klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Wednesday 21 January 2015

Ilmuwan Islam Yang Asing




Membaca biografi Al Biruni saya jadi mengagumi betapa ia tak pernah lelah dalam mengurusi dan mendalami ilmu pengetahuan, disini saya justru tak menemui kisah Al Biruni menikah dan memiliki keluarga, mungkin benar bahwa ilmuwan islam dimasa dahulu disibukkan oleh pengetahuan sehingga ia tak sempat atau lupa mengurusi urusan menikah. Aduh…, kalau untuk ini, saya pikir saya tak mesti mencontoh Al Biruni. Hmm……


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

          Membaca buku banyak tak selalu membuat kita menjadi tenang dan menambah kepercayaan diri. Setidaknya itu yang aku rasakan tatkala purna membaca biografi Al Biruni ,Pakar Geografi dan Astronomi (1992). Buku terbit sebelum reformasi, bacaan-bacaan seperti ini memang yang aku cari, yang kini kuanggap langka. Buku diterbitkan oleh CV Pustaka Mantiq  diterjemahkan oleh LPPMI Yogyakarta. Buku dikarang oleh Sulaiman Fayyadh , buku ini aslinya diterbitkan oleh Markaz Al-Ahran Kairo Mesir. Jarak yang jauh, tetapi tidak menghalangiku untuk membaca dan mengerti ilmuwan islam satu ini. Aku membaca ini sebagai sebuah ikhtiarku memberantas kebodohanku dan kekurangtahuanku akan ilmuwan islam. Aku jadi tersentuh, dan diajak masyuk ke dalam buku ini oleh pengarang. Buku ini kudapat waktu siang tadi (rabu, 21/1/2015) ketika pergi ke Gladag. Awalnya aku pinjam uang dari teman guruku, 50 ribu, malah dikasih 100 ribu. Untung, setelah buat bayar utang ke pedagang sana, aku memilah dan memilih buku. Aku dapat buku serial psikologi popular penerbit Arcan. Penerbit Arcan kukenali sebagai penerbit bermutu setidaknya dari beberapa buku yang aku baca. Aku membeli buku tentang anak juga terbitan gramedia tahun 90-an. Dan aku membeli buku biografi Al Biruni ini. Aku membacanya sepulang dari Gladag. Mata terantuk-antuk, mungkin lelah. Tapi apa boleh buat, buku masih di tangan, dan aku habis membacanya. Aku mendapati riwayat Al Biruni semula bernama Abu Raihan. Ia adalah ilmuwan islam abad 10 M. ia lahir pada hari Sabtu, bulan September tahun 963 Masehi (h.16.).
          Al Biruni kecil alias Abu Raihan adalah seorang yang menyukai bunga, tanaman dan tetumbuhan. Kesukaannya pada tumbuhan inilah kelak ikut mempengaruhi pada masa besarnya yang tumbuh menjadi ahli botani. Al-Biruni di usia belia, yakni sebelas tahun ia diajak belajar oleh ahli botani dari Yunani. Ia diajak belajar bahasa Yunani dan Suryani. Di usai belia ia sudah menguasai empat bahasa. Kemudian di usia empat belas tahun ia diserahkan ke guru Abu Nashr Manshur Ibnu Ali Bin Iraq, ia adalah keturunan dari Khawarizmi yang berkuasa di kota Kats. Di tempat sang putera raja yang ilmuwan inilah, Abu Raihan kemudian menghabiskan waktunya untuk mempelajari berbagai ilmu. Diantaranya adalah ilmu matematika dan falaq. Gurunya mengatakan kepadanya : “Kini, kau telah mahir dan tahu jalannya untuk menjadi ahli ilmu falaq, wahai Birunni ! Kemahiranmu dalam bidang falak telah sama dengan kecakapanmu dalam bidang botani. Nah, manakah yang akan engkau pilih sebagai spesialisasi?” Tanya pangeran dengan penuh bangga. Ia menjawab : “Tuanku, ilmu ibaratnya laut yang tak bertepi. Dengan segenap jiwa dan pikiran, aku ingin terus mempelajari berbagai ilmu yang telah difahami orang lain” (h.19). Setelah dari Abu Nashr, ia kemudian belajar tentang filsafat dan teori klasik dari Abdush Shamad Al Hakim.
