Oleh Arif Saifudin
Yudistira*)
" Sudah waktunya kita tak memandang sebelah mata
peran dan partisipasi anak dalam setiap aspek kehidupan"
Sebutan
“anak-anak” sering membuat kita lupa dan menganggap rendah dirinya. Kaum dewasa
menganggap anak-anak sebagai makhluk yang baru tumbuh dan belum dianggap layak
disebut partner dalam menyelesaikan suatu hal. Karena itulah yang sering
terjadi anak harus menunggu waktu untuk menjadi dewasa agar ia bisa melakukan
banyak hal. Akan tetapi, stereotip semacam itulah yang membuat anak kemudian
mencari jalan lain untuk menunjukkan eksistensinya. Ia kemudian menunjukkan
kegiatan yang sebelumnya diremehkan orang dewasa, misalnya bekerja. Anak-anak
di kota-kota besar sering melakoni ini, tak hanya itu, di desa-desa karena
ucapan seorang dewasa (orangtua) anak-anak kemudian membuktikan bahwa apa yang
dikatakan orang dewasa tentang dirinya tidak benar. Orang dewasa sering
menganggap anak-anak tidak berguna, pemalas dan menyusahkan. Sebagaimana yang
ditulis Robert Chambers dalam buku Anak-Anak
Membangun Kesadaran Kritis (2002) : “ orang dewasa” yang bersentuhan
langsung dengan anak- anak dan remaja masih menganggap bahwa kelompok usia
belia ini bodoh maka perlu diajar; tidak bertanggungjawab maka perlu
didisiplinkan; belum matang maka perlu dididik ; tidak mampu maka perlu
dilindungi ; menyusahkan maka “ tidak usah didengarkan” ; namun ironisnya
sebagai sumber daya mereka sering dimanfaatkan”. Kalimat terakhir dari Robert
Chambers ini serasa menusuk dan benar adanya. Anak-anak meski dianggap sebelah
mata oleh kaum dewasa, tetapi sebagai sumber daya mereka sering dimanfaatkan. Mereka
bukan hanya dipaksa untuk bekerja dan melakukan aktifitas yang liar di jalanan.
Anak-anak kita secara sadar ataupun tidak memiliki potensi untuk bergerak
lebih. Sebenarnya siapa yang kita maksud dengan anak-anak?, Mansoer Fakih mengutip
dalam KHA (Konvensi Hak Anak) didefinisikan sebagai setiap orang yang berusia
dibawah 18 tahun. Anak-anak sebenarnya memiliki kemampuan lebih untuk berkreasi
dan berbuat lebih bila mereka berpartisipasi dalam setiap kegiatan apapun.
Mengapa selama ini mereka terpaksa tidak dianggap dan disingkirkan?. Hal ini
karena ‘orang dewasa’ selain menguasai
arena rumah tangga dan masyarakat, mereka juga menguasai ilmu dan perubahan
sosial. Karena itulah dalam ilmu sosial dan pembangunan tidak pernah melibatkan
anak sebagai subjek perubahan (Faqih, 2002 :xix). Judith Ennew telah melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai topik ini dan menghasilkan kesimpulan menarik
: “Anak-anak adalah pribadi –pribadi yang sanggup berinteraksi dengan sumber
daya dan sejarah, yang perasaan dan opini individualnya sungguh sangat
berharga. Setiap program dan kerja-kerja senantiasa dilakukan ‘bersama mereka’
bukannya sekedar ‘untuk mereka’ akan lebih mendorong dan memudahkan kemungkinan
bagi partisipasi sepenuhnya”. Buku
Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis(2002) adalah kisah bagaimana anak-anak
di belahan dunia di daerah konflik, maupun di daerah miskin sekalipun bisa
untuk dilibatkan lebih dalam usaha membangun dunia yang lebih baik. Memang pada
awalnya mereka memperoleh pengetahuan mereka dari kaum dewasa, tetapi dengan
berkembangnya waktu, anak-anak mampu untuk berpartisipasi aktif dalam
pembangunan. Buku ini mengajak kita untuk merefleksikan kembali peran anak
dalam kehidupan kita, sebagai kaum dewasa, kita tak bisa semena-mena dan
menganggap anak kita lemah dan tak berdaya. Justru penafikan peran anak ini,
kelak akan mengakibatkan anak menjadi tak percaya diri dan semakin menganggap
bahwa urusan kehidupan ini memang dikuasai orang dewasa. Akan tetapi yang
sering terjadi anak-anak seolah dijadikan objek dan menjadi alat untuk
kekuasaan dan legitimasi kaum dewasa. Sering hal ini terjadi utamanya di daerah
bencana, tidak hanya di Afganisthan, di Irak, anka-anak tak mendapat dengan
mudah pendidikan dan kebebasan mereka. Saya jadi teringat film “BuddhaCollapsed out
of Shame” yang disutradarai oleh seorang remaja Iran, Hana Makhmalbaf . Ia adalah sineas cilik yang luar biasa, dan
mengejutkan. Ia telah bersuara melampaui apa yang orang atau kaum dewasa
pikirkan selama ini tentang Afganishtan. Posisi dan potensi anak yang
sedemikian penting itulah yang tak bisa dinafikkan dalam pembangunan. Hal ini
sering sekali ketika dunia industri tak hanya mengajak anak-anak untuk bekerja
di dalamnya, selain itu, mereka juga belajar tentang dunia artis dan hiruk
pikuk di dalamnya diam-diam. Dari berbagai acara di televisi yang melibatkan
anak (artis cilik) di negeri ini, kita pun semakin mengerti bahwa anak-anak
bukan sekadar objek bagi pembangunan, meliankan lebih dari itu ia adalah subjek
bagi pembangunan sendiri.
Kesadaran mengajak anak untuk kritis
dan membangun kesadaran anak untuk bergerak , tidak selalu mulus. Tidak hanya
orangtua yang menjadi kendala, sistem patriarkal selama ini yang mendominasi
negeri ini membuat “anak-anak” laki-laki maupun perempuan sering dijadikan
objek dan dipandang sebelah mata. Apalagi bila melihat banyaknya kasus kekerasan
terhadap anak, orang justru selalu membangun gerakan dari atas. Jargon-jargon
dan spanduk dari pemerintah yang menyerukan tindakan anti kekerasan kepada anak
menjadi penghias kota semata, sementara anak-anak sendiri tak dilibatkan dalam
urusan membuat aturan maupun saat gerakan pencegahan kekerasan. Anak-anak masih
saja dipandang sebagai seorang yang awam, lugu dan belum bisa berbuat banyak. Sudah waktunya kita tak memandang sebelah mata
peran dan partisipasi anak dalam setiap aspek kehidupan
No comments:
Post a Comment