klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 1 January 2015

Bullyiing







Sekolah mestinya menyadari, bahwa bullyiing terjadi karena kurangnya pengawasan, seringkali guru BP hanya bekerja dan bertugas di kantor semata. Pengamatan dan pengawasan diluar kantor justru jarang dilakukan. Ini menyebabkan para pelaku bullyiing merasa lebih bebas dan memiliki kesempatan untuk melakukan kekerasan pada korban

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Di akhir tahun kemaren, aku belanja buku ke Gramedia Solo. Ada obral, tapi harga masih mahal-mahal. Beberapa buku memikatku, tapi apa daya, uang di kantong tak cukup untuk memborong buku-buku bagus. Salah satunya adalah buku Creative writing dari A.S.Laksana, dan buku kumcernya. Kucari dan kubuka-buka buku, kulihat-lihat, akhirnya aku menemukan buku pilihanku. Buku itu berjudul Meredam Bullyiing(2008) karangan Ponny Retno Astuti. Buku ini semula adalah buku dari tesis penulis. Aku merasakan buku ini hanya semacam perpaduan antara pembacaan di jurnal dan ide penulis. Di buku ini dipaparkan mengenai istilah bulliying yang sering diartikan hanya sebagai tindak kekerasan pada anak. Padahal istilah bullying berbeda dengan istilah kekerasan pada anak,walaupun secara tindakan hampir sama. Penulis mengutip definisi dari Ken Rigby(1994) : “Sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggungjawab, biasanya berulang dan dilakukan dengan perasaan senang”(h.3). Bullyiing menjadi lebih sering terjadi justru jika tidak ada atau minimnya respons dari orangtua dan guru(h.7). Bullyiing sering terjadi karena orang menganggap apa yang dialami anak tidak dianggap terlalu berbahaya. Padahal di dalam bullyiing, anak mengalami siksaan psikologis. Melalui ucapan, melalui pukulan, atau melalui penyudutan dalam pergaulan, anak akan mengalami betapa ia merasakan hidup sendiri dan dikucilkan di lingkungan sekolah misalnya. Apa yang dinamakan bullying ini pernah saya alami sewaktu saya duduk di sekolah dasar. Di waktu itu, saya seperti merasakan tak punya teman. Hal ini karena teman-teman sekolah saya justru mengejek dan menyudutkan saya. Tidak hanya karena pelajaran yang susah saya tangkap, tetapi juga karena saya sering dihukum karena terlambat. Di waktu bermain pun, saya seolah tak boleh ikut permainan, akhirnya saya hanya melihat dan merenung sendirian. Saya jadi lebih memahami ini tatkala saya menjadi guru. Memang sebagai guru terkadang kita sering diberi aduan murid tentang suatu hal. Bila kita mengabaikan aduan tersebut, tentu hal ini semakin membuat anak menjadi semakin takut, ngeri dan merasakan sendiri dan kesepian. Sebagai guru kita mesti hati-hati dan tak boleh mengabaikan begitu saja apa yang menjadi aduan murid. Murid bisa jadi memang mengalami bullying oleh teman-temannya. Anggapan wajar dan pembiaran justru akan mengakibatkan siksa psikologis pada sang anak.
            Menurut penulis, ada dua bentuk bullyiing, yakni secara fisik dan non fisik. Bullyiing secara fisik bisa dilakukan dalam bentuk menarik rambut, menggigit, memukul, menendang, mengunci, mengintimidasi korban di ruangan dengan mengitari, memelintir, menonjok, mendorong, mencakar, meludahi, mengancam, dan merusak kepemilikan korban (Ong,2003;Sullivan,2000). Selain itu, bullyiing dalam bentuk non fisik ada dua bentuk yakni verbal dan non-verbal. Dalam bentuk verbal bullying dapat dilakukan dengan panggilan telepon meledek, pemalakan, ancaman, intimidasi, menghasut, berkata jorok pada korban, kata-kata kasar pada korban, menekan, dan menyebarluaskan kejelekan korban. Dalam bentuk non-verbal di bagi menjadi dua yakni bentuk langsung dan tak langsung. Dalam bentuk tidak langsung misalnya manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan dalam permainan, menghasut,curang, dan sembunyi-sembunyi. Dalam bentuk langsung misalnya gerakan kasar atau mengancam, menggeram, gertakan, hentakan mengancam atau menakuti. Di sekolah bullyiing sering terjadi bukan hanya karena urusan senioritas, tetapi karena siswa yang duduk di SD, SMP maupun jenjang yang lebih atas merasa tak perlu ada pengawasan dari guru. Guru pun demikian halnya, seringkali saat istirahat justru menjadi momen bagi pelaku bullyiing untuk menyerang korbannya. Karena itulah, korban justru sering diam dan tak melakukan perlawanan. Korban hanya bisa merenungi dan diam sendiri dan merasakan sakit secara psikologis atas perlakuan teman-temannya. Tidak jarang korban bullyiing sampai melakukan tindakan bunuh diri. Hal ini karena ia sudah tidak tahan merasakan siksaan psikologis yang memuncak, selain juga karena mereka mengalami kekerasan fisik. Sekolah mestinya menyadari, bahwa bullyiing terjadi karena kurangnya pengawasan, seringkali guru BP hanya bekerja dan bertugas di kantor semata. Pengamatan dan pengawasan diluar kantor justru jarang dilakukan. Ini menyebabkan para pelaku bullyiing merasa lebih bebas dan memiliki kesempatan untuk melakukan kekerasan pada korban.
            Dalam buku ini, penulis memiliki tiga cara efektif untuk mencegah bullyiing. Diantaranya adalah dengan model Trasnteori, kedua dengan Jaringan pendukung (Supported Network), ketiga Program Sahabat (kasih SAyang dan persatuan, HArmonis,BAik budi dan Tanggungjawab. Dalam model Transteori, ada 5 tahap progress perubahan yang bisa dijadikan tolak ukur dalam kegiatan pencegahan. Diantaranya adalah tahap pra-kesadaran, kesadaran, persiapan, tindakan/aksi, dan pemeliharaan. Dalam model pencegahan kedua (Supported  Network), kita perlu membuat jaringan atau hubungan dan kerjasama yang baik antara pihak sekolah, psikolog, maupun jaringan yang lain yang memungkinkan terjadinya pemahaman kepada anak maupun orangtua sehingga ketika terjadi bullyiing kita bisa mencegah tindak tersebut agar tak berlanjut. Sedang program SAHABAT, adalah program yang menjadi temuan penulis dengan model pengembangan perilaku kasih sayang antara lingkungan sekolah, keluarga dan sosial anak. Juga kebiasaan berperilaku Harmonis, sikap baik hati dan tanggungjawab. Ketiga model inilah yang menjadi titik pokok penulis dalam buku ini. Pada intinya, bullyiing tidak mungkin terjadi bila sekolah, keluarga dan lingkungan sosial anak mengerti apa yang menjadi sebab bullyiing terjadi, dan mengerti bagaimana cara mengatasinya. Sebab lebih baik mencegah daripada melakukan pengobatan akibat trauma fisik dan psikologis yang dialami korban. Sayangnya, banyak pihak yang belum mengerti betul arti bullyiing dan cara mengatasinya. Buku ini setidaknya memberikan gambaran praktis mengenai bullyiing dan cara mencegahnya.

*) Ditulis di pagi hari, jam 06.10 menit di rumah tercinta. ( 2/1/2015)
*)Penulis adalah peminat pendidikan anak

  

1 comment:

  1. gan, beli bukunya dimana ya? kira-kira masih ada yang jual ga bukunya? trimakasih.

    ReplyDelete