Oleh Arif Saifudin
Yudistira*)
Hari jumat (16/1/15) di sekolahku
ada seminar motivasi. Seminar motivasi diselenggarakan sekolah dan tiga
serangkai. Penerbit buku ini memberikan CSR (Corporate Social Responsibility)
melalui training motivasi. Konon, kalau tidak pake CSR, training motivasi mesti
mengeluarkan biaya besar, sepuluh juta untuk kru dan pembicara, edan!.
Mendengar itu, saya hanya geleng-geleng kepala saja. Training diselenggarakan
di ruang atas kelas 3. Dimulai pada jam 7 pagi sampai hampir jumatan. Tak hanya
film-film motivasi yang disetel, ayat-ayat Qur’an dan hadist pun diucapkan agar
anak-anak dan orangtua murid semakin yakin. Konon training ini bertujuan untuk
meningkatakan mentalitas dan kepribadian
anak. Suara pembicara yang menggebu, soundsystem yang menurutku bising membuat
kuping rada nyeri. Tetapi anak-anak
antusias, mereka senang rasanya dimotivasi. Orangtua pun lega, setidaknya anak
tahu dan mengerti makna belajar. Ada keganjilan disini, mengapa sekolah lebih
percaya motivator?, atau karena ini memang CSR?. Mengapa guru-guru sendiri tak
dianggap atau dipercayai bisa memotivasi anak-anaknya?. Mungkin disinilah letak
kegelisahan hati saya yang mengganjal tatkala melihat fenomena itu.
Di seminar itu, saya ditugasi
menjadi penyambut tamu. Setelah seminar selesai, saya kecipratan berkah. Para
pembicara dipersilahkan bebek goreng bersama kepala sekolah, awalnya aku tak
ingin ikut, eh ternyata rejeki tak boleh ditolak. Seteah santap bebek goreng,
aku segera siap-siap jumatan. Setelah keluar tak lama dari sekolah, hujan
deras. Jaket ikut basah sedikit, aku takut kalau kuteruskan buku-buku ikut
basah. Aku istirahat sejenak di masjid
dan jumatan disana. Setelah jumatan, mataku agak ngantuk dan pusing. Tak
terasa, jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Kupaksakan diri ke Jogja dengan
bekal seadanya. Uang dikantongku tinggal dua puluh ribu, padahal bensin pun
sudah menipis. Apa daya untuk mengambil pesanan potokopian yang lama belum
kuambil, harus kutekati.
Belum lewat Klaten, aku beli bensin
Rp.10.000,00. Hati ketir-ketir, takut ada apa-apa di jalan, dari kemaren
sebenarnya hati sudah tak enak. Tapi di jalan aku hanya nyebut karo gusti mugo-mugo dilancarke (berdoa pada Tuhan semoga
dilancarkan). Sampai di kedaulatan rakyat jogja aku bertanya pada satpam,
bagaimana kalau mengambil honor koran di Minggu Pagi. Satpam langsung menjawab,
masih jauh mas , tugu jogja ke kiri. Aku belum pernah kesana, kutelpon Galang
temanku. Petunjuknya membantuku sampai di tempat tujuan. Urusan mengambil honor
jadi ribet,karena dua kali harus berganti parkir, tiga kali tanya ke orang.
Akhirnya setelah ketemu kantornya aku lega, sambil menunggu di kasir, aku
bersyukur, Tuhan memiliki tangan panjang untuk menyelamatkan hambanya. Saya
jadi teirngat buku God Winks (Kedipan
Tuhan) hadiah resensi dari Gramedia. Tuhan telah berkedip, mengedipkan matanya
padaku.
Setelah mengambil honor, aku ke
fotokopi pandu ambil pesanan buku. Senang aku rasanya, bertemu mas dan mbak
pemilik foto kopi ini kembali setelah lama tak bersua. Aku langsung ambil buku,
dan nyicil utang (membayar angsuran
utang) mesti tak seberapa, 25 ribu rupiah. Meski tak seberapa cicilanku aku
merasa lega. Setelah itu, perut tak bisa ditahan, aku mampir ke warung makan. Dalam
perjalanan pulang, aku tak langsung pulang. Aku mampir di Social Agency. Setelah sampai disana, aku langsung saja memburu
dan membuka-buka buku. Disana masih ada bazar murah, buku-buku tergeletak
disana-sini. Ada yang diskon 50% sampai harga seribu sampai sepuluh ribu.
Aku senang, bisa menemukan buku
bagus, buku cerita anak berjudul Si
Penangkap Ular(1980) karya Jusran Safano. Buku ini diterbitkan oleh
penerbit Pustaka Jaya. Berbeda dari buku cerita lain, buku ini ada 6 BAB dengan
tebal 64 halaman. Ingin kumembeli banyak buku, tapi aku masih ragu, apa nanti
bisa pulang dengan selamat, akhirnya kuputuskan membeli majalah prisma juga,
disana ada tema tentang anak. Majalah ini terbitan 1990.
Sampai di rumah kontrakan aku lega,
pagi harinya sabtu, 17 Januari 2015 aku membaca buku Si Penangkap Ular separuh,
setelah itu saya lanjutkan membacanya di sekolah. Selesai membaca buku itu aku lega. Ada yang
unik dan menarik dari cerita anak. Di buku ini, ia tak hanya bercerita tentang
Cahyo dan Rekso dua teman baik yang selalu main bersama dan rukun. Dua anak
sekolah ini, sibuk meneliti ular. Di rumah orangtuanya sering memergokinya
membaca buku tentang ular. Maklum, orangtuanya khawatir kalau-kalau nilai
raport mereka turun. Karena senangnya dengan dunia ular itu, dua lelaki muda
ini berniat untuk berburu ular. Mereka ingin menangkap ular untuk dimasukka ke
kebun binatang. Ketertarikan mereka pada ular sebenarnya bermula dari seorang
pedagang yang menawarkan obat racun ular berbisa. Karena rasa penasaran itulah,
mereka ingin berburu ular. Karena ragu dengan obat yang dijual pedagang di
pasar, mereka pun menyiapkan obat suntik anti bisa ular.
