klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Saturday 18 October 2014

Kahlil Gibran Dan Musik


" Gibran mengajak kita berdendang, dengan music yang dimainkan Tuhan"


Bagiku, alunan nada adalah bayangan jati diri, ia adalah khayalan-khayalan indriawi yang sejati. Gibran seolah mendengar apa yang dibisikkan oleh malaikat, syetan, sampai makhluk yang paling halus sekalipun. Bagi Gibran, music bukan sekadar suara dan not-not, lebih dari itu ia adalah gemericik air, semilir angin, sampai dengan sentuhan embun yang menetes di kulit kita. Gibran, singkatnya menganggap music adalah alam. Simaklah cara ia memaknai music “Ajarkanlah kepada manusia, melihat dengan pendengaran, mendengarkan dengan hati “ (h.115). Dengan cara inilah Gibran mengajak kita memaknai music. Frasa melihat dengan pendengaran, dan mendengarkan dengan hati adalah laku yang dilalui Gibran untuk menemukan apa yang sejati dari music. Gibran menganggap music sebgai nafas kebebasan yang dijadikan perantara oleh kata-kata lisan. Karena itulah, di masa kini kita mendengar mengenai manfaat dan kegunaan dari music. Gibran seolah lebih mengerti ketimbang para dokter. Ia menuliskan bagaimana kelahiran pun dipenuhi dengan music, dipenuhi dengan suara tangis bahagia, dipenuhi dengan rapalan doa dan juga tawa. Dari itulah, music pun menjadi pengantar  sanga bayi memasuki dunia ini. Bila di masa kecil saja kita sudah dipenuhi dengan music, maka di waktu besar pun kita tak bisa tidak untuk keluar dari music. Dari music itulah, kita memasuki dunia yang bisa menghilangkan penat dan kepedihan, kita diajak untuk berdendang dengan tawa dan hanyut kedalam dunia batin yang menenangkan. Bahkan seorang filsuf india pun menuliskan bahwa music mampu membuat keyakinan akan dunia kebadian yang sempurna bertambah kuat (h.78). Gibran menuliskan lirik-lirik yang puitis dalam bukunya Musik, Dahaga, Jiwa (2000). Dari lirik itulah, kita diajak untuk menelusuri dunia batin dan nada-nada yang dimainkan oleh Gibran. Gibran tak membuat syair picisan ala seorang remaja yang jatuh cinta, ia menuliskan kegilaan dan ketakjubannya kepada misteri keindahan. Karena Tuhan yang maha Indah menyukai keindahan,saya seperti diajak untuk memasuki keindahan tersebut melalui music yang dimainkan oleh Gibran dalam buku ini. Gibran menelusuri pagi, mendengar terik, sampai meresapi senja dengan sempurna. Kata-kata itulah, nada sekaligus lirik yang dituliskannya. Manusia adalah kanvas yang dilukis dengan air. Menyimak tulisan ini, saya seperti diajak untuk kembali merenungi, bahwa manusia kelak akan hanyut dan hilang, tak kekal. Gibran pun di bagian tulisan yang lain menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan, dan kelak akan ada dalam lingkaran keabadian bila ia berjalan kepada jalan keselamatan.
Kentara sekali Gibran menautkan music, dengan pelbagai idiom alam. Tak hanya tanah, langit, daun, malam, dan lain sebagainya. Gibran mengajak kita memahami kembali alam yang penuh dengan keindahan dan mengembalikan kita pada kesatuan antara alam dan manusia. “Manusia tak akan mampu memahami cerita yang dikisahkan hujan, saat jatuh tercurah mengguyur daun-daun pepohonan. Ia takkan pernah mengerti kata-kata yang diucapkan oleh hujan, ketika jemarinya yang lembut menyentuh langkan, jendela-jendela rumahnya”. Dari kata-katanya yang impresif, Gibran memang sengaja menyentak, bahwa alam tak bisa kita abaikan dan singkirkan begitu saja. Ia adalah kehadiran, ia menemani dan menyentuhi kita di tiap waktunya. Gibran menghidupkan kembali, dan memang ia tak mencoba mendekatkan alam itu, ia meniupkan ruh dan membuat kita tersentuh dengan mendengarkannya. Meskipun ia kerap menggunakan alam sebagai diksi dalam tulisannya, ia pun mengingatkan bahwa dalam keberlimpahan alam itu pula, kita diajak kembali kepada Nya. Sang pemain music yang sesungguhnya, yang jiwa kita di dalam genggamannya, Gibran mengingatkan bahwa di hari akhir music akan memporak-porandakkan semua yang ada di bumi ini. Saat itulah music adalah penanda bahwa yang fana akan sirna, yang abadi akan terus ada. Pada akhirnya hausnya jiwa ini kepada music, adalah haunya jiwa kita kepada Tuhan. Dari Tuhan pula inderawi kita berfungsi secara baik, indera kita menangkap keindahan dan bergetar karenanya. Jiwa itulah yang akan merasakan takjub, dan tersentuh oleh music yang dimainkan Tuhan melalui alam, melalui suara manusia hingga suara music yang dilantunkan oleh penyanyi. Di saat jiwa kita haus itu pula, kita menemukan diri kita adalah music itu sendiri. Diri kita, di dalam jiwa kita bersemayam music dan berbagai lagu kehidupan. Tetapi, Gibran seolah memberi peringatan awal, bahwa apa yang ada di dalam dunia yang fana ini kelak akan hilang. Maka Gibran menyebut music mampu menghidupkan, mementaskan sejarah kehidupan masa silam.
Gibran memang mengajak kita masuk ke dalam ceruk terdalam jiwa, mengoyaknya dan menyadarkannya. Supaya jiwa kita tahu, bahwa melalui pendengaran yang tanpa inderawi, melalui pendengaran jiwa, kita mampu menangkap pesan dari bisikan angin, pesan dari lirihnya sunyi, maupun lembutnya sentuhan embun. Yang pada akhirnya membawa kita pada satu kesimpulan bahwa “bumi adalah kedai anggur,sedang waktu adalah pemiliknya, takkan ada yang merasa senang kecuali pemabuk mereka, kebenaran adalah milik cita cita dan jiwa manusia. Jika memiliki kekuatan, maka akan menjadi pembimbing. Tetapi jika tidak berdaya, maka perubahan akan terhenti”. Gibran mengajak kita berdendang, dengan music yang dimainkan Tuhan.







No comments:

Post a Comment