          Al Biruni semula adalah seorang yang tak tertarik dengan politik. Ia ingin menyibukkan diri dengan percobaan-percobaan. Dari Gurunya Al Khujandi , Al Biruni menuliskan pengamatannya dalam buku yang berjudul Hikayatul Alati Al Musammat Bisuduusil Al-Fakhri (Kisah Alat Persegi Enam Al-Fakhri). Buku ini menjelaskan secara rinci alat teropong bintang yang sudah jadi. Al Biruni masih saja bertekun mengurusi ilmu ketimbang soal politik, meski daerah yang ia tempati (Kats) sedang kisruh politik. Ia kemudian terpaksa pindah ke Bukhara. Di kota ini ia mengungkapkan kepada ilmuwan tentang kecepatan cahaya melebihi kecepatan suara. Ia berhasil membuat asas atau pedoman untuk menimbang unsure-unsur logam dalam daftar mandelaf   di jaman modern. Semua yang ia alami dan selidiki itu kemudian ia tuangkan dalam bukunya Ilmu Pengetahuan Umum Tentang Permata dan buku Antara Bijih Besi dan Permata dalam Berat Jenis. Buku itu diterbitkan dan kemudian menjadi penghuni perpustakaan RajaAl-Manshur. Ketika di As samaniah terjadi pertempuran yang hebat, terpaksa Al Biruni pindah ke Negara Jurjani. Di negeri ini, ia menghadiahkan raja Syamsul Ma’ali  sebuah buku berjudul “ Peninggalan-Peninggalan dari Bangsa yang telah Sirna”. Di Jurjani ini ia bertemu dengan dua gurunya yakni Abdush Shamad, dan Ibnu Maskawaih ahli matematika.
          Al Biruni pun mulai tak dapat melepaskan pada persoala politik. Ia kemudian menjadi penasehat Raja. Di wilayah Jurjani ia menghasilkan buku Pengetahuan Awal tentang Astronomi dan Ilmu Menentukan Batas dan Jarak. Ia juga menerbitkan buku Teropong Bintang dan Hukum Ilmu Pengetahuan Yang ditetapkan oleh Al-Mas’udi. Ia telah banyak berubah yang semula seorang pencari kayu bakar kini telah berubah menjadi seorang ilmuwan yang diperhitungkan dunia. Ketika ia diminta Sultan Mahmud ke India ia pun menghasilkan buku “Tahqiq tentang India, karya-karya yang rasional dan Tak Rasional”. Buku itu kemudian diberi judul sejarah India oleh orang barat. Al Biruni sebagai seorang ahli matematika ia menciptakan metode matematika yang baru untuk menentukan empat arah mata angin. Ia menemukan bahwa noktah jarak matahari dari bumi bergerak satu derajad dalam 250 tahun. Jauh sebelum ilmuwan barat mengatakan bahwa bumi itu bulat, AL Biruni sudah mengemukakan hal itu. George Sarton, Carlo Nallino dan Mayerhov, Arter Ibhem Bob, dan Schaht menilai Al-Biruni sebagai berikut : “Abad XI Masehi merupakan abad Al-Biruni. Ia adalah tokoh dan Ilmuwan Islam terbesar.Astronom yang paling cerdas dan paling luas ilmunya.Namanya adalah yang paling menonjol dari sederetan ilmuwan besar yang berwawasan luas, yang merupakan cirri khas mereka pada jaman keemasan Islam. Dalam monument untuk mengenang ilmuwan terbesar di dunia, Al Biruni harus ditempatkan pada posisi yang terhormat. Ia termasuk salah seorang pemikir yang paling menonjol sepanjang masa.  Kejeniusan Al-Biruni tak obahnya otak-otak besar, berciri universal, tidak terikat oleh waktu.Tanpa Al-Biruni tidak mungkin penulisan sejarah, matematika, astronomi, geografi, ilmu-ilmu humaniora atau perbandingan agama bisa lengkap. Sebab, apa yang ditulis oleh Al Biruni sejakl 1000 tahun yang silam mendahului sejumlah metode dan aksiomatika yang dikatakan modern”.
          Membaca biografi Al Biruni saya jadi mengagumi betapa ia tak pernah lelah dalam mengurusi dan mendalami ilmu pengetahuan, disini saya justru tak menemui kisah Al Biruni menikah dan memiliki keluarga, mungkin benar bahwa ilmuwan islam dimasa dahulu disibukkan oleh pengetahuan sehingga ia tak sempat atau lupa mengurusi urusan menikah. Aduh…, kalau untuk ini, saya pikir saya tak mesti mencontoh Al Biruni. Hmm……


Solo, Aurora 21 januari 2014
18.02 WIB

 

No comments:

Post a Comment