar mudah untuk pendekatan terhadap perempuan. Namun, penulis telah menetapkan memilih perempuan untuk diperbincangkan dalam bukunya. Tak hanya sebagai korban yang menjelma menjadi konsumeris namun perempuan juga sebagai objek yang dimainkan para kapital atau negara itu sendiri. Tubuhnya telah dirampas demi kepentingan material. Ketenarannya direbut oleh kepentingan partai demi naiknya elektabilitas. Belum lagi peraturan yang tidak melindungi perempuan malah membatasi perempuan.
Jejak-jejak inilah yang ditemukan penulis. Bagaimana seorang perempuan kehilangan ke-empuannya. Perempuan tidak lagi berdaulat dan berkuasa atas miliknya. Dalih-dalih agama digunakan untuk memenjarakannya. Hukum dibuat untuk melemahkannya. Ketika pelarangan perempuan Aceh untuk bonceng ngangkang, ini adalah kebebalan yang tidak menemui nalar. Perempuan juga memiliki selangkangan. Memiliki dua kaki. Perkara nagngkang adalah perkara memfungsikan apa yang dimiliki pada tubuh. Dari pemaparan inilah kita bersama mengetahui nasib perempuan tidak sedang baik. Kartini, seorang perempuan. Seorang Raden Ajeng. Kepadanya kita bisa berteladan. Kartini telah mengajarkan perempuan untuk berliterasi, mengajarkan bahwa malam tidaklah tabu untuk perempuan. Malam hanyalah dunia yang dtinggalkan matahari lalu digantikan bintang.Dijadikannya malam untuk Kartini berorasi dan membangunkan ruh pembebasan di benak anak-anak bangsa. Kartini tak hanya menyoal perempuan. Pemikirannya melampaui perkara perempuan. Dirinya begitu keras kepala membuktikan bahwa akal perempuan tidaklah rumpang. Akalnya mampu memikirkan kondisi bangsa, soaial, politik sekalipun. Kartini ingin menunjukkan kepada mata dunia bahwa peradaban mustahil berkemajuan tanpa perempuan sebagai aktor. Perempuan juga perlu berkisah, menjalankan narasinya dan membuat dunia tercengang. Jejak Kartini terekam dalam buku ini. Mengajak para pembacanya untuk perih jika hanya diam. Meski tak sekaliber Kartini, kita perempuan tetap memiliki restu untuk berdaulat, tetap berkuasa dan terus bergerak karena agama, iman dan keberanian menghendaki demikian. Inilah kekuatan. Saya tidak pedih dengan apa yang disampaikan penulis. Saya hanya perlu membacanya. Inilah jejak nasib perempuan. Saat membaca ini, saya tahu dimana titik saya berpijak sekarang.
Dengan buku “Penjara Perempuan” ini saya memiliki teman untuk marah dan melawan. Saya telah membacanya, sekarang giliran Anda!



No comments:

Post a Comment