klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 19 January 2015

Modern...





Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Hari jumat (16/1/15) di sekolahku ada seminar motivasi. Seminar motivasi diselenggarakan sekolah dan tiga serangkai. Penerbit buku ini memberikan CSR (Corporate Social Responsibility) melalui training motivasi. Konon, kalau tidak pake CSR, training motivasi mesti mengeluarkan biaya besar, sepuluh juta untuk kru dan pembicara, edan!. Mendengar itu, saya hanya geleng-geleng kepala saja. Training diselenggarakan di ruang atas kelas 3. Dimulai pada jam 7 pagi sampai hampir jumatan. Tak hanya film-film motivasi yang disetel, ayat-ayat Qur’an dan hadist pun diucapkan agar anak-anak dan orangtua murid semakin yakin. Konon training ini bertujuan untuk meningkatakan mentalitas  dan kepribadian anak. Suara pembicara yang menggebu, soundsystem yang menurutku bising membuat kuping rada nyeri. Tetapi anak-anak antusias, mereka senang rasanya dimotivasi. Orangtua pun lega, setidaknya anak tahu dan mengerti makna belajar. Ada keganjilan disini, mengapa sekolah lebih percaya motivator?, atau karena ini memang CSR?. Mengapa guru-guru sendiri tak dianggap atau dipercayai bisa memotivasi anak-anaknya?. Mungkin disinilah letak kegelisahan hati saya yang mengganjal tatkala melihat fenomena itu.
            Di seminar itu, saya ditugasi menjadi penyambut tamu. Setelah seminar selesai, saya kecipratan berkah. Para pembicara dipersilahkan bebek goreng bersama kepala sekolah, awalnya aku tak ingin ikut, eh ternyata rejeki tak boleh ditolak. Seteah santap bebek goreng, aku segera siap-siap jumatan. Setelah keluar tak lama dari sekolah, hujan deras. Jaket ikut basah sedikit, aku takut kalau kuteruskan buku-buku ikut basah. Aku istirahat sejenak di  masjid dan jumatan disana. Setelah jumatan, mataku agak ngantuk dan pusing. Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Kupaksakan diri ke Jogja dengan bekal seadanya. Uang dikantongku tinggal dua puluh ribu, padahal bensin pun sudah menipis. Apa daya untuk mengambil pesanan potokopian yang lama belum kuambil, harus kutekati.
            Belum lewat Klaten, aku beli bensin Rp.10.000,00. Hati ketir-ketir, takut ada apa-apa di jalan, dari kemaren sebenarnya hati sudah tak enak. Tapi di jalan aku hanya nyebut karo gusti mugo-mugo dilancarke (berdoa pada Tuhan semoga dilancarkan). Sampai di kedaulatan rakyat jogja aku bertanya pada satpam, bagaimana kalau mengambil honor koran di Minggu Pagi. Satpam langsung menjawab, masih jauh mas , tugu jogja ke kiri. Aku belum pernah kesana, kutelpon Galang temanku. Petunjuknya membantuku sampai di tempat tujuan. Urusan mengambil honor jadi ribet,karena dua kali harus berganti parkir, tiga kali tanya ke orang. Akhirnya setelah ketemu kantornya aku lega, sambil menunggu di kasir, aku bersyukur, Tuhan memiliki tangan panjang untuk menyelamatkan hambanya. Saya jadi teirngat buku God Winks (Kedipan Tuhan) hadiah resensi dari Gramedia. Tuhan telah berkedip, mengedipkan matanya padaku.
            Setelah mengambil honor, aku ke fotokopi pandu ambil pesanan buku. Senang aku rasanya, bertemu mas dan mbak pemilik foto kopi ini kembali setelah lama tak bersua. Aku langsung ambil buku, dan nyicil utang (membayar angsuran utang) mesti tak seberapa, 25 ribu rupiah. Meski tak seberapa cicilanku aku merasa lega. Setelah itu, perut tak bisa ditahan, aku mampir ke warung makan. Dalam perjalanan pulang, aku tak langsung pulang. Aku mampir di Social Agency. Setelah sampai disana, aku langsung saja memburu dan membuka-buka buku. Disana masih ada bazar murah, buku-buku tergeletak disana-sini. Ada yang diskon 50% sampai harga seribu sampai sepuluh ribu.
            Aku senang, bisa menemukan buku bagus, buku cerita anak berjudul Si Penangkap Ular(1980) karya Jusran Safano. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya. Berbeda dari buku cerita lain, buku ini ada 6 BAB dengan tebal 64 halaman. Ingin kumembeli banyak buku, tapi aku masih ragu, apa nanti bisa pulang dengan selamat, akhirnya kuputuskan membeli majalah prisma juga, disana ada tema tentang anak. Majalah ini terbitan 1990.
            Sampai di rumah kontrakan aku lega, pagi harinya sabtu, 17 Januari 2015 aku membaca buku Si Penangkap Ular  separuh, setelah itu saya lanjutkan membacanya di sekolah.  Selesai membaca buku itu aku lega. Ada yang unik dan menarik dari cerita anak. Di buku ini, ia tak hanya bercerita tentang Cahyo dan Rekso dua teman baik yang selalu main bersama dan rukun. Dua anak sekolah ini, sibuk meneliti ular. Di rumah orangtuanya sering memergokinya membaca buku tentang ular. Maklum, orangtuanya khawatir kalau-kalau nilai raport mereka turun. Karena senangnya dengan dunia ular itu, dua lelaki muda ini berniat untuk berburu ular. Mereka ingin menangkap ular untuk dimasukka ke kebun binatang. Ketertarikan mereka pada ular sebenarnya bermula dari seorang pedagang yang menawarkan obat racun ular berbisa. Karena rasa penasaran itulah, mereka ingin berburu ular. Karena ragu dengan obat yang dijual pedagang di pasar, mereka pun menyiapkan obat suntik anti bisa ular.
