Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Kisah ini seperti mengajarkan kepada kita agar hidup kita tak sia-sia begitu saja
Begitu banyak orang mengetahui bahwa
kelak ia akan mati, tetapi, amat sedikit orang yang menyadari betapa dekatnya
kematian itu, hingga ia belajar cara menyikapi hidup. Begitulah salah satu
bagian dari kuliah Morrie bersama muridnya Mitch Albom. Pertemuan bagi Mitch mengajarkan arti yang
begitu mendalam, sayang kita sebagai manusia, sering tak menganggap pertemuan
kita dengan sahabat, teman atau manusia yang belum kita kenal sekalipun tak
dianggap sebagai sesuatu yang penting atau bermakna di dalamnya. Pertemuan dua
orang yang semula dosen dan mahasiswa ini pun demikian halnya. Semula Mitch tak
begitu ingin menemui gurunya. Tetapi pada akhirnya, pertemuan itu yang
menghasilkan kuliah dan pelajaran hidup yang dituliskan Mitch dalam bukunya Tuesdey’s With Morrie (1997). Betapa
sederhananya hidup memang, tetapi kita begitu memaknai dari yang sederhana ini,
dari yang singkat ini, sebab darinya kita mempercayai, bolehlah hidup itu
terbatas, tetapi hubungan tak bisa terbatas. Karena itulah kita masih
menganggap orang yang sudah tiada begitu hidup dan terus hidup bersama kita.
Barangkali itu pula yang dirasakan oleh Mitch tatkala mengingat hari selasa. Selasa baginya adalah pertemuan, percakapan,
dan ia seperti mendapatkan bisikan dari gurunya itu. Guru yang bernasib tak
seperti kebanyakan orang,mengetahui kapan ajal akan mendekatinya. Morrie sadar ia akan tahu dan mengerti
kapan waktunya tiba ia harus kembali. Usia tak membuatnya larut, sakit yang
dideritanya tak membuatnya kalut. Di saat itulah ia memberikan yang berbeda
dari seorang yang sudah tak berdaya, ia ingin dianggap sebagai manusia biasa,
normal tanpa sakit apa-apa. Saat itulah ia justru memberikan apa yang membuat
orang bahagia. Kehadiran Mitch disini, seperti sebuah angin segar, sekaligus
harapan baginya. Hidup seperti tak ada arti, saat tak ada lagi orang yang
mendengarkan kita. Disisi inilah, Mitch tak hanya sekadar pendengar, ia sudah
seperti anak, bagi Morrie. Mitch pun seperti tak mau meninggalkan kesempatan
terbaik untuk mengikuti kuliah terakhir dalam hidup sang professor. Fakultas
mana yang membuka kuliah semacam ini?, universitas mana yang akan mengajarkan
pelajaran seperti ini?. Tetapi inilah kehidupan, karena menarik dan indahnya,
ia seringkali membuat kita lupa, tentang “makna hidup” kita. Sebagaimana yang
dikatakan Morrie : “Begitu banyak orang menjalani hidup mereka tanpa makna sama
sekali. Mereka seperti separuh terlelap,bahkan meskipun mereka sedang sibuk
mengerjakan sesuatu yang menurut mereka penting. Ini karena mereka memburu
sasaran-sasaran yang salah. Satu-satunya cara agar hidup ini menjadi bermakna
adalah mengabdikan diri bagi masyarakat sekitar kita , dan mengabdikan diri
untuk menciptakan sesuatu yang memberi kita tujuan serta makna” (h.46).
Pelajaran ini bukan hanya mengajarkan kita kepada makna, tetapi juga membantu
kita untuk lebih mengerti apa sebenarnya peran dan sesuatu yang sudah kita
perbuat untuk hidup yang singkat dan sederhana ini. Saat itulah, orang kemudian
memahami betapa waktu adalah bagian dari sebuah lonceng yang selalu bergema
untuk mengingatkan kepada kita bahwa ada yang bakal datang untuk menghentikan
semuanya. Saya jadi mengingat ucapan Mitch Albom di buku ini, ia seperti
mengisahkan hidupnya dalam kalimat –kalimat singkat berikut ini—“surat kabar
merupakan inti hidupku, oksigenku ; setiap kali aku melihat tulisanku dimuat,
paling tidak aku tahu bahwa saat itu aku masih hidup”— pada kalimat ini aku
seperti mendapati makna hidup bagi seorang penulis. Peran surat kabar seperti
oksigen bagi penulis. Entah berapa surat kabar tahu tentang ini, tetapi penulis
tetap hidup dan bergerak. Energy dan oksigen baru itulah yang membuat penulis
merasakan bahwa ia sudah melakukan sesuatu untuk pembaca, berbagi.
