klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 7 December 2014

Hidup…





Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

Kisah ini seperti mengajarkan kepada kita agar hidup kita tak sia-sia begitu saja
 
            Begitu banyak orang mengetahui bahwa kelak ia akan mati, tetapi, amat sedikit orang yang menyadari betapa dekatnya kematian itu, hingga ia belajar cara menyikapi hidup. Begitulah salah satu bagian dari kuliah Morrie bersama muridnya Mitch Albom.  Pertemuan bagi Mitch mengajarkan arti yang begitu mendalam, sayang kita sebagai manusia, sering tak menganggap pertemuan kita dengan sahabat, teman atau manusia yang belum kita kenal sekalipun tak dianggap sebagai sesuatu yang penting atau bermakna di dalamnya. Pertemuan dua orang yang semula dosen dan mahasiswa ini pun demikian halnya. Semula Mitch tak begitu ingin menemui gurunya. Tetapi pada akhirnya, pertemuan itu yang menghasilkan kuliah dan pelajaran hidup yang dituliskan Mitch dalam bukunya Tuesdey’s With Morrie (1997). Betapa sederhananya hidup memang, tetapi kita begitu memaknai dari yang sederhana ini, dari yang singkat ini, sebab darinya kita mempercayai, bolehlah hidup itu terbatas, tetapi hubungan tak bisa terbatas. Karena itulah kita masih menganggap orang yang sudah tiada begitu hidup dan terus hidup bersama kita. Barangkali itu pula yang dirasakan oleh Mitch tatkala mengingat hari selasa.  Selasa baginya adalah pertemuan, percakapan, dan ia seperti mendapatkan bisikan dari gurunya itu. Guru yang bernasib tak seperti kebanyakan orang,mengetahui kapan ajal akan mendekatinya. Morrie sadar ia akan tahu dan mengerti kapan waktunya tiba ia harus kembali. Usia tak membuatnya larut, sakit yang dideritanya tak membuatnya kalut. Di saat itulah ia memberikan yang berbeda dari seorang yang sudah tak berdaya, ia ingin dianggap sebagai manusia biasa, normal tanpa sakit apa-apa. Saat itulah ia justru memberikan apa yang membuat orang bahagia. Kehadiran Mitch disini, seperti sebuah angin segar, sekaligus harapan baginya. Hidup seperti tak ada arti, saat tak ada lagi orang yang mendengarkan kita. Disisi inilah, Mitch tak hanya sekadar pendengar, ia sudah seperti anak, bagi Morrie. Mitch pun seperti tak mau meninggalkan kesempatan terbaik untuk mengikuti kuliah terakhir dalam hidup sang professor. Fakultas mana yang membuka kuliah semacam ini?, universitas mana yang akan mengajarkan pelajaran seperti ini?. Tetapi inilah kehidupan, karena menarik dan indahnya, ia seringkali membuat kita lupa, tentang “makna hidup” kita. Sebagaimana yang dikatakan Morrie : “Begitu banyak orang menjalani hidup mereka tanpa makna sama sekali. Mereka seperti separuh terlelap,bahkan meskipun mereka sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang menurut mereka penting. Ini karena mereka memburu sasaran-sasaran yang salah. Satu-satunya cara agar hidup ini menjadi bermakna adalah mengabdikan diri bagi masyarakat sekitar kita , dan mengabdikan diri untuk menciptakan sesuatu yang memberi kita tujuan serta makna” (h.46). Pelajaran ini bukan hanya mengajarkan kita kepada makna, tetapi juga membantu kita untuk lebih mengerti apa sebenarnya peran dan sesuatu yang sudah kita perbuat untuk hidup yang singkat dan sederhana ini. Saat itulah, orang kemudian memahami betapa waktu adalah bagian dari sebuah lonceng yang selalu bergema untuk mengingatkan kepada kita bahwa ada yang bakal datang untuk menghentikan semuanya. Saya jadi mengingat ucapan Mitch Albom di buku ini, ia seperti mengisahkan hidupnya dalam kalimat –kalimat singkat berikut ini—“surat kabar merupakan inti hidupku, oksigenku ; setiap kali aku melihat tulisanku dimuat, paling tidak aku tahu bahwa saat itu aku masih hidup”— pada kalimat ini aku seperti mendapati makna hidup bagi seorang penulis. Peran surat kabar seperti oksigen bagi penulis. Entah berapa surat kabar tahu tentang ini, tetapi penulis tetap hidup dan bergerak. Energy dan oksigen baru itulah yang membuat penulis merasakan bahwa ia sudah melakukan sesuatu untuk pembaca, berbagi.
