Membaca
biografi Al Biruni saya jadi mengagumi betapa ia tak pernah lelah dalam
mengurusi dan mendalami ilmu pengetahuan, disini saya justru tak menemui kisah
Al Biruni menikah dan memiliki keluarga, mungkin benar bahwa ilmuwan islam
dimasa dahulu disibukkan oleh pengetahuan sehingga ia tak sempat atau lupa
mengurusi urusan menikah. Aduh…, kalau untuk ini, saya pikir saya tak mesti
mencontoh Al Biruni. Hmm……
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Membaca buku banyak tak selalu membuat
kita menjadi tenang dan menambah kepercayaan diri. Setidaknya itu yang aku
rasakan tatkala purna membaca biografi Al
Biruni ,Pakar Geografi dan Astronomi (1992). Buku terbit sebelum reformasi,
bacaan-bacaan seperti ini memang yang aku cari, yang kini kuanggap langka. Buku
diterbitkan oleh CV Pustaka Mantiq
diterjemahkan oleh LPPMI Yogyakarta. Buku dikarang oleh Sulaiman Fayyadh
, buku ini aslinya diterbitkan oleh Markaz Al-Ahran Kairo Mesir. Jarak yang
jauh, tetapi tidak menghalangiku untuk membaca dan mengerti ilmuwan islam satu
ini. Aku membaca ini sebagai sebuah ikhtiarku memberantas kebodohanku dan
kekurangtahuanku akan ilmuwan islam. Aku jadi tersentuh, dan diajak masyuk ke dalam
buku ini oleh pengarang. Buku ini kudapat waktu siang tadi (rabu, 21/1/2015)
ketika pergi ke Gladag. Awalnya aku pinjam uang dari teman guruku, 50 ribu,
malah dikasih 100 ribu. Untung, setelah buat bayar utang ke pedagang sana, aku
memilah dan memilih buku. Aku dapat buku serial psikologi popular penerbit
Arcan. Penerbit Arcan kukenali sebagai penerbit bermutu setidaknya dari
beberapa buku yang aku baca. Aku membeli buku tentang anak juga terbitan
gramedia tahun 90-an. Dan aku membeli buku biografi Al Biruni ini. Aku membacanya
sepulang dari Gladag. Mata terantuk-antuk, mungkin lelah. Tapi apa boleh buat,
buku masih di tangan, dan aku habis membacanya. Aku mendapati riwayat Al Biruni
semula bernama Abu Raihan. Ia adalah ilmuwan islam abad 10 M. ia lahir pada
hari Sabtu, bulan September tahun 963 Masehi (h.16.).
Al Biruni kecil alias Abu Raihan
adalah seorang yang menyukai bunga, tanaman dan tetumbuhan. Kesukaannya pada
tumbuhan inilah kelak ikut mempengaruhi pada masa besarnya yang tumbuh menjadi
ahli botani. Al-Biruni di usia belia, yakni sebelas tahun ia diajak belajar
oleh ahli botani dari Yunani. Ia diajak belajar bahasa Yunani dan Suryani. Di usai
belia ia sudah menguasai empat bahasa. Kemudian di usia empat belas tahun ia diserahkan
ke guru Abu Nashr Manshur Ibnu Ali Bin Iraq, ia adalah keturunan dari
Khawarizmi yang berkuasa di kota Kats. Di tempat sang putera raja yang ilmuwan
inilah, Abu Raihan kemudian menghabiskan waktunya untuk mempelajari berbagai
ilmu. Diantaranya adalah ilmu matematika dan falaq. Gurunya mengatakan
kepadanya : “Kini, kau telah mahir dan tahu jalannya untuk menjadi ahli ilmu
falaq, wahai Birunni ! Kemahiranmu dalam bidang falak telah sama dengan
kecakapanmu dalam bidang botani. Nah, manakah yang akan engkau pilih sebagai
spesialisasi?” Tanya pangeran dengan penuh bangga. Ia menjawab : “Tuanku, ilmu
ibaratnya laut yang tak bertepi. Dengan segenap jiwa dan pikiran, aku ingin
terus mempelajari berbagai ilmu yang telah difahami orang lain” (h.19). Setelah
dari Abu Nashr, ia kemudian belajar tentang filsafat dan teori klasik dari
Abdush Shamad Al Hakim.
Al Biruni semula adalah seorang yang
tak tertarik dengan politik. Ia ingin menyibukkan diri dengan percobaan-percobaan.
