klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Friday 9 January 2015

Cinta



Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

          Hari jumat yang membahagiakan, pagi-pagi aku mampir ke loper Koran. Aku melihat dan membaca beberapa koran, dan membacanya sekilas. Aku tersenyum lega, tulisanku muat lagi Esaiku berjudul Suwung, Penghormatan kepada Sang Dalang dimuat di Harian Joglosemar (9/1/15). Pagi itu hari yang menyenangkan, aku malah jadi fotrografer waktu anak-anak yang lucu-lucu pada mau mendaftarkan sekolah di sekolahku. Ada anak yang mulanya tak mau difoto, eh, pas mau bermain lama, ia malah minta difoto. 
Tata dan Luluk saat asyik bermain
 
         Senang rasanya bisa bermain dengan anak. Anak-anak memang selalu menjadi dunia yang mengejutkan dan tak terduga. Sepulang sekolah aku ke Gladag, aku menemui dua buku yang mau kubeli. Buku pertama adalah buku langka berjudul PELANGI, terbitan 1948. Buku ini dikumpulkan oleh St. Takdir Alisjahbana, penerbitnya Pustaka Rakjat. Buku kedua buku Erich Fromm, berjudul the ART of Loving(2005) terbitan Gramedia. Aku sumringah, senang tak terkira, tapi sepulang dari Gladag kepalaku pusing. Waktu main sama anak-anak di sekolahan, aku diputar sampai tak berhenti, mereka tertawa riang. Sebelumnya tanganku jatuh, sikuku lecet, untung kamera yang kubawa tak jatuh dan rusak. Malamnya kuhabiskan buku Erich Fromm, selesai pagi harinya. Erich Fromm mendedah banyak hal mengenai cinta ini. Tentu kita sebagai manusia pernah mengalami jatuh cinta. Cinta memang bukan hal yang aneh, asing bagi kita (manusia). Erich Fromm di buku ini pun menuliskan bahwa cinta adalah bagian dari eksistensi manusia. Dari cinta itulah, manusia sebenarnya berfikir, menggunakan rasio, dan memutuskan untuk mencintai atau dicintai.
          Ada banyak hal yang menyebabkan manusia dicintai dan mencintai. Tetapi, menurut Erich Fromm, ada kecenderungan yang janggal mengenai cinta di abad sekarang. Di abad ke-20, yang menarik adalah gadis yang suka minum- minuman keras dan merokok, yang tegar dan seksi; dewasa ini, modenya menuntut yang lebih sayang kepada keluarga dan malu-malu kucing. Pada akhir abad ke-19, dan awal abad ini, laki-laki harus agresif dan ambisius—dewasa ini laki-laki harus suka bergaul dan toleran agar menjadi “paket” yang menarik (h.4). Erich Fromm menilai keterikatan pada trend dan mode kemudian menjadikan cinta menjadi sesuatu yang bersifat semu dan sementara. Yang pada mulanya cinta adalah bersifat penyatuan, dan abadi.
          Penjelasan-penjelasan Erich Fromm menarik, ia tak hanya mengurai sejarah cinta dari masa kelahiran, sampai kita dewasa. Cinta menurut Fromm, dibagi menjadi lima macam yakni cinta sesama, cinta ibu, cinta erotis, cinta diri, cinta kepada Allah. Di bagian cinta ibu, kita akan mengenali dan menemukan bahwa cinta ibu sering tak bersyarat, cinta ibu diibaratkan mirip dengan bumi, yang selalu memberi dan membahagiakan anaknya tanpa meminta apapun. Berbeda dengan cinta Ayah yang cenderung mempertimbangkan banyak hal salah satunya kepatuhan dan keinginan-keinginannya untuk dituruti. Pada cinta kepada sesama, Erich Fromm menekankan penyatuan sebagai peleburan sekaligus penyatuan jiwa.
          Pada bab akhir, Erich Fromm menuliskan catatan panjangnya mengenai cinta dan kehancuran dalam masyarakat barat kontemporer. “Tidak seorang peneliti objektif pun tentang kehidupan Barat yang dapat menyangsikan bahwa cinta—cinta sesame, cinta ibu dan cinta erotis –merupakan fenomena yang relative jarang, dan bahwa tempatnya telah digantikan oleh sejumlah cinta –semu yang dalam kenyataannya merupakan bentuk kehancuran cinta”. Fromm menilai bahwa kehidupan Barat yang bisa dikatakan telah menjadi modern kemudian menerapkan nilai-nilai, dan standarisasi kehidupan menurut apa yang mereka tentukan sendiri. Fromm mengutip mengenai pengertian manusia modern dari Huxley dalam bukunya Brave New World  : Jika individu merasakan, masyarakat menyebutkan”, “Jangan pernah menunda sampai besok kesenangan yang bisa kamu peroleh hari ini” atau seperti pernyataan : “semua orang berbahagia hari ini”. Kebahagiaan manusia dewasa ini adalah ‘bersenang-senang’. Bersenang-senang terdapat dalam kepuasan mengonsumsi, dan mengerti berbagai komoditas, tontonan, makanan, minuman, rokok, orang,kuliah, buku, film— semua yang dikonsumsi dan diteguk(107).
          Saya tertarik dengan apa yang ditulis di bab terakhir buku ini mengenai “praktik cinta”. Ia menuliskan tentang bagaimana kita (manusia modern) kehilangan waktu. “manusia modern berpikir dirinya telah kehilangan sesuatu—waktu— ketika tidak melakukan banyak hal dengan cepat ; namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan waktu yang ia dapatkan –kecuali menghabiskannya” (h.136).
          Di sisi inilah, cinta ternyata membutuhkan kesabaran, kesabaran justru jarang didapatkan dari manusia modern. Konsepsi waktu dalam jawa yang sering dikatakan dengan “alon-alon waton kelakon” (pelan-pelan asal selamat sampai tujuan), kemudian  dengan cepatnya diubah “alon-alon ra kelakon” (pelan-pelan tidak akan sampai tujuan). Ternyata, orang Jawa punya konsepsi waktu yang disepakati oleh Erich Fromm. Artinya, dengan kesabaran, kita tak hanya bakal mendapat ketenteraman, tetapi kita juga sedang melakukan suatu jeda, istirahat untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bernilai daripada ketergesaan dan kecepatan yang serba menghanyutkan. Pada sisi inilah, cinta jadi menimbulkan bahagia, kebahagiaan bagiku, bagimu, dan bagi kita semua tentunya.

*) Solo, Warnet Aurora, 10/1/15       
*)Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

No comments:

Post a Comment