Kita juga belajar bersama dari kisah
Morrie ini betapa mahalnya; kesempatan. Siapa yang mampu membeli sebuah
percakapan sederhana antara Morrie dan Mitch?, saya rasa itu melebihi dari
apapun. Dari itulah kita menemukan makna berbagi. Kesempatan membuat Morrie
pada akhirnya harus menggunakan sebaik-baiknya sisa waktu yang ia miliki, ia
pun seperti menemukan Mitch sebagai teman sekaligus seorang yang bisa
mengabarkan kepada banyak orang, bahwa hidup begitu singkat, kesempatan begitu
langka. Karena itulah, Morrie selalu bisa merasakan bahwa ia masih hidup dan
seperti biasa, ketika waktu yang sejatinya tak pernah dikendalikannya harus ia
kondisikan sedemikian rupa. Hidup baginya kemudian menjadi sesuatu yang direncanakan
dengan sebaik-baiknya dan sebaik mungkin. Apa yang dilakukan Morrie kemudian
seperti memutarbalikkan waktu yang selama ini dianggap berhenti bagi orang yang
tidak berdaya. Namun akhirnya, Morrie membantahnya. Ia bisa melakukan apa yang
sebenarnya bisa dilakukan oleh kebanyakan orang. Ia tak banyak memberikan
keluhan, ia justru memberikan kepada semua orang seruan :”Hidup kita begitu
singkat, kematian begitu dekat”. Seruan itu bukan tanpa maksud, tetapi lebih
dari itu, ia seperti menunjukkan kepada kita bagaimana cara menghadapi dan
memaknai hidup dengan memberi sampai batas akhir apa yang bisa kita lakukan.
Morrie melakukan itu di tengah keterbatasannya sebagai manusia, sekaligus membantah pendapat umumu bahwa ia tidak
berdaya. Ketidakberdayaan fisik dan sakit, bagi Morrie bukan alasan untuk tidak
berbagi dan melakukan sesuatu. Saat itulah, ia bukan lagi sekadar memberikan
riwayat dan kisah tentang apa yang ia ketahui dalam hidupnya, tetapi ia
berusaha membagi sebanyak mungkin kepada orang yang diharapkan bisa mengerti
dan menyampaikan kepada lebih banyak orang lagi, saat itulah Mitch datang
sebagai murid sekaligus sebagai penyampai. Sebagaimana
Mitch yang merasakan oksigennya adalah surat kabar, Morrie merasakan bahwa apa
yang ia sampaikan kelak akan didengar banyak orang, saat itulah, ia merasakan
ia sedang hidup, dan tak mati begitu saja. Kisah ini seperti mengajarkan kepada
kita agar hidup kita tak sia-sia begitu saja. Saat kematian datang, mimpi,
harapan dan semua yang kita rencanakan menjadi bagian dari mimpi semata. Tetapi
Morrie percaya, ia sudah melakukan apa yang bisa ia lakukan dalam hidupnya. Di
dalam waktu yang demikian singkat dan saat-saat terakhirnya, ia justru
menunjukkan kepada kita jalan untuk menikmati waktu-waktu kita setelah hidup.
Ia pada akhirnya telah berhasil mengukir jejak di hidup yang singkat ini. Kita
percaya kematian bukanlah jalan untuk menghentikan dan membunuh diri kita,
membunuh apa yang kita percayai, membunuh nilai-nilai yang kita perjuangkan.
Pada saat itulah, kita membutuhkan Mitch, yang akan menuliskan kematian kita
bukanlah sesutu yang sia-sia.
Pada
akhirnya yang digdaya bukan lagi harta dan kuasa, melainkan apa yang sudah kita
beri dan bagi kepada sesama kita. Saat itulah kita dikenang dan tetap ada
bersama mereka yang hidup dari nilai dan makna yang sudah kita berikan.
*) Penulis adalah pegiat komunitas tanda
tanya
No comments:
Post a Comment