Buku Paul Witty adalah buku penting untuk dijadikan rujukan bagi guru-guru, orangtua dan kita semua agar tak mengesampingkan dan salah urus terhadap anak yang memikiki bakat dan kelebihan dibanding dengan anak-anak yang lainnya
Hari minggu,
minggu yang membahagiakan, setidaknya ini yang kurasakan, meski sabtu(25/10/14)
aku lelah minta ampun. Malam minggu jadi kutukan, aku justru minta pijit adikku
di rumah. Di rumah memang, segalanya bertuah, aku merasakan ada energy yang
mengingatkan, menyentuh dan membakar ulang tentang titik dimana kita harus
kembali berjalan. Sabtu itu, aku diminta mengulas tentang anak dan dunia
sekolah. Aku berbincang bersama anak-anak remaja yang bagiku tampak lugu-lugu. Melihat
mereka aku tak tahu bayangan apa dalam imajinasi mereka. Tapi aku mengajak
mereka untuk kembali meraba-raba suasana kelas di sekolah mereka. Aku mengajak
mereka lekas mencoba sadar bahwa ruang kelas yang selama ini diciptakan di
sekolah sering tak mengajak imajinasi dan pikiran keluar kelas. Pelan-pelan
mereka bercerita kelas yang mereka dambakan. Mereka pun merasai bahwa memang
perlu kritik, dan mengubah hubungan antara guru dan murid dalam ruang kelas
yang selama ini menganggap guru sebagai seorang yang paling hebat. Suasana dialog,
interaksi, kekeluargaan yang semestinya ada di kelas itulah yang mereka
dambakan. Ketika saya bertanya pernahkah ada murid yang dekat dan menganggap
gurunya sebagai orangtuanya?. Ada sekitar empat orang anak mengacungkan jari. Anak-anak
itu kemudian saya Tanya lagi, ada yang menjenguk gurunya ketika sakit?. Maka tak
ada satupun anak yang mengacungkan jari. Guru dan siswa mesti utuh dalam
menjalin hubungan. Komunikasi bukan sekadar interaksi dalam kelas, komunikasi
dan pedagogic di dalam dan diluar kelas penting dilakukan tak hanya oleh guru,
tetapi juga oleh siswa. Saat itulah apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara
dengan system sekolah ala Taman yang menjadikan sekolah mirip sebuah keluarga bisa
dibenarkan adanya. Sekolah perlu membangun ikatan, membangun rumah, membangun
cita-cita bersama. Dari inilah, sekolah seperti sebuah ruang kedua dalam
belajar. Di seminar aku berdiskusi panel dengan guru pengelola Pondok
Muhammadiyah di Tegal. Namanya Farid, dia adalah seorang lulusan UAD, jurusan
matematika, tetapi bidang keahlian yang lain adalah programmer. Saya tak begitu
tertarik dengan pengenalan teknologi ke sekolah, bagiku aku belum begitu yakin
soal teknologi yang membawa inovasi lebih. Dia lebih banyak berbicara tentang
teknologi itu dan pentingnya teknologi itu masuk disekolah. Tak hanya itu, dia
juga berbicara layaknya motivator dan biasa penuh dengan tepuk tangan. Ini kali
kedua saya menemui orang yang berbicara layaknya motivator. Pertama, Bapak Rohmadi,
Seorang dosen dari UNS dan mengajar Budiawan Dwi Santoso (temanku) dan Farid (panelis saya). Saya bosan, tapi
sesekali menyimak apa yang ia sampaikan. Aduh…tepuk tangan riuh dan kata-kata
semangat berulangkali diteriakkan keras-keras bersama para remaja lugu. Saya jadi
teringat waktu saya keblusuk ikut
MLM, persis dengan keadaan itu, saya ikut dibawa tertawa, tepuk tangan,
berteriak dan menangis. Di sela-sela seminar itulah saya melanjutkan membaca
buku kecil lawas, tapi saya fotokopi menjadi tampak bagus. Buku itu berjudul Membantu anak jang berbakat (1963). Buku
yang terbit di tahun enam puluhan ini menarik. Ia tak hanya mendefinisikan anak
berbakat ala Indonesia Mencari Bakat (IMB). Paul Witty penulis buku ini
memaknai anak berbakat dengan kalimat sederhana : “ Setiap anak itu anak jang
berbakat.Masing-masing sanggup melakukan hal2 jang biasanja tak disangka akan