Ketika Cahyo dan Rekso liburan, ia
merencanakan untuk liburan ke Bogor berdua. Mereka membangun tenda kemah
disana. Di sanalah mereka mulai berburu ular. Namun, ketika mereka menemukan
ular sendok, yang hendak ditangkapnya, tiba-tiba terdengar suara orangtua yang
mengingatkan mereka agar tak menangkap ular itu. Itu keramat kata orangtua itu,
tapi Cahyo dan Rekso membantahnya, jaman modern gini masih percaya takhayul.
Orangtua itu memperingatkan dua anak itu. “Kami disini akan mendapat bala bila
mbah keramat itu dibawa ke kota. Kota tempat anak dinggal demikian pula.
Banjir, kebakaran, gempa bumi, penyakit akan merajalela. Bapak mohon,
lepaskanlah, Nak”. Dua anak itu kemudian berkilat dengan jurus lidahnya karena
tak mempercayai takhayul macam itu.
Di malam harinya, mereka tidur
nyenyak. Tiba-tiba ada yang mencuri ular mereka, ketiga ular yang semula sudah
ditangkap mereka dilepaskan. Satu ular masih di kemah. Mereka terperanjat kaget
tatkala melihat ular itu. Kemudian ketika mereka akan berburu lagi, mereka
melihat orangtua yang terbaring lemas dan dikerubungi warga. Orangtua itu
terlihat kesal ketika melihat Cahyo dan Rekso. Kemudian Cahyo menolong orangtua
itu dengan menyuntikkan obat anti bisa karena orangtua itu digigit ular sendok,
yang dibilang masyarakat sekitar “mbah keramat”. Setelah orangtua itu sembuh,
Cahyo dan Rekso kemudian dianggap sebagai orang baik yang tak mengganggu oleh
sebagian orang. Orang mulai percaya pada Rekso dan Cahyo, kalau ular di desa
mereka perlu dibersihkan agar tak membahayakan. Akhirnya langkah mereka
bersambut dari Sersan di desa itu. Sersan pun ikut membantu berburu ular. Orang
kampung bergerombol ingin melihat kedua anak muda itu menangkap ular. Setelah
ditelusuri sekampung, akhirnya Cahyo dan Rekso pun lega. Begitupun warga
kampung ikut senang. Cahyo dan Rekso pun akhirnya pulang ke kota dengan
tangkapannya.
Kisah Si Penangkap Ular diatas
bukan saja mendidik dan mengajak anak-anak kita untuk berani dan mengasah
mentalitas mereka. Melalui tokoh Cahyo dan Rekso yang semula belum percaya diri
penuh bisa menangkap ular, melalui buku mereka berdua pun akhirnya praktek
menjadi penangkap ular. Cerita ini pun dibubuhi akan adanya unsur modern,
tatkala kita melihat bagaimana kata “modern” dipakai di cerita ini maupun pada
inti ceritanya. “Jaman modern seperti sekarang,tolol kalau kita takut sama
ular, kita punya otak mengapa kita takut?”. Ungkapan Cahyo dalam dialog ini
adalah contoh dari bagaimana modernitas menjadi alasan bahwa mereka tak perlu
takut pada ular. Selain itu, nampak sekali di inti cerita ini yang mengaitkan
kepercayaan masyarakat di waktu itu yang menganggap ular sebagai “mbah keramat”
mencoba diruntuhkan oleh Cahyo dan Rekso. Penulis cerita ini juga hendak
menunjukkan kepada pembaca terutama anak-anak, agar meninggalkan kepercayaan
yang berbau takhayul.
Dari cerita ini, kita tahu cerita
anak juga mengajak kepada anak-anak kita untuk menjadi modern. Modern dalam arti
meninggalkan kepercayaan yang tak logis. Cerita ini adalah salah satu contoh
yang saya temui di tahun 80-an. Cerita
anak ternyata tak hanya mengandung unsur moralitas yang mendidik, tetapi juga
mendidik anak-anak agar berani, dan tidak percaya pada hal-hal yang tak masuk
akal seperti takhayul. Berkait takhayul saya jadi ingat dengan tuturan Soekarno
kepada Cindy Adams bahwa pada masa mudanya ia percaya pada jimat, hari baik dan
hari naas. Akan tetapi itu dulu. Semua
jimat tidak lagi membuatnya percaya tatkala ia dibuang di Pulau Bunga Flores.
Ia menyebut takhayul sebagai kepercayaan kegila-gilaan yang harus dihentikan.
Misalnya, makan di piring retak, konon bisa bikin kualat. Caranya mengakhiri
kepercayaan takhayul itu Sukarno malah makan di piring retak tersebut. Lalu ia
berpidato kepada piring retak itu : “Engkau barang yang mati, tidak bernyawa,
dan dungu. Engkau tidak punya kuasa untuk nasibku. Kutantang kau! Aku bebas darimu! Sekarang aku makan dalammu”
(Adams, 1967: 156).Memang ada-ada saja Bung Karno ini, masak piring saja harus
diberi pidato untuk menghilangkan takhayulnya. Hahaha....
Klaten,
18/1/15 pukul .4.17 WIB
*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment