klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Friday 5 December 2014

Aruna, Kota dan Cerita




Arif Saifudin Yudistira*)

Pengarang novel ini, di awal novelnya sampai di tengah novelnya berhasil  mengajak kita mabuk lidah. Kita diajak memerankan diri sebagai seorang pencicip sekaligus seorang pengamat dan seorang yang menguji lidah kita dengan berbagai sajian. Tetapi urusan kuliner tiba-tiba jadi kacau, saat ia bertemu wine dan romantika remaja kota

        Selasa, 2 Desember 2014 aku sakit. Tiga hari berturut-turut aku tak keluar rumah. Badanku meriang. Tapi mataku masih melek, badan malas untuk bergerak bebas, tapi kuusahakan untuk menyentuhi buku, Aruna dan Lidahnya (2014). Novel memikat, kubeli dari hasil dewan juri lomba shalat anak-anak tk. Ada perasaan senang, terharu sekaligus lucu melihat anak-anak kita melakukan adegan shalat. Anak-anak memang selalu begitu, membuat kita termangu oleh kejadian-kejadian dan polah tingkahnya yang mengejutkan. Waktu itu hari-hariku dipenuhi dengan hujan yang merintik. Diiringi hujan aku menghabiskan novel Aruna & Lidahnya (2014) aku mengikuti kisah Aruna, pelan-pelan aku diajak untuk masuk ke dunia LSM, en ji o, persahabatan, dunia kelas menengah, sampai kepada konspirasi dan bagaimana lika-liku proyek kementrian. Saya sempat berfikir, barangkali teman-teman saya yang mengalami kerja di en ji o akan mengalami kisah semacam aruna. Ia harus berdiri dititik antara dua sisi. Pada titik ini, Aruna, si tukang makan dan hobi menguji lidahnya, ia mengelilingi nusantara, dengan sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Sembari menunaikan tugasnya sebagai ahli wabah, ia mengurus proyek flu unggas, ia pun menyusuri kelezatan masakan nusantara di setiap daerah yang ia tinggali. Tak hanya merasakan berbagai macam menu, ia pun beradu pengalaman bersama chef terkenal yang juga seorang sahabatnya pemilik restaurant di Jakarta. Chef Bono, tubuh gendut dan bibir dowernya cukup lihai untuk menilai dan mengurusi urusan makanan. Barangkali chef Bono ini jelas berbeda dengan Bondan sang pencicip yang terkenal itu. Ada yang berbeda dari Bono ini, selain potret dan gayanya yang kelas menengah, ia pun berhasil menyelesaikan sekolahnya di luar negeri dalam urusan makanan alias jurusan permasakan.
               Di tengah-tengah perjalanannya itu pula, ada terselip kisah sahabat Aruna yang satunya yang bernama Nadezhda. Kehidupan Nadezhda yang berbau India itu, layak seperti model cantik, penuh gairah , berbodi sexy. Ternyata, di novel ini dikisahkan sebagai seorang perempuan yang cukup memiliki pengalaman dalam urusan ngesex. Saya mulai pelan-pelan menyusuri kisah ini. Nadezhda pun akhirnya ketemu dengan Bono dan Aruna di projek pemberantasan dan pendataan flu unggas. Setelah projek berjalan, pelan-pelan Aruna tak hanya merasakan ada yang kurang dengan lidahnya. Ia merasai ada yang berbeda antara dirinya dengan Nadezhda. Semacam kecemburuan dan iri, ketika Nadezhda menjadi pusat perhatian dan selalu bisa tampil menarik. Awalnya, keirian ini hanya berjalan biasa, tapi semua seolah berubah setelah Aruna membaca diary Nadezhda. Saat itu saya menemukan sesuatu yang ganjil dari novel ini. Saya menjadi tak menemukan lagi bagaimana lidah Aruna yang lihai mengurusi dan mengomentari makanan. Tiba-tiba argumennya dipatahkan begitu saja oleh Bono dan oleh Nadezhda. Setelah membaca diary Nadezhda, tiba-tiba Aruna jadi merasakan keinginan lidahnya mencicipi yang lain lebih dari makanan. Ia tiba-tiba ingin sekali mencicipi seks, ia merasakan hidupnya terasa kosong. Disini saya menemukan titik yang ganjil, mengapa sang penguji lidah, sang penikmat makanan, komentator paling ulung dalam urusan makanan. Aruna, gadis cantik, manis, gendut, tiba-tiba harus meninggalkan pelan-pelan, dan menemukan