Oleh Arif Saifudin Y*)
Pulang menyerahkan nilai raport-an, aku merasa lega. Aku mampir ke kos
teman, iklas namanya. Disana ada buku-buku, aku kelayapan, mencari buku-buku
bagus, tak hanya buku Ivan Illich yang berjudul bebas dari sekolah, aku
menemukan beberapa buku pendidikan lawas yang mengulas Mohammad Syafei dan Ki
Hajar Dewantara, aku merasa beruntung. Di saat aku sinau pendidikan aku merasa
berjodoh dengan buku-buku itu. Aku juga menemukan buku bagus dari E.F.
Schumacher berjudul keluar dari kemelut aku takjub, kukumpulkan buku-buku itu
kutaruh di bagian teratas untuk memudahkanku mengingat kembali buku-buku itu. Aku
berniat memfotokopinya, tapi sudahlah kulupakan rencana itu, sebab agak ngenes kalo ingat utangku
belum lunas. Kalau bukan karena kebaikan mbak dan mas dari potokopian jogja,
barangkali aku sudah jadi buron karena gagal bayar utang. Astaghfirulloh,
semoga ndak sampai seperti itu. Aku hanya berdoa Tuhan bermurah hati terus
menerus dan melimpahkan rejeki dan jalan untuk keluar dari utang. Kadang aku
berfikir hidup memang penuh dengan berbagai utang, termasuk utang budi. Aku melupakan
utang, aku ngobrol tentang rencana-rencana ke depan bersama temanku. Aku berkisah
sana-sini, ngalor-ngidul, intinya butuh komitmen. Aku lanjutkan untuk ngopi,
dan meneruskan membaca buku bagus. Buku ini cukup langka, di negeri ini kulacak
hanya beberapa perpustakaan yang punya. Buku ini terbit di tahun 1989, di bawah
terbitan Arcan, penerbit tak begitu terkenal sekarang ini, mungkin sudah kukut.
Buku ini dicetak di London tahun 69,77, sampai 84. Buku berjarak lama, tetapi
tak masalah, isinya masih menyegarkan bagi perkembangan dunia anak sekarang
ini. Setelah puas membaca, eh ibu kos menawari jagung godog. Siang yang hangat ,
bersantap jagung dan minum kopi, sambil baca buku, ah gaya intelektual borjuis
jawa bener pikirku. Tak lama pak kos dulu mengobrolkan situasi politik kita
sekarang. Ia mengeluh, ada pesimisme, dunia ini seolah tak bias lepas dari
korupsi dari dulu sampai sekarang. Dia pesimis, konon tak percaya penuh
mahasiswa yang demo-demo. Aku sedikit kesentil, tapi aku menengahi, tapi masih
banyak pemimpin yang jujur, ia menyebut Ahok, Risma, Jokowi. Obrolan yang
tegang, kalau semua orang penuh dengan hawa ketidakpercayaan, lalu bagaimana
kita akan mempercayai Negara?. Ah lupakan, aku tak mau mengobrolkan Negara, aku
ingin belajar tentang anak.
Aku
lanjutkan baca bukuku di kampus, benar saja semula tak ada orang disana. Aku mencatat
bagian-bagian penting dari buku Chaterine Lee bertajuk Pertumbuhan dan Perkembangan Anak (1989) aku berniat
menjadikan buku ampuh ini untuk referensi esaiku. Ketika membaca buku ini, saya
menemukan bab tentang bermain. Banyak masa dan fase bermain anak-anak dari ia
berumur satu tahun sampai tiga tahun, hingga tiga tahun sampai dengan tujuh
tahun. Permainan itu tak hanya permainan eksperimental, tetapi juga permainan
fisik. Permainan eksperimental melatih indera anak, baik indera penyentuh
maupun bau. Di usia dini, anak-anak memerlukan itu untuk belajar tentang banyak
hal tidak hanya belajar tentang makanan, tetapi juga bau, dan melatih
sensitifitas indera tersebut. Selain itu, anak-anak dengan menggunakan tangan
dan kaki, ia bisa menyentuhi balok, pasir, kayu, dan mainan lainnya untuk
melatih kepekaan serta pengenalan macam benda (besar dan kecil). Saya menemukan
kalimat menarik dari Chaterine Lee dalam buku ini : “ketika kita memperhatikan
anak-anak yang sedang bermain kita bisa melihat sesuatu tentang cara mereka
belajar”(h.103). Saya jadi teringat ketika seminar dengan Gejima Hamako. Ia orang
jepang, tapi tak gila gelar. Ia mengajak bermain, tapi dengan gaya sindirannya
ia mengatakan bermain juga penting bagi orang dewasa, agar tak pikun katanya. Bahkan
orang dewasa pun perlu bermain, eh ia mengajari origami. Pengin saya mengajari Gejima untuk membuat ketupat, sayang saya tak
banyak belajar tentang cara buat ketupat di waktu kecil. Barangkali inilah
renungan, keterampilan, kebudayaan dan permainan penting. Saya merasa perlu
belajar dari Jepang soal permainan. Penting kiranya kita melestarikan permainan
kita. Bila di usia dewasa kita mengenali teater, tetapi tak setiap orang suka
teater. Saya jadi ingat gamelan, dan kesenian tradisional lainnya, hal itu tak
hanya melestarikan budaya, tapi di sisi lain juga melatih gerak tubuh kita. Secara
alamiah, tubuh yang banyak bergerak lebih kebal terhadap penyakit. Selain itu,
bermain juga melatih banyak hal, selain fisik, juga psikologis. Saya heran,
mengapa orang-orang psikologi tak banyak mengurai ini?. Orang dewasa saja
memerlukan permainan, ini terlihat tatkala kita diajak untuk outbond. Saya melihat banyak wajah-wajah yang semula murung tiba-tiba jadi
ceria dan cerah. Bila orang-orang dewasa saja memerlukan senam, bermain, untuk
menggerakkan tubuh dan psikologinya, apalagi untuk anak-anak. Saya tak menyesal
belajar tentang anak, saya diingatkan, untuk tidak terlalu kaku, tidak terlalu
serius dalam mengajar, selain bercerita, saya jadi memiliki tugas lain yakni
belajar lebih banyak tentang permainan. Hujan masih belum reda, rintiknya masih
terasa, meski aku sudah di dalam ruang kecil, dihadapan computer.
Sabtu, 20
Desember 2014
*)
Penulis adalah Peminat Pendidikan dan Sastra Anak
No comments:
Post a Comment