Arif Saifudin Yudistira*)
Pengarang
novel ini, di awal novelnya sampai di tengah novelnya berhasil mengajak kita mabuk lidah. Kita diajak memerankan
diri sebagai seorang pencicip sekaligus seorang pengamat dan seorang yang
menguji lidah kita dengan berbagai sajian. Tetapi urusan kuliner tiba-tiba jadi
kacau, saat ia bertemu wine dan
romantika remaja kota
Selasa,
2 Desember 2014 aku sakit. Tiga hari berturut-turut aku tak keluar rumah. Badanku
meriang. Tapi mataku masih melek, badan malas untuk bergerak bebas, tapi
kuusahakan untuk menyentuhi buku, Aruna
dan Lidahnya (2014). Novel memikat, kubeli dari hasil dewan juri lomba
shalat anak-anak tk. Ada perasaan senang, terharu sekaligus lucu melihat
anak-anak kita melakukan adegan shalat. Anak-anak memang selalu begitu, membuat
kita termangu oleh kejadian-kejadian dan polah tingkahnya yang mengejutkan. Waktu
itu hari-hariku dipenuhi dengan hujan yang merintik. Diiringi hujan aku
menghabiskan novel Aruna & Lidahnya (2014)
aku mengikuti kisah Aruna, pelan-pelan aku diajak untuk masuk ke dunia LSM, en
ji o, persahabatan, dunia kelas menengah, sampai kepada konspirasi dan
bagaimana lika-liku proyek kementrian. Saya sempat berfikir, barangkali
teman-teman saya yang mengalami kerja di en ji o akan mengalami kisah semacam
aruna. Ia harus berdiri dititik antara dua sisi. Pada titik ini, Aruna, si
tukang makan dan hobi menguji lidahnya, ia mengelilingi nusantara, dengan sekali
merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Sembari menunaikan tugasnya sebagai
ahli wabah, ia mengurus proyek flu unggas, ia pun menyusuri kelezatan masakan
nusantara di setiap daerah yang ia tinggali. Tak hanya merasakan berbagai macam
menu, ia pun beradu pengalaman bersama chef terkenal yang juga seorang
sahabatnya pemilik restaurant di Jakarta. Chef Bono, tubuh gendut dan bibir
dowernya cukup lihai untuk menilai dan mengurusi urusan makanan. Barangkali chef
Bono ini jelas berbeda dengan Bondan sang pencicip yang terkenal itu. Ada yang
berbeda dari Bono ini, selain potret dan gayanya yang kelas menengah, ia pun
berhasil menyelesaikan sekolahnya di luar negeri dalam urusan makanan alias
jurusan permasakan.
Di tengah-tengah
perjalanannya itu pula, ada terselip kisah sahabat Aruna yang satunya yang
bernama Nadezhda. Kehidupan Nadezhda yang berbau India itu, layak seperti model
cantik, penuh gairah , berbodi sexy. Ternyata, di novel ini dikisahkan sebagai
seorang perempuan yang cukup memiliki pengalaman dalam urusan ngesex. Saya mulai
pelan-pelan menyusuri kisah ini. Nadezhda pun akhirnya ketemu dengan Bono dan
Aruna di projek pemberantasan dan pendataan flu unggas. Setelah projek
berjalan, pelan-pelan Aruna tak hanya merasakan ada yang kurang dengan
lidahnya. Ia merasai ada yang berbeda antara dirinya dengan Nadezhda. Semacam kecemburuan
dan iri, ketika Nadezhda menjadi pusat perhatian dan selalu bisa tampil
menarik. Awalnya, keirian ini hanya berjalan biasa, tapi semua seolah berubah
setelah Aruna membaca diary Nadezhda. Saat itu saya menemukan sesuatu yang
ganjil dari novel ini. Saya menjadi tak menemukan lagi bagaimana lidah Aruna
yang lihai mengurusi dan mengomentari makanan. Tiba-tiba argumennya dipatahkan
begitu saja oleh Bono dan oleh Nadezhda. Setelah membaca diary Nadezhda,
tiba-tiba Aruna jadi merasakan keinginan lidahnya mencicipi yang lain lebih
dari makanan. Ia tiba-tiba ingin sekali mencicipi seks, ia merasakan hidupnya
terasa kosong. Disini saya menemukan titik yang ganjil, mengapa sang penguji
lidah, sang penikmat makanan, komentator paling ulung dalam urusan makanan.
