klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Saturday 20 December 2014

Bermain





Oleh Arif Saifudin Y*)

            Pulang menyerahkan nilai raport-an, aku merasa lega. Aku mampir ke kos teman, iklas namanya. Disana ada buku-buku, aku kelayapan, mencari buku-buku bagus, tak hanya buku Ivan Illich yang berjudul bebas dari sekolah, aku menemukan beberapa buku pendidikan lawas yang mengulas Mohammad Syafei dan Ki Hajar Dewantara, aku merasa beruntung. Di saat aku sinau pendidikan aku merasa berjodoh dengan buku-buku itu. Aku juga menemukan buku bagus dari E.F. Schumacher berjudul keluar dari kemelut aku takjub, kukumpulkan buku-buku itu kutaruh di bagian teratas untuk memudahkanku mengingat kembali buku-buku itu. Aku berniat memfotokopinya, tapi sudahlah kulupakan rencana itu, sebab agak ngenes kalo ingat utangku belum lunas. Kalau bukan karena kebaikan mbak dan mas dari potokopian jogja, barangkali aku sudah jadi buron karena gagal bayar utang. Astaghfirulloh, semoga ndak sampai seperti itu. Aku hanya berdoa Tuhan bermurah hati terus menerus dan melimpahkan rejeki dan jalan untuk keluar dari utang. Kadang aku berfikir hidup memang penuh dengan berbagai utang, termasuk utang budi. Aku melupakan utang, aku ngobrol tentang rencana-rencana ke depan bersama temanku. Aku berkisah sana-sini, ngalor-ngidul, intinya butuh komitmen. Aku lanjutkan untuk ngopi, dan meneruskan membaca buku bagus. Buku ini cukup langka, di negeri ini kulacak hanya beberapa perpustakaan yang punya. Buku ini terbit di tahun 1989, di bawah terbitan Arcan, penerbit tak begitu terkenal sekarang ini, mungkin sudah kukut. Buku ini dicetak di London tahun 69,77, sampai 84. Buku berjarak lama, tetapi tak masalah, isinya masih menyegarkan bagi perkembangan dunia anak sekarang ini. Setelah puas membaca, eh ibu kos menawari jagung godog. Siang yang hangat , bersantap jagung dan minum kopi, sambil baca buku, ah gaya intelektual borjuis jawa bener pikirku. Tak lama pak kos dulu mengobrolkan situasi politik kita sekarang. Ia mengeluh, ada pesimisme, dunia ini seolah tak bias lepas dari korupsi dari dulu sampai sekarang. Dia pesimis, konon tak percaya penuh mahasiswa yang demo-demo. Aku sedikit kesentil, tapi aku menengahi, tapi masih banyak pemimpin yang jujur, ia menyebut Ahok, Risma, Jokowi. Obrolan yang tegang, kalau semua orang penuh dengan hawa ketidakpercayaan, lalu bagaimana kita akan mempercayai Negara?. Ah lupakan, aku tak mau mengobrolkan Negara, aku ingin belajar tentang anak.


            Aku lanjutkan baca bukuku di kampus, benar saja semula tak ada orang disana. Aku mencatat bagian-bagian penting dari buku Chaterine Lee bertajuk Pertumbuhan dan Perkembangan Anak (1989) aku berniat menjadikan buku ampuh ini untuk referensi esaiku. Ketika membaca buku ini, saya menemukan bab tentang bermain. Banyak masa dan fase bermain anak-anak dari ia berumur satu tahun sampai tiga tahun, hingga tiga tahun sampai dengan tujuh tahun. Permainan itu tak hanya permainan eksperimental, tetapi juga permainan fisik. Permainan eksperimental melatih indera anak, baik indera penyentuh maupun bau. Di usia dini, anak-anak memerlukan itu untuk belajar tentang banyak hal tidak hanya belajar tentang makanan, tetapi juga bau, dan melatih sensitifitas indera tersebut. Selain itu, anak-anak dengan menggunakan tangan dan kaki, ia bisa menyentuhi balok, pasir, kayu, dan mainan lainnya untuk melatih kepekaan serta pengenalan macam benda (besar dan kecil). Saya menemukan kalimat menarik dari Chaterine Lee dalam buku ini : “ketika kita memperhatikan anak-anak yang sedang bermain kita bisa melihat sesuatu tentang cara mereka belajar”(h.103). Saya jadi teringat ketika seminar dengan Gejima Hamako. Ia orang jepang, tapi tak gila gelar. Ia mengajak bermain, tapi dengan gaya sindirannya ia mengatakan bermain juga penting bagi orang dewasa, agar tak pikun katanya. Bahkan orang dewasa pun perlu bermain, eh ia mengajari origami. Pengin saya mengajari Gejima untuk membuat ketupat, sayang saya tak banyak belajar tentang cara buat ketupat di waktu kecil. Barangkali inilah renungan, keterampilan, kebudayaan dan permainan penting. Saya merasa perlu belajar dari Jepang soal permainan. Penting kiranya kita melestarikan permainan kita. Bila di usia dewasa kita mengenali teater, tetapi tak setiap orang suka teater. Saya jadi ingat gamelan, dan kesenian tradisional lainnya, hal itu tak hanya melestarikan budaya, tapi di sisi lain juga melatih gerak tubuh kita. Secara alamiah, tubuh yang banyak bergerak lebih kebal terhadap penyakit. Selain itu, bermain juga melatih banyak hal, selain fisik, juga psikologis. Saya heran, mengapa orang-orang psikologi tak banyak mengurai ini?. Orang dewasa saja memerlukan permainan, ini terlihat tatkala kita diajak untuk outbond. Saya melihat banyak wajah-wajah yang semula murung tiba-tiba jadi ceria dan cerah. Bila orang-orang dewasa saja memerlukan senam, bermain, untuk menggerakkan tubuh dan psikologinya, apalagi untuk anak-anak. Saya tak menyesal belajar tentang anak, saya diingatkan, untuk tidak terlalu kaku, tidak terlalu serius dalam mengajar, selain bercerita, saya jadi memiliki tugas lain yakni belajar lebih banyak tentang permainan. Hujan masih belum reda, rintiknya masih terasa, meski aku sudah di dalam ruang kecil, dihadapan computer.

Sabtu, 20 Desember 2014

*) Penulis adalah Peminat Pendidikan dan Sastra Anak 

No comments:

Post a Comment