klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 26 October 2014

Anak Berbakat





Buku Paul Witty adalah buku penting untuk dijadikan rujukan bagi guru-guru, orangtua dan kita semua agar tak mengesampingkan dan salah urus terhadap anak yang memikiki bakat dan kelebihan dibanding dengan anak-anak yang lainnya


    Hari minggu, minggu yang membahagiakan, setidaknya ini yang kurasakan, meski sabtu(25/10/14) aku lelah minta ampun. Malam minggu jadi kutukan, aku justru minta pijit adikku di rumah. Di rumah memang, segalanya bertuah, aku merasakan ada energy yang mengingatkan, menyentuh dan membakar ulang tentang titik dimana kita harus kembali berjalan. Sabtu itu, aku diminta mengulas tentang anak dan dunia sekolah. Aku berbincang bersama anak-anak remaja yang bagiku tampak lugu-lugu. Melihat mereka aku tak tahu bayangan apa dalam imajinasi mereka. Tapi aku mengajak mereka untuk kembali meraba-raba suasana kelas di sekolah mereka. Aku mengajak mereka lekas mencoba sadar bahwa ruang kelas yang selama ini diciptakan di sekolah sering tak mengajak imajinasi dan pikiran keluar kelas. Pelan-pelan mereka bercerita kelas yang mereka dambakan. Mereka pun merasai bahwa memang perlu kritik, dan mengubah hubungan antara guru dan murid dalam ruang kelas yang selama ini menganggap guru sebagai seorang yang paling hebat. Suasana dialog, interaksi, kekeluargaan yang semestinya ada di kelas itulah yang mereka dambakan. Ketika saya bertanya pernahkah ada murid yang dekat dan menganggap gurunya sebagai orangtuanya?. Ada sekitar empat orang anak mengacungkan jari. Anak-anak itu kemudian saya Tanya lagi, ada yang menjenguk gurunya ketika sakit?. Maka tak ada satupun anak yang mengacungkan jari. Guru dan siswa mesti utuh dalam menjalin hubungan. Komunikasi bukan sekadar interaksi dalam kelas, komunikasi dan pedagogic di dalam dan diluar kelas penting dilakukan tak hanya oleh guru, tetapi juga oleh siswa. Saat itulah apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara dengan system sekolah ala Taman yang menjadikan sekolah mirip sebuah keluarga bisa dibenarkan adanya. Sekolah perlu membangun ikatan, membangun rumah, membangun cita-cita bersama. Dari inilah, sekolah seperti sebuah ruang kedua dalam belajar. Di seminar aku berdiskusi panel dengan guru pengelola Pondok Muhammadiyah di Tegal. Namanya Farid, dia adalah seorang lulusan UAD, jurusan matematika, tetapi bidang keahlian yang lain adalah programmer. Saya tak begitu tertarik dengan pengenalan teknologi ke sekolah, bagiku aku belum begitu yakin soal teknologi yang membawa inovasi lebih. Dia lebih banyak berbicara tentang teknologi itu dan pentingnya teknologi itu masuk disekolah. Tak hanya itu, dia juga berbicara layaknya motivator dan biasa penuh dengan tepuk tangan. Ini kali kedua saya menemui orang yang berbicara layaknya motivator. Pertama, Bapak Rohmadi, Seorang dosen dari UNS dan mengajar Budiawan Dwi Santoso (temanku)  dan Farid (panelis saya). Saya bosan, tapi sesekali menyimak apa yang ia sampaikan. Aduh…tepuk tangan riuh dan kata-kata semangat berulangkali diteriakkan keras-keras bersama para remaja lugu. Saya jadi teringat waktu saya keblusuk ikut MLM, persis dengan keadaan itu, saya ikut dibawa tertawa, tepuk tangan, berteriak dan menangis. Di sela-sela seminar itulah saya melanjutkan membaca buku kecil lawas, tapi saya fotokopi menjadi tampak bagus. Buku itu berjudul Membantu anak jang berbakat (1963). Buku yang terbit di tahun enam puluhan ini menarik. Ia tak hanya mendefinisikan anak berbakat ala Indonesia Mencari Bakat (IMB). Paul Witty penulis buku ini memaknai anak berbakat dengan kalimat sederhana : “ Setiap anak itu anak jang berbakat.Masing-masing