Kisah hadji tetap memikat, bukan
hanya karena ia adalah kesatuan pengharapan, melainkan ia adalah kesatuan laku
moral, spiritual, bahkan material menyatu disana. Cita-cita untuk bertemu,
berdialog dengan Tuhan di depan ka’bah menghilangkan keinginan kita yang berbau
duniawi lainnya. Dari kisah Sikoet kita diajak berhadji dengan gaya keluguan
dan ketakjuban orang Indonesia yang baru melakoni Hadji
Al kisah, ada seorang wartawan Anggota Redaksi
Adil-Solo melakukan Haji. Ia melakukan haji bersama rombongan pemerintah
Indonesia pada waktu itu. Sebagai seorang muslim, berhaji merupakan cita-cita
dan harapan. Perasaan ingin menumpahkan hasrat dan semua yang ada di dunia ini
di tanah suci. Seolah dunia ini hanyalah tumpangan, fana dan tak abadi. Orang
sering mengatakan haji itu panggilan. Ketika kita dipanggil seseorang saja,
kita akan merasa senang, dan merasai bahwa diri kita ada. Maka lebih dari itu,
ketika yang memanggil Alloh, Tuhan Semesta alam. Begitupun yang dialami Sikoet, Sikoet mengalami ketakjuban, tertegun
dan mengalami berbagai pengalaman spiritual lainnya. Sikoet mengalami kepuasan
karena apa yang menjadi harapan hampir tiap orang muslim didunia sudah ia alami
terlebih dahulu. Saya jadi merasakan bagaimana Sikoet kemudian di akhir buku
ini berdo’a untuk pembaca : “ja Tuhan mudah-mudahan Tuhan member kesempatan
kepada segenap ummat islam jang berniat sungguh sungguh akan menjempurnakan
rukun Islam kelima sebagaimana Tuhan sudah member kesempatan kepada …Sikoet.
Amien”. Apa yang dialami Sikoet menjadi berbeda, Sikoer patut dicatat sebagai
pengisaha haji yang santun dan humoris. Sikoet menampakkan ketakjubannya yang
memasuki Jeddah pertama kali yang mengandaikan Jeddah mirip kandang burung. Ia pun
menikmati padang pasir yang terlampau luas. Ia pun merasa terheran-heran
tatkala ia melihat jalan yang ada di Mekkah yang luasnya berpuluh-puluh kali
dari Jalan Jogja-Solo. Saya bertanya pada bapak kos saya, bapak kos saya pun
membenarkan. Kalau malam hari, jalan-jalan itu terasa sepi sekali, hanya ramai
kalau musim haji saja. Kita pun bisa menyimak perasaan-perasaan Sikoet, waktu ia melempar jumrah. “Pekerjaan melempar batu
ini termasuk wadjib untuk ibadah hadji. Perintah wadjib ini sesungguhnja berat.
Bagi kami berat jang kami rasa bukan berat tenaga menunaikannja, tetapi “berat
perasaan” sebagai seorang jang berfikir. Disini kami dapat peladjaran agama
jang sebesar-besarnja, ialah menundukkan kekuatan pantja indera kita,agar taat
kepada perintah Tuhan, tidak dengan tawar menawar”(h.88). Dan imajinasi dan
angan-angan Sikoet pun terasa lugu, ia mengibaratkan di Mekkah sana, pasar
ibarat Malioboro Arabia, Sikoet pun menggambarkan bagaimana peristiwa di
kemah-kemah disana mirip dengan ‘pameran kebangsaan’ karena pelbagai bendera di
seluruh dunia berada disana.
Ziarah
Sikoet
juga mengalami penziarahan ruhani. Ia tak hanya berziarah ke makam para sahabat
nabi, ia merasai bahwa ia belum seberapa pengurbanan yang ia alami di waktu
haji. Tak hanya mandi keringat, tetapi uang yang dibawa Sikoet pun tak begitu
banyak. Namun ia tak merasai kekhawatiran karena banyaknya teman disana yang
cukup banyak uang dan juga bekal makanan. Ia merasai bahwa dunia di Mekah
adalah menapaki dunia dan peradaban islam di masa lampau. Terlihat bahwa Sikoet
juga merasai apa yang ia alami di daerah disana baru pertamakalinya. Peristiwa dan
rukun-rukun hadji dikisahkan dengan indah, lugas dan terus terang. Sikoet seperti
jadi manusia lugu, saya tak merasai ia wartawan yang mewartakan, justru ia
seperti bertutur dengan gayanya yang khas. Sikoet sudah berhasil membawakan
kisah Hadji menjadi menarik. Cerita Sikoet barangkali juga mirip dengan cerita
para hadji yang sudah pulang dari Mekkah. Sikoet pun mengisahkan betapa ia
mengimajinasikan orang Jawa kalau mau melempar jumrah bawa bom karena tidak
puas marah terhadap syaitan yang disimbolkan dalam patung disana. Menyimak kisah Sikoet dalam buku ‘Rahasia
Padang Pasir Terbuka’(1951) kita diajak untuk menyimak kisah hadji dengan model
penceritaan lebih enak dan renyah, saya merasai ini ketika membandingkan
membaca kisah yang ditulis Danarto. Kisah
hadji tetap memikat, bukan hanya karena ia adalah kesatuan pengharapan,
melainkan ia adalah kesatuan laku moral, spiritual, bahkan material menyatu
disana. Cita-cita untuk bertemu, berdialog dengan Tuhan di depan ka’bah
menghilangkan keinginan kita yang berbau duniawi lainnya. Dari kisah Sikoet
kita diajak berhadji dengan gaya keluguan dan ketakjuban orang Indonesia yang
baru melakoni Hadji.
No comments:
Post a Comment