            Ketika Cahyo dan Rekso liburan, ia merencanakan untuk liburan ke Bogor berdua. Mereka membangun tenda kemah disana. Di sanalah mereka mulai berburu ular. Namun, ketika mereka menemukan ular sendok, yang hendak ditangkapnya, tiba-tiba terdengar suara orangtua yang mengingatkan mereka agar tak menangkap ular itu. Itu keramat kata orangtua itu, tapi Cahyo dan Rekso membantahnya, jaman modern gini masih percaya takhayul. Orangtua itu memperingatkan dua anak itu. “Kami disini akan mendapat bala bila mbah keramat itu dibawa ke kota. Kota tempat anak dinggal demikian pula. Banjir, kebakaran, gempa bumi, penyakit akan merajalela. Bapak mohon, lepaskanlah, Nak”. Dua anak itu kemudian berkilat dengan jurus lidahnya karena tak mempercayai takhayul macam itu.
            Di malam harinya, mereka tidur nyenyak. Tiba-tiba ada yang mencuri ular mereka, ketiga ular yang semula sudah ditangkap mereka dilepaskan. Satu ular masih di kemah. Mereka terperanjat kaget tatkala melihat ular itu. Kemudian ketika mereka akan berburu lagi, mereka melihat orangtua yang terbaring lemas dan dikerubungi warga. Orangtua itu terlihat kesal ketika melihat Cahyo dan Rekso. Kemudian Cahyo menolong orangtua itu dengan menyuntikkan obat anti bisa karena orangtua itu digigit ular sendok, yang dibilang masyarakat sekitar “mbah keramat”. Setelah orangtua itu sembuh, Cahyo dan Rekso kemudian dianggap sebagai orang baik yang tak mengganggu oleh sebagian orang. Orang mulai percaya pada Rekso dan Cahyo, kalau ular di desa mereka perlu dibersihkan agar tak membahayakan. Akhirnya langkah mereka bersambut dari Sersan di desa itu. Sersan pun ikut membantu berburu ular. Orang kampung bergerombol ingin melihat kedua anak muda itu menangkap ular. Setelah ditelusuri sekampung, akhirnya Cahyo dan Rekso pun lega. Begitupun warga kampung ikut senang. Cahyo dan Rekso pun akhirnya pulang ke kota dengan tangkapannya.
            Kisah Si Penangkap Ular  diatas bukan saja mendidik dan mengajak anak-anak kita untuk berani dan mengasah mentalitas mereka. Melalui tokoh Cahyo dan Rekso yang semula belum percaya diri penuh bisa menangkap ular, melalui buku mereka berdua pun akhirnya praktek menjadi penangkap ular. Cerita ini pun dibubuhi akan adanya unsur modern, tatkala kita melihat bagaimana kata “modern” dipakai di cerita ini maupun pada inti ceritanya. “Jaman modern seperti sekarang,tolol kalau kita takut sama ular, kita punya otak mengapa kita takut?”. Ungkapan Cahyo dalam dialog ini adalah contoh dari bagaimana modernitas menjadi alasan bahwa mereka tak perlu takut pada ular. Selain itu, nampak sekali di inti cerita ini yang mengaitkan kepercayaan masyarakat di waktu itu yang menganggap ular sebagai “mbah keramat” mencoba diruntuhkan oleh Cahyo dan Rekso. Penulis cerita ini juga hendak menunjukkan kepada pembaca terutama anak-anak, agar meninggalkan kepercayaan yang berbau takhayul.
            Dari cerita ini, kita tahu cerita anak juga mengajak kepada anak-anak kita untuk menjadi modern. Modern dalam arti meninggalkan kepercayaan yang tak logis. Cerita ini adalah salah satu contoh yang saya  temui di tahun 80-an. Cerita anak ternyata tak hanya mengandung unsur moralitas yang mendidik, tetapi juga mendidik anak-anak agar berani, dan tidak percaya pada hal-hal yang tak masuk akal seperti takhayul. Berkait takhayul saya jadi ingat dengan tuturan Soekarno kepada Cindy Adams bahwa pada masa mudanya ia percaya pada jimat, hari baik dan hari naas. Akan tetapi itu dulu.  Semua jimat tidak lagi membuatnya percaya tatkala ia dibuang di Pulau Bunga Flores. Ia menyebut takhayul sebagai kepercayaan kegila-gilaan yang harus dihentikan. Misalnya, makan di piring retak, konon bisa bikin kualat. Caranya mengakhiri kepercayaan takhayul itu Sukarno malah makan di piring retak tersebut. Lalu ia berpidato kepada piring retak itu : “Engkau barang yang mati, tidak bernyawa, dan dungu. Engkau tidak punya kuasa untuk nasibku. Kutantang kau! Aku  bebas darimu! Sekarang aku makan dalammu” (Adams, 1967: 156).Memang ada-ada saja Bung Karno ini, masak piring saja harus diberi pidato untuk menghilangkan takhayulnya. Hahaha....

Klaten, 18/1/15 pukul .4.17 WIB

           
*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

           

No comments:

Post a Comment