klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 11 January 2015

Presiden, Buku, dan Demokrasi




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
         
          Siang tadi aku ke Gladag, aku senang bermodal minjam, aku dapat buku bagus. Selain dapat buku Bahasa Rusia, aku dapat serial petualangan Karl May. Aku juga dapat buku bagus berjudul Presiden Abraham Lincoln(1953). Sepulang dari Gladag, aku istirahat sejenak di warung pak Amad, bapak kosku dulu. Setelah menjelang asar, aku ke Gramedia, ke Balai Soedjatmoko. Di Balai Soedjatmoko ada obrolan mengenai Jurnalisme Kuliner.  Diskusi dipandu wartawan Solo pos dan Wartawan Tempo. Obrolan seputar kuliner kemudian mengerucut pada kisah bagaimana pengalaman para awak media ini meliput kuliner. Ternyata, meliput kuliner menurut mereka tidak hanya susah-susah gampang, tetapi lebih dari itu, meliput kuliner harus berani keluar ongkos. Bahkan menurut salah satu wartawan yang hadir dari Warta Jateng mengatakan pengalamannya harus menanggung resiko alergi untuk menulis urusan kuliner. Kuliner bagi wartawan menarik bukan hanya karena memuaskan lidahnya, tetapi dari kuliner, awak media berbagi bukan hanya pengalaman, cita rasa lidah, tetapi juga bagaimana tempat dan suasana di waktu menikmati kuliner. Di tengah obrolan Setyaningsih menyisip mempertanyakan soal dapur dan perubahan cita rasa tatkala cita rasa makanan keraton kemudian diubah menjadi cita rasa publik. Untuk membuat cita rasa itu, keluarga keraton bahkan menemani pelanggan makan. Konon dari itu, kita jadi merasakan sensasi menu dan suasana makanan dari keraton. Disini, makanan tak hanya perkara perut ,tetapi prestisius. Pada obrolan itu, pembicara pun menerangkan resiko yang dihadapi wartawan tatkala ia meliput kuliner. Selain ia tak boleh mengaku sebagai wartawan, ia juga tak boleh menerima uang dan akan mengganggu dalam menjaga objektifitas dalam liputan kuliner. Selain itu, proporsi dalam meliput kuliner harus menekankan urusan kulinernya bukan suasananya. Meski suasana juga penting dalam liputan kuliner.
          Di tengah –tengah diskusi akhirnya aku menghabiskan buku Presiden Abraham Lincoln karangan Frances Cavanah, terjemahan L.E.Hakim. Abraham Lincoln dimasa kecil dipanggil Abe. Ibunya sudah tiada, ia ditinggal Ayahnya di masa kecilnya. Di waktu Ayahnya pulang membawa ibu baru dan anak dari ibu barunya, Abe menerima keadaan itu. Abe dilahirkan di Kentucky 1809. Ibunya Sally Lincoln membawa anaknya John Besty dan Mathilda Johnston. Ketika ada kabar di Pigeon Creek, akan ada sekolah. Maka Sally Lincoln membawa “Abe” pergi ke sekolah. Disana Abe belajar membatja dan berhitung; ia dapat memetjahkan soal-soal dengan mudah. Tulisannja amat bagus, sehingga orang-orang dikampung itu kerap kali datang kepondoknja itu akan minta tolong membuatkan surat.  Ia gemar pula menjusun “kalimat-kalimat”. Kadang-kadang kalimat-kalimat itu menjerupai sjair, salah satu diantaranja berbunyi : “Anak-anak baik jang mempeladjari buku-bukunja, akan mendjadi orang besar seketika demi seketika”(h.8). Di buku ini, dikisahkan bagaimana “Abe” pernah mengalami masa-masa sulit. Ia bekerja dengan sangat tekun, agar ia bisa sekolah. Tapi apa daya, setelah menamatkan lima matjam sekolah, ia kemudian tidak melanjutkan sekolah. Akan tetapi, ia terus beladjar walaupun ia tidak dapat sekolah. Tiap malam ia berbaring diatas lantai dimuka tungku-api mempeladjari soal-soal hitungan. Ia sangat radjin membatja(h.9). Teman-temannja meminjami buku, di saat ia sekolah, ia pernah mengungkapkan cita-citanya saat ditanya gurunya. Pernah ia ditanya perempuan isteri Crawford, “ingin djadi apakah kamu sekarang?”tanja perempuan itu dengan perasaan kasih. “Saja ingin jadi Presiden” djawab Abe. Kemudian isteri Crawford menyela : “O,kamu berolok-olok, hendak mendjadi Presiden, bukan?”. “Bukan, saja akan beladjar sungguh-sungguh sampai pandai, sehingga ada harapan bagiku untuk djadi Presiden” (h.10).
          Keinginan Abe menjadi presiden pada akhirnya masih tertanam dalam hatinya, Abraham Lincoln muda dikenal sebagai seorang yang jujur. Pernah ia menerima pengembalian berlebih, dan ia mengembalikannya. Abraham Lincoln muda pun tak tega melihat perbudakan disana-sini. Ia mempunyai jabatan 1847-1849 di Kongres Amerika. Kemudian perdebatan antara Lincoln dengan Douglas memasyurkan namanya. Keinginannya menjadi presiden tercapai pada 1861-1865. Abraham Lincoln pun mengucapkan pidato yang akan dikenang di dunia mengenai konsepsi demokrasi : “nenek mojang kita telah membina satu bangsa baru di negeri ini, bergabung dalam suasana kemerdekaan dan merumuskan dalam satu patokan, bahwa seluruh manusia itu dilahirkan dengan berderadjat sama”. “Peperangan sudah berakhir dengan satu kemenangan”. “untuk menentukan apakah satu bangsa dapat berdiri terus,satu bangsa dimana rakjatnja memerintah dirinja sendiri”. Ia mengakhiri pidatonja dengan sembojan : “Kita njatakan disini dengan seluhur-luhur djanji, bahwa malapetaka jang demikian besarnja ini tidaklah akan sia-sia adanja, dan bahwa bangsa ini, —dibawah lindungan Tuhan—, akan memiliki satu pengertian baru dari kemerdekaan,dan bahwa satu pemerintahan dari rakjat, oleh rakjat, dan untuk rakjat, tidaklah akan lenjap dari muka bumi ini” (h.35).
          Aku merasa senang bisa menemui kisah tentang Presiden, Buku dan Demokrasi ketika membaca biografi Abraham Lincoln. Senang aku rasanya menulis ditemani sms kekasih, mungkin kelak ia akan menemaniku saat sudah menjadi isteriku.

*) Klaten, Rumahku 10/1/15
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Tanda Tanya, Peresensi Buku



         

No comments:

Post a Comment