            Kita juga belajar bersama dari kisah Morrie ini betapa mahalnya; kesempatan. Siapa yang mampu membeli sebuah percakapan sederhana antara Morrie dan Mitch?, saya rasa itu melebihi dari apapun. Dari itulah kita menemukan makna berbagi. Kesempatan membuat Morrie pada akhirnya harus menggunakan sebaik-baiknya sisa waktu yang ia miliki, ia pun seperti menemukan Mitch sebagai teman sekaligus seorang yang bisa mengabarkan kepada banyak orang, bahwa hidup begitu singkat, kesempatan begitu langka. Karena itulah, Morrie selalu bisa merasakan bahwa ia masih hidup dan seperti biasa, ketika waktu yang sejatinya tak pernah dikendalikannya harus ia kondisikan sedemikian rupa. Hidup baginya kemudian menjadi sesuatu yang direncanakan dengan sebaik-baiknya dan sebaik mungkin. Apa yang dilakukan Morrie kemudian seperti memutarbalikkan waktu yang selama ini dianggap berhenti bagi orang yang tidak berdaya. Namun akhirnya, Morrie membantahnya. Ia bisa melakukan apa yang sebenarnya bisa dilakukan oleh kebanyakan orang. Ia tak banyak memberikan keluhan, ia justru memberikan kepada semua orang seruan :”Hidup kita begitu singkat, kematian begitu dekat”. Seruan itu bukan tanpa maksud, tetapi lebih dari itu, ia seperti menunjukkan kepada kita bagaimana cara menghadapi dan memaknai hidup dengan memberi sampai batas akhir apa yang bisa kita lakukan. Morrie melakukan itu di tengah keterbatasannya sebagai manusia, sekaligus  membantah pendapat umumu bahwa ia tidak berdaya. Ketidakberdayaan fisik dan sakit, bagi Morrie bukan alasan untuk tidak berbagi dan melakukan sesuatu. Saat itulah, ia bukan lagi sekadar memberikan riwayat dan kisah tentang apa yang ia ketahui dalam hidupnya, tetapi ia berusaha membagi sebanyak mungkin kepada orang yang diharapkan bisa mengerti dan menyampaikan kepada lebih banyak orang lagi, saat itulah Mitch datang sebagai murid sekaligus sebagai penyampai.    Sebagaimana Mitch yang merasakan oksigennya adalah surat kabar, Morrie merasakan bahwa apa yang ia sampaikan kelak akan didengar banyak orang, saat itulah, ia merasakan ia sedang hidup, dan tak mati begitu saja. Kisah ini seperti mengajarkan kepada kita agar hidup kita tak sia-sia begitu saja. Saat kematian datang, mimpi, harapan dan semua yang kita rencanakan menjadi bagian dari mimpi semata. Tetapi Morrie percaya, ia sudah melakukan apa yang bisa ia lakukan dalam hidupnya. Di dalam waktu yang demikian singkat dan saat-saat terakhirnya, ia justru menunjukkan kepada kita jalan untuk menikmati waktu-waktu kita setelah hidup. Ia pada akhirnya telah berhasil mengukir jejak di hidup yang singkat ini. Kita percaya kematian bukanlah jalan untuk menghentikan dan membunuh diri kita, membunuh apa yang kita percayai, membunuh nilai-nilai yang kita perjuangkan. Pada saat itulah, kita membutuhkan Mitch, yang akan menuliskan kematian kita bukanlah sesutu yang sia-sia. 

Pada akhirnya yang digdaya bukan lagi harta dan kuasa, melainkan apa yang sudah kita beri dan bagi kepada sesama kita. Saat itulah kita dikenang dan tetap ada bersama mereka yang hidup dari nilai dan makna yang sudah kita berikan.


*) Penulis adalah pegiat komunitas tanda tanya

No comments:

Post a Comment