klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 19 October 2014

Berhaji Bersama Sikoet


      

    Kisah hadji tetap memikat, bukan hanya karena ia adalah kesatuan pengharapan, melainkan ia adalah kesatuan laku moral, spiritual, bahkan material menyatu disana. Cita-cita untuk bertemu, berdialog dengan Tuhan di depan ka’bah menghilangkan keinginan kita yang berbau duniawi lainnya. Dari kisah Sikoet kita diajak berhadji dengan gaya keluguan dan ketakjuban orang Indonesia yang baru melakoni Hadji


Al kisah, ada seorang wartawan Anggota Redaksi Adil-Solo melakukan Haji. Ia melakukan haji bersama rombongan pemerintah Indonesia pada waktu itu. Sebagai seorang muslim, berhaji merupakan cita-cita dan harapan. Perasaan ingin menumpahkan hasrat dan semua yang ada di dunia ini di tanah suci. Seolah dunia ini hanyalah tumpangan, fana dan tak abadi. Orang sering mengatakan haji itu panggilan. Ketika kita dipanggil seseorang saja, kita akan merasa senang, dan merasai bahwa diri kita ada. Maka lebih dari itu, ketika yang memanggil Alloh, Tuhan Semesta alam. Begitupun yang dialami  Sikoet, Sikoet mengalami ketakjuban, tertegun dan mengalami berbagai pengalaman spiritual lainnya. Sikoet mengalami kepuasan karena apa yang menjadi harapan hampir tiap orang muslim didunia sudah ia alami terlebih dahulu. Saya jadi merasakan bagaimana Sikoet kemudian di akhir buku ini berdo’a untuk pembaca : “ja Tuhan mudah-mudahan Tuhan member kesempatan kepada segenap ummat islam jang berniat sungguh sungguh akan menjempurnakan rukun Islam kelima sebagaimana Tuhan sudah member kesempatan kepada …Sikoet. Amien”. Apa yang dialami Sikoet menjadi berbeda, Sikoer patut dicatat sebagai pengisaha haji yang santun dan humoris. Sikoet menampakkan ketakjubannya yang memasuki Jeddah pertama kali yang mengandaikan Jeddah mirip kandang burung. Ia pun menikmati padang pasir yang terlampau luas. Ia pun merasa terheran-heran tatkala ia melihat jalan yang ada di Mekkah yang luasnya berpuluh-puluh kali dari Jalan Jogja-Solo. Saya bertanya pada bapak kos saya, bapak kos saya pun membenarkan. Kalau malam hari, jalan-jalan itu terasa sepi sekali, hanya ramai kalau musim haji saja. Kita pun bisa menyimak perasaan-perasaan Sikoet, waktu  ia melempar jumrah. “Pekerjaan melempar batu ini termasuk wadjib untuk ibadah hadji. Perintah wadjib ini sesungguhnja berat. Bagi kami berat jang kami rasa bukan berat tenaga menunaikannja, tetapi “berat perasaan” sebagai seorang jang berfikir. Disini kami dapat peladjaran agama jang sebesar-besarnja, ialah menundukkan kekuatan pantja indera kita,agar taat kepada perintah Tuhan, tidak dengan tawar menawar”(h.88). Dan imajinasi dan angan-angan Sikoet pun terasa lugu, ia mengibaratkan di Mekkah sana, pasar ibarat Malioboro Arabia, Sikoet pun menggambarkan bagaimana peristiwa di kemah-kemah disana mirip dengan ‘pameran kebangsaan’ karena pelbagai bendera di seluruh dunia berada disana.
Ziarah
            Sikoet juga mengalami penziarahan ruhani. Ia tak hanya berziarah ke makam para sahabat nabi, ia merasai bahwa ia belum seberapa pengurbanan yang ia alami di waktu haji. Tak hanya mandi keringat, tetapi uang yang dibawa Sikoet pun tak begitu banyak. Namun ia tak merasai kekhawatiran karena banyaknya teman disana yang cukup banyak uang dan juga bekal makanan. Ia merasai bahwa dunia di Mekah adalah menapaki dunia dan peradaban islam di masa lampau. Terlihat bahwa Sikoet juga merasai apa yang ia alami di daerah disana baru pertamakalinya. Peristiwa dan rukun-rukun hadji dikisahkan dengan indah, lugas dan terus terang. Sikoet seperti jadi manusia lugu, saya tak merasai ia wartawan yang mewartakan, justru ia seperti bertutur dengan gayanya yang khas. Sikoet sudah berhasil membawakan kisah Hadji menjadi menarik. Cerita Sikoet barangkali juga mirip dengan cerita para hadji yang sudah pulang dari Mekkah. Sikoet pun mengisahkan betapa ia mengimajinasikan orang Jawa kalau mau melempar jumrah bawa bom karena tidak puas marah terhadap syaitan yang disimbolkan dalam patung disana. Menyimak kisah Sikoet dalam buku ‘Rahasia Padang Pasir Terbuka’(1951) kita diajak untuk menyimak kisah hadji dengan model penceritaan lebih enak dan renyah, saya merasai ini ketika membandingkan membaca kisah yang ditulis Danarto. Kisah hadji tetap memikat, bukan hanya karena ia adalah kesatuan pengharapan, melainkan ia adalah kesatuan laku moral, spiritual, bahkan material menyatu disana. Cita-cita untuk bertemu, berdialog dengan Tuhan di depan ka’bah menghilangkan keinginan kita yang berbau duniawi lainnya. Dari kisah Sikoet kita diajak berhadji dengan gaya keluguan dan ketakjuban orang Indonesia yang baru melakoni Hadji.




No comments:

Post a Comment