ketidakpuasan dalam urusan makanan (kuliner). Tiba-tiba saja, ia menjadi seorang perempuan yang ingin sekali menikmati fantasi seksual. Pada dasarnya memang tokoh-tokoh di novel ini memang tokoh yang hidup dalam dunia kelas menengah. Hotel, restaurant, dan tempat-tempat hiburan adalah dunia yang biasa bagi kelas menengah apalagi di Jakarta. Tetapi inilah yang ganjil, saya merindukan Aruna menikmati titik tertinggi dari urusan lidahnya. Ia menemukan Ekstase tertinggi dalam urusan makanan. Sayang cerita itu tak saya temukan,yang ada justru sebaliknya Aruna justru iri, ingin ngesex pula. Dititik inilah, rival yang semula dicurigai dari awal (Farish) yang awalnya diduga tertarik dengan Nadezhda, ternyata diam-diam dirindukan oleh Aruna. Aruna pada akhirnya ngesex dengan Farish. Tapi saat-saat indahnya justru diselingin berita duka, tokoh pujaan Aruna, Leon justru mati karena pesawatnya kecelakaan dalam perjalanannya ke Makasar. Urusan ngesex menjadi lebih lengkap tatkala projek mengurusi kasus flu unggas jadi berhenti gara-gara konspirasi dan pengkhianatan yang dilakukan Irma sahabat Aruna sendiri. Disaat itulah, petualangan dan pencarian urusan lidah berhenti. Di titik ini saya menemukan novel ini jadi tak lagi seru. Padahal saya menunggu cerita dan kisah Aruna lebih jauh mengelilingi kuliner nusantara. Novel ini memang novel berkarakter khas kehidupan kota. Dunia kota seperti tak ada yang menarik, ia di hotel, pindah ke tempat makan, pulang tidur lagi di hotel. Dunia ini bagiku jadi terasa kaku, tak menarik. Tetapi penceritaan Laksmi membawa dunia imaji dengan dunia realitas si tokoh menjadi unik. Ia membawa kisah mimpi-mimpi Aruna, untuk memasuki realitas Aruna sendiri. Ada semacam usaha untuk mengaitkan dunia yang imajiner dengan dunia riil.
     Di posisi inilah, saya kira letak Laksmi jadi seperti mengurangi nilai kelebihan novelnya. Pengarang novel ini, di awal novelnya sampai di tengah novelnya berhasil  mengajak kita mabuk lidah. Kita diajak memerankan diri sebagai seorang pencicip sekaligus seorang pengamat dan seorang yang menguji lidah kita dengan berbagai sajian. Tetapi urusan kuliner tiba-tiba jadi kacau, saat ia bertemu wine dan romantika remaja kota. Sebenarnya Aruna sudah tak lagi remaja, tapi masa perawan tuanya seperti menjadi ganjil tatkala dipertemukan dengan Farish, si tokoh tampan dalam novel ini. Adegan seksual yang terjadi antara Aruna dan Farish pun tak diawali dengan makan makanan yang khas. Minum purwoceng anget misalnya, tak ada kisah semacam itu. Adegan pun jadi wagu tatkala ditambahi dengan kevulgaran Aruna yang mengakui begitu menuruti permintaan Farish saat ia meminta sex oral. Ah…. Sampai disini saya jadi muak. Novel ini kemudian mengingatkan saya dengan pendapat kelompok jurnal Boemi Poetra yang memberikan hujatan terhadap sastra lender. Dititik ini saya merasa ada benarnya, padahal tak semestinya urusan kuliner yang penuh sensasi dan filsafat kemudian hilang begitu saja karena secuel adegan seksualitas antara Aruna (tokoh utama) dengan temannya Farish. Memang pada akhirnya perempuan (perawan tua) membutuhkan seks. Tetapi kisah seksualitas di novel ini serasa hambar, apalagi terkesan menghapus kegilaan Aruna terhadap urusan makanan. Di akhir novel ini saya justru menemukan Aruna yang jadi hilang, Aruna yang sudah tak lagi menjadi si “jago lidah” lagi. Barangkali begitulah kehidupan perempuan kota, apalagi kelas menengah. Ia seperti perempuan yang merindukan kebebasan dan kemerdekaan yang tanggung dan tak total. Ia tak menikah, menginginkan menjadi ibu, tetapi tak mau menikah, aduh…..

Hujan masih turun rintik-rintik, Aruna, gadis manis penikmat kuliner, menyedihkan sekali akhir kisahmu….


*) Peresensi adalah pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
      

No comments:

Post a Comment