Sekolah mestinya menyadari, bahwa bullyiing terjadi karena kurangnya pengawasan, seringkali guru BP hanya bekerja dan bertugas di kantor semata. Pengamatan dan pengawasan diluar kantor justru jarang dilakukan. Ini menyebabkan para pelaku bullyiing merasa lebih bebas dan memiliki kesempatan untuk melakukan kekerasan pada korban
Oleh Arif
Saifudin Yudistira*)
Di akhir
tahun kemaren, aku belanja buku ke Gramedia Solo. Ada obral, tapi harga masih
mahal-mahal. Beberapa buku memikatku, tapi apa daya, uang di kantong tak cukup
untuk memborong buku-buku bagus. Salah satunya adalah buku Creative writing dari A.S.Laksana, dan buku kumcernya. Kucari dan
kubuka-buka buku, kulihat-lihat, akhirnya aku menemukan buku pilihanku. Buku
itu berjudul Meredam Bullyiing(2008)
karangan Ponny Retno Astuti. Buku ini semula adalah buku dari tesis penulis.
Aku merasakan buku ini hanya semacam perpaduan antara pembacaan di jurnal dan
ide penulis. Di buku ini dipaparkan mengenai istilah bulliying yang sering
diartikan hanya sebagai tindak kekerasan pada anak. Padahal istilah bullying
berbeda dengan istilah kekerasan pada anak,walaupun secara tindakan hampir
sama. Penulis mengutip definisi dari Ken Rigby(1994) : “Sebuah hasrat untuk
menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang
menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang
lebih kuat, tidak bertanggungjawab, biasanya berulang dan dilakukan dengan
perasaan senang”(h.3). Bullyiing menjadi lebih sering terjadi justru jika tidak
ada atau minimnya respons dari orangtua dan guru(h.7). Bullyiing sering terjadi karena orang menganggap apa yang dialami
anak tidak dianggap terlalu berbahaya. Padahal di dalam bullyiing, anak mengalami siksaan psikologis. Melalui ucapan,
melalui pukulan, atau melalui penyudutan dalam pergaulan, anak akan mengalami
betapa ia merasakan hidup sendiri dan dikucilkan di lingkungan sekolah
misalnya. Apa yang dinamakan bullying
ini pernah saya alami sewaktu saya duduk di sekolah dasar. Di waktu itu, saya
seperti merasakan tak punya teman. Hal ini karena teman-teman sekolah saya
justru mengejek dan menyudutkan saya. Tidak hanya karena pelajaran yang susah
saya tangkap, tetapi juga karena saya sering dihukum karena terlambat. Di waktu
bermain pun, saya seolah tak boleh ikut permainan, akhirnya saya hanya melihat
dan merenung sendirian. Saya jadi lebih memahami ini tatkala saya menjadi guru.
Memang sebagai guru terkadang kita sering diberi aduan murid tentang suatu hal.
Bila kita mengabaikan aduan tersebut, tentu hal ini semakin membuat anak
menjadi semakin takut, ngeri dan merasakan sendiri dan kesepian. Sebagai guru
kita mesti hati-hati dan tak boleh mengabaikan begitu saja apa yang menjadi
aduan murid. Murid bisa jadi memang mengalami bullying oleh teman-temannya. Anggapan wajar dan pembiaran justru
akan mengakibatkan siksa psikologis pada sang anak.
Menurut
penulis, ada dua bentuk bullyiing,
yakni secara fisik dan non fisik. Bullyiing secara fisik bisa dilakukan dalam
bentuk menarik rambut, menggigit, memukul, menendang, mengunci, mengintimidasi
korban di ruangan dengan mengitari, memelintir, menonjok, mendorong, mencakar,
meludahi, mengancam, dan merusak kepemilikan korban (Ong,2003;Sullivan,2000).
