klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 14 December 2014

Bergerak Bersama Anak-Anak






Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

 " Sudah waktunya kita tak memandang sebelah mata peran dan partisipasi anak dalam setiap aspek kehidupan"


          Sebutan “anak-anak” sering membuat kita lupa dan menganggap rendah dirinya. Kaum dewasa menganggap anak-anak sebagai makhluk yang baru tumbuh dan belum dianggap layak disebut partner dalam menyelesaikan suatu hal. Karena itulah yang sering terjadi anak harus menunggu waktu untuk menjadi dewasa agar ia bisa melakukan banyak hal. Akan tetapi, stereotip semacam itulah yang membuat anak kemudian mencari jalan lain untuk menunjukkan eksistensinya. Ia kemudian menunjukkan kegiatan yang sebelumnya diremehkan orang dewasa, misalnya bekerja. Anak-anak di kota-kota besar sering melakoni ini, tak hanya itu, di desa-desa karena ucapan seorang dewasa (orangtua) anak-anak kemudian membuktikan bahwa apa yang dikatakan orang dewasa tentang dirinya tidak benar. Orang dewasa sering menganggap anak-anak tidak berguna, pemalas dan menyusahkan. Sebagaimana yang ditulis Robert Chambers dalam buku Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis (2002) : “ orang dewasa” yang bersentuhan langsung dengan anak- anak dan remaja masih menganggap bahwa kelompok usia belia ini bodoh maka perlu diajar; tidak bertanggungjawab maka perlu didisiplinkan; belum matang maka perlu dididik ; tidak mampu maka perlu dilindungi ; menyusahkan maka “ tidak usah didengarkan” ; namun ironisnya sebagai sumber daya mereka sering dimanfaatkan”. Kalimat terakhir dari Robert Chambers ini serasa menusuk dan benar adanya. Anak-anak meski dianggap sebelah mata oleh kaum dewasa, tetapi sebagai sumber daya mereka sering dimanfaatkan. Mereka bukan hanya dipaksa untuk bekerja dan melakukan aktifitas yang liar di jalanan. Anak-anak kita secara sadar ataupun tidak memiliki potensi untuk bergerak lebih. Sebenarnya siapa yang kita maksud dengan anak-anak?, Mansoer Fakih mengutip dalam KHA (Konvensi Hak Anak) didefinisikan sebagai setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun. Anak-anak sebenarnya memiliki kemampuan lebih untuk berkreasi dan berbuat lebih bila mereka berpartisipasi dalam setiap kegiatan apapun. Mengapa selama ini mereka terpaksa tidak dianggap dan disingkirkan?. Hal ini karena ‘orang dewasa’ selain  menguasai arena rumah tangga dan masyarakat, mereka juga menguasai ilmu dan perubahan sosial. Karena itulah dalam ilmu sosial dan pembangunan tidak pernah melibatkan anak sebagai subjek perubahan (Faqih, 2002 :xix). Judith Ennew telah melakukan penelitian lebih lanjut mengenai topik ini dan menghasilkan kesimpulan menarik : “Anak-anak adalah pribadi –pribadi yang sanggup berinteraksi dengan sumber daya dan sejarah, yang perasaan dan opini individualnya sungguh sangat berharga. Setiap program dan kerja-kerja senantiasa dilakukan ‘bersama mereka’ bukannya sekedar ‘untuk mereka’ akan lebih mendorong dan memudahkan kemungkinan bagi partisipasi sepenuhnya”. Buku Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis(2002) adalah kisah bagaimana anak-anak di belahan dunia di daerah konflik, maupun di daerah miskin sekalipun bisa untuk dilibatkan lebih dalam usaha membangun dunia yang lebih baik. Memang pada awalnya mereka memperoleh pengetahuan mereka dari kaum dewasa, tetapi dengan berkembangnya waktu, anak-anak mampu untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Buku ini mengajak kita untuk merefleksikan kembali peran anak dalam kehidupan kita, sebagai kaum dewasa, kita tak bisa semena-mena dan menganggap anak kita lemah dan tak berdaya. Justru penafikan peran anak ini, kelak akan mengakibatkan anak menjadi tak percaya diri dan semakin menganggap bahwa urusan kehidupan ini memang dikuasai orang dewasa. Akan tetapi yang sering terjadi anak-anak seolah dijadikan objek dan menjadi alat untuk kekuasaan dan legitimasi kaum dewasa. Sering hal ini terjadi utamanya di daerah bencana, tidak hanya di Afganisthan, di Irak, anka-anak tak mendapat dengan mudah pendidikan dan kebebasan mereka. Saya jadi teringat film “BuddhaCollapsed out of Shame” yang disutradarai oleh seorang remaja Iran, Hana Makhmalbaf . Ia adalah sineas cilik yang luar biasa, dan mengejutkan. Ia telah bersuara melampaui apa yang orang atau kaum dewasa pikirkan selama ini tentang Afganishtan. Posisi dan potensi anak yang sedemikian penting itulah yang tak bisa dinafikkan dalam pembangunan. Hal ini sering sekali ketika dunia industri tak hanya mengajak anak-anak untuk bekerja di dalamnya, selain itu, mereka juga belajar tentang dunia artis dan hiruk pikuk di dalamnya diam-diam. Dari berbagai acara di televisi yang melibatkan anak (artis cilik) di negeri ini, kita pun semakin mengerti bahwa anak-anak bukan sekadar objek bagi pembangunan, meliankan lebih dari itu ia adalah subjek bagi pembangunan sendiri.
            Kesadaran mengajak anak untuk kritis dan membangun kesadaran anak untuk bergerak , tidak selalu mulus. Tidak hanya orangtua yang menjadi kendala, sistem patriarkal selama ini yang mendominasi negeri ini membuat “anak-anak” laki-laki maupun perempuan sering dijadikan objek dan dipandang sebelah mata. Apalagi bila melihat banyaknya kasus kekerasan terhadap anak, orang justru selalu membangun gerakan dari atas. Jargon-jargon dan spanduk dari pemerintah yang menyerukan tindakan anti kekerasan kepada anak menjadi penghias kota semata, sementara anak-anak sendiri tak dilibatkan dalam urusan membuat aturan maupun saat gerakan pencegahan kekerasan. Anak-anak masih saja dipandang sebagai seorang yang awam, lugu dan belum bisa berbuat banyak. Sudah waktunya kita tak memandang sebelah mata peran dan partisipasi anak dalam setiap aspek kehidupan


*) Penulis adalah pengasuh MIM PK kartasura, Pengelola Doeniaboekoe.blogspot.com

No comments:

Post a Comment