sanggup melakukan hal2 jang biasanja tak disangka akan dapat dilaksanakan anak jang begitu muda—hal2 jang malahan sulit atau tak mungkin dilakukan oleh kebanjakan orang dewasa”. Saya menemui anak-anak berbakat ini cukup banyak di sekolah saya. Saya mengenali ada dalang cilik, ada penulis “cermis” (cerita misteri), ada penyanyi heboh dan teman-temannya. Saya mengenali mereka, Carissa Dita adalah ketua kelompok anak-anak ini. Mereka duduk di kelas 3B. Aku pernah menjadi wali kelas mereka, anak-anak ini, tak hanya bergerombol, mereka bernyanyi, bermain, dan mengejutkannya di waktu istirahat saya menemani mereka bermain. Di waktu itu, mereka menyodorkan puisi, cerita pendek, dan gambar-gambar karya mereka. Mereka mencipta lagu, tebak-tebakan. Apakah mereka tak dianggap memiliki bakat luar biasa?, tentu kita akan bertanya seperti itu. Paul Witty penulis buku ini mengatakan bahwa kegagalan kita untuk mengenal dan memupuk bakat anak2 kita menjebabkan, maka mereka menjia-njiakan waktunja dengan tugas jang terlampau mudah untuk merangsang mereka. Dalam hal demikian mereka kehilangan minat dan dorongan bekerdja dan masjarakat kehilangan penemuan2 baru , gagasan, pimpinan, dan hasil karja artistic jang mungkin akan diberikan oleh mereka kelak dalam hidupnja, andaikan bakat mereka berkembang sepenuhnja. Kata-kata mencari, setali tiga uang dengan kata-kata pada IMB (Indonesia Mencari Bakat). Saya pikir ada benarnya yang dikatakan penulis. Kita akan kehilangan banyak kesempatan, mungkin dua tiga generasi bila anak yang berbakat tidak ditemukan dan diabaikan oleh sekolah, keluarga dan lingkungan mereka.
            Kesalahan dalam penanganan anak-anak berbakat bisa mematikan dan menjadikan potensi mereka menjadi tak berkembang. Disinilah, peran keluarga, sekolah dan lingkungan akan membentuk dan menjadikan mereka tumbuh dengan bakatnya. Mereka hanya perlu dorongan dan tambahan dukungan agar mereka lebih bisa subur dengan apa yang mereka kuasai. Lebih tepatnya mereka membutuhkan kepercayaan dari kita. Paul Witty mengurai bahwa bakat anak tak hanya dalam hal intelegensi, tetapi juga kesenian dan kerajinan tangan, kepemimpinan, bahkan daja cipta dan imajinasi. Dalam urusan pelajaran, mereka biasanya melampaui diatas rata-rata, perangainya santai, tapi tak mengabaikan apa yang diterangkan guru. Benar adanya, Si Dalang cilik di sekolah saya, Nasywan namanya juga demikian halnya. Ia sering terlihat santai saat pelajaran, tetapi nilainya bagus-bagus, ia tak hanya memiliki kesenangan mendalang, ia juga senang menggambar wayang. Gambarnya bagus-bagus, tapi pernah suatu kali dengan kepolosannya ia mengatakan : “saya tak punya pensil warna”. Aduh….selang beberapa hari, ia mengungkapkan baru saja dibelikan Ayahnya pensil warna karena menunjukkan nilai seratus pada Ayahnya. Bagi saya, ini adalah contoh dari daya kreatifitas anak, yang tak selalu kita perlu menuntun dan mengguruinya. Tetapi dengan segera anak akan tanggap dan mencari cara agar masalahnya selesai. Mungkin salah satu cirri anak berbakat berikutnya adalah tanggap menangani masalahnya sendiri.
            Buku Paul Witty adalah buku penting untuk dijadikan rujukan bagi guru-guru, orangtua dan kita semua agar tak mengesampingkan dan salah urus terhadap anak yang memikiki bakat dan kelebihan dibanding dengan anak-anak yang lainnya. Buku ini diterjemahkan dari Helping The Gifted Child (1952)Illinois USA. Heran, teman saya justru menemukan buku ini di toko buku bekas. Saya merasa bergembira dan sumringah lagi, ini adalah hari minggu yang cerah, di sela-sela saya menulis saya justru kencan dengan mahasiswa yang mau baca buku saya. Ah….

  

No comments:

Post a Comment