Selain itu, bullyiing dalam bentuk non fisik ada dua bentuk yakni verbal dan
non-verbal. Dalam bentuk verbal bullying dapat dilakukan dengan panggilan
telepon meledek, pemalakan, ancaman, intimidasi, menghasut, berkata jorok pada
korban, kata-kata kasar pada korban, menekan, dan menyebarluaskan kejelekan
korban. Dalam bentuk non-verbal di bagi menjadi dua yakni bentuk langsung dan tak
langsung. Dalam bentuk tidak langsung misalnya manipulasi pertemanan,
mengasingkan, tidak mengikutsertakan dalam permainan, menghasut,curang, dan
sembunyi-sembunyi. Dalam bentuk langsung misalnya gerakan kasar atau mengancam,
menggeram, gertakan, hentakan mengancam atau menakuti. Di sekolah bullyiing sering terjadi bukan hanya
karena urusan senioritas, tetapi karena siswa yang duduk di SD, SMP maupun
jenjang yang lebih atas merasa tak perlu ada pengawasan dari guru. Guru pun
demikian halnya, seringkali saat istirahat justru menjadi momen bagi pelaku bullyiing
untuk menyerang korbannya. Karena itulah, korban justru sering diam dan tak
melakukan perlawanan. Korban hanya bisa merenungi dan diam sendiri dan
merasakan sakit secara psikologis atas perlakuan teman-temannya. Tidak jarang
korban bullyiing sampai melakukan tindakan bunuh diri. Hal ini karena ia sudah
tidak tahan merasakan siksaan psikologis yang memuncak, selain juga karena
mereka mengalami kekerasan fisik. Sekolah mestinya menyadari, bahwa bullyiing terjadi karena kurangnya
pengawasan, seringkali guru BP hanya bekerja dan bertugas di kantor semata.
Pengamatan dan pengawasan diluar kantor justru jarang dilakukan. Ini
menyebabkan para pelaku bullyiing merasa lebih bebas dan memiliki kesempatan
untuk melakukan kekerasan pada korban.
Dalam buku
ini, penulis memiliki tiga cara efektif untuk mencegah bullyiing. Diantaranya
adalah dengan model Trasnteori, kedua dengan Jaringan pendukung (Supported
Network), ketiga Program Sahabat (kasih SAyang
dan persatuan, HArmonis,BAik budi dan Tanggungjawab. Dalam model Transteori, ada 5 tahap progress
perubahan yang bisa dijadikan tolak ukur dalam kegiatan pencegahan. Diantaranya
adalah tahap pra-kesadaran, kesadaran, persiapan, tindakan/aksi, dan
pemeliharaan. Dalam model pencegahan kedua (Supported Network), kita perlu membuat jaringan atau
hubungan dan kerjasama yang baik antara pihak sekolah, psikolog, maupun
jaringan yang lain yang memungkinkan terjadinya pemahaman kepada anak maupun
orangtua sehingga ketika terjadi bullyiing kita bisa mencegah tindak tersebut
agar tak berlanjut. Sedang program SAHABAT,
adalah program yang menjadi temuan penulis dengan model pengembangan perilaku
kasih sayang antara lingkungan sekolah, keluarga dan sosial anak. Juga
kebiasaan berperilaku Harmonis, sikap baik hati dan tanggungjawab. Ketiga model
inilah yang menjadi titik pokok penulis dalam buku ini. Pada intinya, bullyiing
tidak mungkin terjadi bila sekolah, keluarga dan lingkungan sosial anak
mengerti apa yang menjadi sebab bullyiing terjadi, dan mengerti bagaimana cara
mengatasinya. Sebab lebih baik mencegah daripada melakukan pengobatan akibat
trauma fisik dan psikologis yang dialami korban. Sayangnya, banyak pihak yang
belum mengerti betul arti bullyiing dan cara mengatasinya. Buku ini setidaknya
memberikan gambaran praktis mengenai bullyiing dan cara mencegahnya.
*)
Ditulis di pagi hari, jam 06.10 menit di rumah tercinta. ( 2/1/2015)
*)Penulis
adalah peminat pendidikan anak
gan, beli bukunya dimana ya? kira-kira masih ada yang jual ga bukunya? trimakasih.
ReplyDelete