Aruna, gadis cantik, manis, gendut, tiba-tiba harus meninggalkan pelan-pelan,
dan menemukan ketidakpuasan dalam urusan makanan (kuliner). Tiba-tiba saja, ia
menjadi seorang perempuan yang ingin sekali menikmati fantasi seksual. Pada dasarnya
memang tokoh-tokoh di novel ini memang tokoh yang hidup dalam dunia kelas
menengah. Hotel, restaurant, dan tempat-tempat hiburan adalah dunia yang biasa
bagi kelas menengah apalagi di Jakarta. Tetapi inilah yang ganjil, saya
merindukan Aruna menikmati titik tertinggi dari urusan lidahnya. Ia menemukan
Ekstase tertinggi dalam urusan makanan. Sayang cerita itu tak saya temukan,yang
ada justru sebaliknya Aruna justru iri, ingin ngesex pula. Dititik inilah,
rival yang semula dicurigai dari awal (Farish) yang awalnya diduga tertarik
dengan Nadezhda, ternyata diam-diam dirindukan oleh Aruna. Aruna pada akhirnya
ngesex dengan Farish. Tapi saat-saat indahnya justru diselingin berita duka,
tokoh pujaan Aruna, Leon justru mati karena pesawatnya kecelakaan dalam
perjalanannya ke Makasar. Urusan ngesex
menjadi lebih lengkap tatkala projek mengurusi kasus flu unggas jadi berhenti
gara-gara konspirasi dan pengkhianatan yang dilakukan Irma sahabat Aruna
sendiri. Disaat itulah, petualangan dan pencarian urusan lidah berhenti. Di titik
ini saya menemukan novel ini jadi tak lagi seru. Padahal saya menunggu cerita
dan kisah Aruna lebih jauh mengelilingi kuliner nusantara. Novel ini memang
novel berkarakter khas kehidupan kota. Dunia kota seperti tak ada yang menarik,
ia di hotel, pindah ke tempat makan, pulang tidur lagi di hotel. Dunia ini
bagiku jadi terasa kaku, tak menarik. Tetapi penceritaan Laksmi membawa dunia
imaji dengan dunia realitas si tokoh menjadi unik. Ia membawa kisah mimpi-mimpi
Aruna, untuk memasuki realitas Aruna sendiri. Ada semacam usaha untuk mengaitkan
dunia yang imajiner dengan dunia riil.
Di posisi
inilah, saya kira letak Laksmi jadi seperti mengurangi nilai kelebihan
novelnya. Pengarang novel ini, di awal novelnya sampai di tengah novelnya berhasil
mengajak kita mabuk lidah. Kita diajak memerankan
diri sebagai seorang pencicip sekaligus seorang pengamat dan seorang yang
menguji lidah kita dengan berbagai sajian. Tetapi urusan kuliner tiba-tiba jadi
kacau, saat ia bertemu wine dan
romantika remaja kota. Sebenarnya Aruna sudah tak lagi remaja, tapi masa
perawan tuanya seperti menjadi ganjil tatkala dipertemukan dengan Farish, si
tokoh tampan dalam novel ini. Adegan seksual yang terjadi antara Aruna dan
Farish pun tak diawali dengan makan makanan yang khas. Minum purwoceng anget
misalnya, tak ada kisah semacam itu. Adegan pun jadi wagu tatkala ditambahi
dengan kevulgaran Aruna yang mengakui begitu menuruti permintaan Farish saat ia
meminta sex oral. Ah…. Sampai disini saya jadi muak. Novel ini kemudian
mengingatkan saya dengan pendapat kelompok jurnal Boemi Poetra yang memberikan
hujatan terhadap sastra lender. Dititik ini saya merasa ada benarnya, padahal
tak semestinya urusan kuliner yang penuh sensasi dan filsafat kemudian hilang
begitu saja karena secuel adegan seksualitas antara Aruna (tokoh utama) dengan
temannya Farish. Memang pada akhirnya perempuan (perawan tua) membutuhkan seks.
Tetapi kisah seksualitas di novel ini serasa hambar, apalagi terkesan menghapus
kegilaan Aruna terhadap urusan makanan. Di akhir novel ini saya justru
menemukan Aruna yang jadi hilang, Aruna yang sudah tak lagi menjadi si “jago
lidah” lagi. Barangkali begitulah kehidupan perempuan kota, apalagi kelas
menengah. Ia seperti perempuan yang merindukan kebebasan dan kemerdekaan yang
tanggung dan tak total. Ia tak menikah, menginginkan menjadi ibu, tetapi tak
mau menikah, aduh…..
Hujan masih turun rintik-rintik, Aruna, gadis manis
penikmat kuliner, menyedihkan sekali akhir kisahmu….
*) Peresensi adalah
pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment