" Gibran mengajak kita berdendang, dengan music yang dimainkan Tuhan"
Bagiku, alunan nada adalah bayangan jati diri, ia adalah
khayalan-khayalan indriawi yang sejati. Gibran seolah mendengar
apa yang dibisikkan oleh malaikat, syetan, sampai makhluk yang paling halus
sekalipun. Bagi Gibran, music bukan sekadar suara dan not-not, lebih dari itu
ia adalah gemericik air, semilir angin, sampai dengan sentuhan embun yang menetes
di kulit kita. Gibran, singkatnya menganggap music adalah alam. Simaklah cara
ia memaknai music “Ajarkanlah kepada manusia, melihat dengan pendengaran,
mendengarkan dengan hati “ (h.115). Dengan cara inilah Gibran mengajak kita
memaknai music. Frasa melihat dengan pendengaran, dan mendengarkan dengan hati
adalah laku yang dilalui Gibran untuk menemukan apa yang sejati dari music.
Gibran menganggap music sebgai nafas kebebasan yang dijadikan perantara oleh
kata-kata lisan. Karena itulah, di masa kini kita mendengar mengenai manfaat
dan kegunaan dari music. Gibran seolah lebih mengerti ketimbang para dokter. Ia
menuliskan bagaimana kelahiran pun dipenuhi dengan music, dipenuhi dengan suara
tangis bahagia, dipenuhi dengan rapalan doa dan juga tawa. Dari itulah, music
pun menjadi pengantar sanga bayi memasuki dunia ini. Bila di masa kecil
saja kita sudah dipenuhi dengan music, maka di waktu besar pun kita tak bisa
tidak untuk keluar dari music. Dari music itulah, kita memasuki dunia yang bisa
menghilangkan penat dan kepedihan, kita diajak untuk berdendang dengan tawa dan
hanyut kedalam dunia batin yang menenangkan. Bahkan seorang filsuf india pun
menuliskan bahwa music mampu membuat keyakinan akan dunia kebadian yang
sempurna bertambah kuat (h.78). Gibran menuliskan lirik-lirik yang puitis dalam
bukunya Musik, Dahaga, Jiwa (2000). Dari lirik itulah, kita
diajak untuk menelusuri dunia batin dan nada-nada yang dimainkan oleh Gibran.
Gibran tak membuat syair picisan ala seorang remaja yang jatuh cinta, ia
menuliskan kegilaan dan ketakjubannya kepada misteri keindahan. Karena Tuhan
yang maha Indah menyukai keindahan,saya seperti diajak untuk memasuki keindahan
tersebut melalui music yang dimainkan oleh Gibran dalam buku ini. Gibran
menelusuri pagi, mendengar terik, sampai meresapi senja dengan sempurna.
Kata-kata itulah, nada sekaligus lirik yang dituliskannya. Manusia adalah
kanvas yang dilukis dengan air. Menyimak tulisan ini, saya seperti diajak untuk
kembali merenungi, bahwa manusia kelak akan hanyut dan hilang, tak kekal.
Gibran pun di bagian tulisan yang lain menjelaskan bahwa manusia itu
diciptakan, dan kelak akan ada dalam lingkaran keabadian bila ia berjalan
kepada jalan keselamatan.
Kentara sekali Gibran menautkan music, dengan pelbagai
idiom alam. Tak hanya tanah, langit, daun, malam, dan lain sebagainya. Gibran
mengajak kita memahami kembali alam yang penuh dengan keindahan dan
mengembalikan kita pada kesatuan antara alam dan manusia. “Manusia tak akan
mampu memahami cerita yang dikisahkan hujan, saat jatuh tercurah mengguyur
daun-daun pepohonan. Ia takkan pernah mengerti kata-kata yang diucapkan oleh
hujan, ketika jemarinya yang lembut menyentuh langkan, jendela-jendela
rumahnya”. Dari kata-katanya yang impresif, Gibran memang sengaja menyentak,
bahwa alam tak bisa kita abaikan dan singkirkan begitu saja. Ia adalah
kehadiran, ia menemani dan menyentuhi kita di tiap waktunya. Gibran
menghidupkan kembali, dan memang ia tak mencoba mendekatkan alam itu, ia
meniupkan ruh dan membuat kita tersentuh dengan mendengarkannya. Meskipun ia
kerap menggunakan alam sebagai diksi dalam tulisannya, ia pun mengingatkan
bahwa dalam keberlimpahan alam itu pula, kita diajak kembali kepada Nya. Sang
pemain music yang sesungguhnya, yang jiwa kita di dalam genggamannya, Gibran
mengingatkan bahwa di hari akhir music akan memporak-porandakkan semua yang ada
di bumi ini. Saat itulah music adalah penanda bahwa yang fana akan sirna, yang
abadi akan terus ada. Pada akhirnya hausnya jiwa ini kepada music, adalah
haunya jiwa kita kepada Tuhan. Dari Tuhan pula inderawi kita berfungsi secara
baik, indera kita menangkap keindahan dan bergetar karenanya. Jiwa itulah yang
akan merasakan takjub, dan tersentuh oleh music yang dimainkan Tuhan melalui
alam, melalui suara manusia hingga suara music yang dilantunkan oleh penyanyi.
Di saat jiwa kita haus itu pula, kita menemukan diri kita adalah music itu
sendiri. Diri kita, di dalam jiwa kita bersemayam music dan berbagai lagu kehidupan.
Tetapi, Gibran seolah memberi peringatan awal, bahwa apa yang ada di dalam
dunia yang fana ini kelak akan hilang. Maka Gibran menyebut music mampu
menghidupkan, mementaskan sejarah kehidupan masa silam.
Gibran memang mengajak kita masuk ke dalam ceruk terdalam
jiwa, mengoyaknya dan menyadarkannya. Supaya jiwa kita tahu, bahwa melalui
pendengaran yang tanpa inderawi, melalui pendengaran jiwa, kita mampu menangkap
pesan dari bisikan angin, pesan dari lirihnya sunyi, maupun lembutnya sentuhan
embun. Yang pada akhirnya membawa kita pada satu kesimpulan bahwa “bumi adalah
kedai anggur,sedang waktu adalah pemiliknya, takkan ada yang merasa senang
kecuali pemabuk mereka, kebenaran adalah milik cita cita dan jiwa manusia. Jika
memiliki kekuatan, maka akan menjadi pembimbing. Tetapi jika tidak berdaya,
maka perubahan akan terhenti”. Gibran mengajak kita berdendang, dengan music
yang dimainkan Tuhan.
No comments:
Post a Comment