Dari Gurunya Al Khujandi , Al Biruni menuliskan pengamatannya dalam buku yang
berjudul Hikayatul Alati Al Musammat Bisuduusil Al-Fakhri (Kisah Alat Persegi
Enam Al-Fakhri). Buku ini menjelaskan secara rinci alat teropong bintang yang
sudah jadi. Al Biruni masih saja bertekun mengurusi ilmu ketimbang soal
politik, meski daerah yang ia tempati (Kats) sedang kisruh politik. Ia kemudian
terpaksa pindah ke Bukhara. Di kota ini ia mengungkapkan kepada ilmuwan tentang
kecepatan cahaya melebihi kecepatan suara. Ia berhasil membuat asas atau
pedoman untuk menimbang unsure-unsur logam dalam daftar mandelaf di jaman modern. Semua yang ia alami dan
selidiki itu kemudian ia tuangkan dalam bukunya Ilmu Pengetahuan Umum Tentang Permata dan buku Antara Bijih Besi dan Permata dalam Berat Jenis. Buku itu
diterbitkan dan kemudian menjadi penghuni perpustakaan RajaAl-Manshur. Ketika di
As samaniah terjadi pertempuran yang hebat, terpaksa Al Biruni pindah ke Negara
Jurjani. Di negeri ini, ia menghadiahkan raja Syamsul Ma’ali sebuah buku berjudul “ Peninggalan-Peninggalan dari Bangsa yang telah Sirna”. Di Jurjani
ini ia bertemu dengan dua gurunya yakni Abdush Shamad, dan Ibnu Maskawaih ahli
matematika.
Al Biruni pun mulai tak dapat
melepaskan pada persoala politik. Ia kemudian menjadi penasehat Raja. Di wilayah
Jurjani ia menghasilkan buku Pengetahuan Awal tentang Astronomi dan Ilmu
Menentukan Batas dan Jarak. Ia juga menerbitkan buku Teropong Bintang dan Hukum
Ilmu Pengetahuan Yang ditetapkan oleh Al-Mas’udi. Ia telah banyak berubah yang
semula seorang pencari kayu bakar kini telah berubah menjadi seorang ilmuwan
yang diperhitungkan dunia. Ketika ia diminta Sultan Mahmud ke India ia pun
menghasilkan buku “Tahqiq tentang India,
karya-karya yang rasional dan Tak Rasional”. Buku itu kemudian diberi judul
sejarah India oleh orang barat. Al Biruni sebagai seorang ahli matematika ia
menciptakan metode matematika yang baru untuk menentukan empat arah mata angin.
Ia menemukan bahwa noktah jarak matahari dari bumi bergerak satu derajad dalam
250 tahun. Jauh sebelum ilmuwan barat mengatakan bahwa bumi itu bulat, AL
Biruni sudah mengemukakan hal itu. George Sarton, Carlo Nallino dan Mayerhov,
Arter Ibhem Bob, dan Schaht menilai Al-Biruni sebagai berikut : “Abad XI Masehi merupakan abad Al-Biruni. Ia
adalah tokoh dan Ilmuwan Islam terbesar.Astronom yang paling cerdas dan paling
luas ilmunya.Namanya adalah yang paling menonjol dari sederetan ilmuwan besar
yang berwawasan luas, yang merupakan cirri khas mereka pada jaman keemasan
Islam. Dalam monument untuk mengenang ilmuwan terbesar di dunia, Al Biruni
harus ditempatkan pada posisi yang terhormat. Ia termasuk salah seorang pemikir
yang paling menonjol sepanjang masa.
Kejeniusan Al-Biruni tak obahnya otak-otak besar, berciri universal,
tidak terikat oleh waktu.Tanpa Al-Biruni tidak mungkin penulisan sejarah,
matematika, astronomi, geografi, ilmu-ilmu humaniora atau perbandingan agama bisa
lengkap. Sebab, apa yang ditulis oleh Al Biruni sejakl 1000 tahun yang silam
mendahului sejumlah metode dan aksiomatika yang dikatakan modern”.
Membaca biografi Al Biruni saya jadi mengagumi betapa ia
tak pernah lelah dalam mengurusi dan mendalami ilmu pengetahuan, disini saya
justru tak menemui kisah Al Biruni menikah dan memiliki keluarga, mungkin benar
bahwa ilmuwan islam dimasa dahulu disibukkan oleh pengetahuan sehingga ia tak
sempat atau lupa mengurusi urusan menikah. Aduh…, kalau untuk ini, saya pikir
saya tak mesti mencontoh Al Biruni. Hmm……
Solo, Aurora 21 januari 2014
18.02 WIB
No comments:
Post a Comment