dapat dilaksanakan anak jang begitu muda—hal2 jang malahan sulit atau tak mungkin
dilakukan oleh kebanjakan orang dewasa”. Saya menemui anak-anak berbakat ini
cukup banyak di sekolah saya. Saya mengenali ada dalang cilik, ada penulis “cermis”
(cerita misteri), ada penyanyi heboh dan teman-temannya. Saya mengenali mereka,
Carissa Dita adalah ketua kelompok anak-anak ini. Mereka duduk di kelas 3B. Aku
pernah menjadi wali kelas mereka, anak-anak ini, tak hanya bergerombol, mereka
bernyanyi, bermain, dan mengejutkannya di waktu istirahat saya menemani mereka
bermain. Di waktu itu, mereka menyodorkan puisi, cerita pendek, dan
gambar-gambar karya mereka. Mereka mencipta lagu, tebak-tebakan. Apakah mereka
tak dianggap memiliki bakat luar biasa?, tentu kita akan bertanya seperti itu. Paul Witty penulis buku ini mengatakan
bahwa kegagalan kita untuk mengenal dan memupuk bakat anak2 kita menjebabkan,
maka mereka menjia-njiakan waktunja dengan tugas jang terlampau mudah untuk
merangsang mereka. Dalam hal demikian mereka kehilangan minat dan dorongan
bekerdja dan masjarakat kehilangan penemuan2 baru , gagasan, pimpinan, dan
hasil karja artistic jang mungkin akan diberikan oleh mereka kelak dalam
hidupnja, andaikan bakat mereka berkembang sepenuhnja. Kata-kata mencari,
setali tiga uang dengan kata-kata pada IMB (Indonesia Mencari Bakat). Saya pikir
ada benarnya yang dikatakan penulis. Kita akan kehilangan banyak kesempatan,
mungkin dua tiga generasi bila anak yang berbakat tidak ditemukan dan diabaikan
oleh sekolah, keluarga dan lingkungan mereka.
Kesalahan dalam penanganan anak-anak
berbakat bisa mematikan dan menjadikan potensi mereka menjadi tak berkembang. Disinilah,
peran keluarga, sekolah dan lingkungan akan membentuk dan menjadikan mereka
tumbuh dengan bakatnya. Mereka hanya perlu dorongan dan tambahan dukungan agar
mereka lebih bisa subur dengan apa yang mereka kuasai. Lebih tepatnya mereka
membutuhkan kepercayaan dari kita. Paul Witty mengurai bahwa bakat anak tak
hanya dalam hal intelegensi, tetapi juga kesenian dan kerajinan tangan,
kepemimpinan, bahkan daja cipta dan imajinasi. Dalam urusan pelajaran, mereka
biasanya melampaui diatas rata-rata, perangainya santai, tapi tak mengabaikan
apa yang diterangkan guru. Benar adanya, Si Dalang cilik di sekolah saya,
Nasywan namanya juga demikian halnya. Ia sering terlihat santai saat pelajaran,
tetapi nilainya bagus-bagus, ia tak hanya memiliki kesenangan mendalang, ia
juga senang menggambar wayang. Gambarnya bagus-bagus, tapi pernah suatu kali
dengan kepolosannya ia mengatakan : “saya tak punya pensil warna”. Aduh….selang
beberapa hari, ia mengungkapkan baru saja dibelikan Ayahnya pensil warna karena
menunjukkan nilai seratus pada Ayahnya. Bagi saya, ini adalah contoh dari daya
kreatifitas anak, yang tak selalu kita perlu menuntun dan mengguruinya. Tetapi dengan
segera anak akan tanggap dan mencari cara agar masalahnya selesai. Mungkin salah
satu cirri anak berbakat berikutnya adalah tanggap menangani masalahnya
sendiri.
Buku Paul Witty adalah buku penting
untuk dijadikan rujukan bagi guru-guru, orangtua dan kita semua agar tak
mengesampingkan dan salah urus terhadap anak yang memikiki bakat dan kelebihan dibanding
dengan anak-anak yang lainnya. Buku ini diterjemahkan dari Helping The Gifted
Child (1952)Illinois USA. Heran, teman saya justru menemukan buku ini di toko
buku bekas. Saya merasa bergembira dan sumringah lagi, ini adalah hari minggu
yang cerah, di sela-sela saya menulis saya justru kencan dengan mahasiswa yang
mau baca buku saya. Ah….
No comments:
Post a Comment