Oleh Arif
Saifudin Yudistira*)
Siang tadi aku ke Gladag, aku senang
bermodal minjam, aku dapat buku bagus. Selain dapat buku Bahasa Rusia, aku dapat serial petualangan Karl May. Aku juga dapat
buku bagus berjudul Presiden Abraham
Lincoln(1953). Sepulang dari Gladag, aku istirahat sejenak di warung pak
Amad, bapak kosku dulu. Setelah menjelang asar, aku ke Gramedia, ke Balai
Soedjatmoko. Di Balai Soedjatmoko ada obrolan mengenai Jurnalisme Kuliner. Diskusi
dipandu wartawan Solo pos dan Wartawan Tempo. Obrolan seputar kuliner kemudian
mengerucut pada kisah bagaimana pengalaman para awak media ini meliput kuliner.
Ternyata, meliput kuliner menurut mereka tidak hanya susah-susah gampang,
tetapi lebih dari itu, meliput kuliner harus berani keluar ongkos. Bahkan
menurut salah satu wartawan yang hadir dari Warta Jateng mengatakan
pengalamannya harus menanggung resiko alergi untuk menulis urusan kuliner.
Kuliner bagi wartawan menarik bukan hanya karena memuaskan lidahnya, tetapi dari
kuliner, awak media berbagi bukan hanya pengalaman, cita rasa lidah, tetapi
juga bagaimana tempat dan suasana di waktu menikmati kuliner. Di tengah obrolan
Setyaningsih menyisip mempertanyakan soal dapur dan perubahan cita rasa tatkala
cita rasa makanan keraton kemudian diubah menjadi cita rasa publik. Untuk
membuat cita rasa itu, keluarga keraton bahkan menemani pelanggan makan. Konon
dari itu, kita jadi merasakan sensasi menu dan suasana makanan dari keraton.
Disini, makanan tak hanya perkara perut ,tetapi prestisius. Pada obrolan itu,
pembicara pun menerangkan resiko yang dihadapi wartawan tatkala ia meliput
kuliner. Selain ia tak boleh mengaku sebagai wartawan, ia juga tak boleh
menerima uang dan akan mengganggu dalam menjaga objektifitas dalam liputan
kuliner. Selain itu, proporsi dalam meliput kuliner harus menekankan urusan
kulinernya bukan suasananya. Meski suasana juga penting dalam liputan kuliner.
Di tengah –tengah diskusi akhirnya aku
menghabiskan buku Presiden Abraham
Lincoln karangan Frances Cavanah, terjemahan L.E.Hakim. Abraham Lincoln
dimasa kecil dipanggil Abe. Ibunya sudah tiada, ia ditinggal Ayahnya di masa
kecilnya. Di waktu Ayahnya pulang membawa ibu baru dan anak dari ibu barunya,
Abe menerima keadaan itu. Abe dilahirkan di Kentucky 1809. Ibunya Sally Lincoln
membawa anaknya John Besty dan Mathilda Johnston. Ketika ada kabar di Pigeon
Creek, akan ada sekolah. Maka Sally Lincoln membawa “Abe” pergi ke sekolah.
Disana Abe belajar membatja dan berhitung; ia dapat memetjahkan soal-soal dengan
mudah. Tulisannja amat bagus, sehingga orang-orang dikampung itu kerap kali
datang kepondoknja itu akan minta tolong membuatkan surat. Ia gemar pula menjusun “kalimat-kalimat”.
Kadang-kadang kalimat-kalimat itu menjerupai sjair, salah satu diantaranja
berbunyi : “Anak-anak baik jang mempeladjari buku-bukunja, akan mendjadi orang
besar seketika demi seketika”(h.8). Di buku ini, dikisahkan bagaimana “Abe”
pernah mengalami masa-masa sulit. Ia bekerja dengan sangat tekun, agar ia bisa
sekolah. Tapi apa daya, setelah menamatkan lima matjam sekolah, ia kemudian
tidak melanjutkan sekolah. Akan tetapi, ia terus beladjar walaupun ia tidak
dapat sekolah. Tiap malam ia berbaring diatas lantai dimuka tungku-api
mempeladjari soal-soal hitungan. Ia sangat radjin membatja(h.9). Teman-temannja
meminjami buku, di saat ia sekolah, ia pernah mengungkapkan cita-citanya saat
ditanya gurunya. Pernah ia ditanya perempuan isteri Crawford, “ingin djadi
apakah kamu sekarang?”tanja perempuan itu dengan perasaan kasih. “Saja ingin
jadi Presiden” djawab Abe. Kemudian isteri Crawford menyela : “O,kamu
berolok-olok, hendak mendjadi Presiden, bukan?”. “Bukan, saja akan beladjar
sungguh-sungguh sampai pandai, sehingga ada harapan bagiku untuk djadi
Presiden” (h.10).
Keinginan Abe menjadi presiden pada
akhirnya masih tertanam dalam hatinya, Abraham Lincoln muda dikenal sebagai
seorang yang jujur. Pernah ia menerima pengembalian berlebih, dan ia
mengembalikannya. Abraham Lincoln muda pun tak tega melihat perbudakan
disana-sini. Ia mempunyai jabatan 1847-1849 di Kongres Amerika. Kemudian
perdebatan antara Lincoln dengan Douglas memasyurkan namanya. Keinginannya
menjadi presiden tercapai pada 1861-1865. Abraham Lincoln pun mengucapkan
pidato yang akan dikenang di dunia mengenai konsepsi demokrasi : “nenek mojang
kita telah membina satu bangsa baru di negeri ini, bergabung dalam suasana
kemerdekaan dan merumuskan dalam satu patokan, bahwa seluruh manusia itu
dilahirkan dengan berderadjat sama”. “Peperangan sudah berakhir dengan satu
kemenangan”. “untuk menentukan apakah satu bangsa dapat berdiri terus,satu
bangsa dimana rakjatnja memerintah dirinja sendiri”. Ia mengakhiri pidatonja
dengan sembojan : “Kita njatakan disini dengan seluhur-luhur djanji, bahwa
malapetaka jang demikian besarnja ini tidaklah akan sia-sia adanja, dan bahwa
bangsa ini, —dibawah lindungan Tuhan—, akan memiliki satu pengertian baru dari
kemerdekaan,dan bahwa satu pemerintahan dari rakjat, oleh rakjat, dan untuk
rakjat, tidaklah akan lenjap dari muka bumi ini” (h.35).
Aku merasa senang bisa menemui kisah
tentang Presiden, Buku dan Demokrasi ketika membaca biografi Abraham Lincoln.
Senang aku rasanya menulis ditemani sms kekasih, mungkin kelak ia akan
menemaniku saat sudah menjadi isteriku.
*)
Klaten, Rumahku 10/1/15
*) Penulis adalah
Pegiat Komunitas Tanda Tanya, Peresensi Buku
No comments:
Post a Comment