Bila berfikir adalah aktifitas
yang jarang dilakukan oleh kita, lalu bagaimana kita akan berubah?, bagaimana
kita menghindar dari rutinitas dan stagnasi berfikir?.
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Siang
itu, langit tak terlalu mendung (2/12/14), aku kena flu. Badan tak karuan
rasanya, bersamaan hari itu ada outbond guru-guru. Aku memutuskan izin,
benarlah adanya, aku pulang ke simbok. Simbok selalu tahu cara mengatasi
sakitku. Kerikan. Setelah agak reda badanku, aku masih merasakan badan terasa gembrebeg.Kuputuskan untuk minum
ultraflu sama jahe anget. Setelah rada lumayan, aku hanya berfikir, sia-sia
kalau istirahatku di kala sakit terlewat begitu saja dengan ndengkur alias
tidur alias molor. Kubuka tasku, ada buku Think
before its late(2010). Buku ini seperti semacam buku motivasi, sepintas
lalu. Tapi ternyata, ini adalah buku sebagaimana penulis sering mengatakan ini
adalah buku tentang cara berfikir. Apakah berfikir memerlukan cara, metode?.
Sebagaimana makan, sebagaimana kita mempelajari prosedur aktifitas, barangkali
semacam itulah buku ini. Tetapi ternyata setelah saya khatamkan, buku ini lebih
dari itu, ia mendiskripkan betapa pentingnya kita berfikir. Sebab sampai saat
ini, kemajuan ilmu pengetahuan adalah buah dari kita berfikir. Namun demikian,
ada fakta lain yang mencengangkan yang ditulis Bono, mengapa kita memerlukan
berfikir yakni kita
tidak menghasilkan apapun mengenai daya pikir manusia, selain di bidang
matematika, selama kira-kira 2400 tahun, sejak para filsuf besar Yunani. Saya
tidak percaya kita pantas untuk berpuas diri (h.1).Kita perlu berfikir untuk memampukan kita
melahirkan dan menikmati nilai-nilai. Saya sering bercakap-cakap dengan teman,
dan tanpa sadar saya menemukan nilai-nilai yang dimaksudkan Bono ini. Belum
lama ini saya ngobrol dengan Emot, dengan Budi Hastono, dari dua orang itu saya
menemukan dua hal menarik pertama tentang “terror-visual” yang ternyata sering
dilakukan tanpa sadar oleh kaum hawa sebagai pancingan dan aksi, naasnya reaksi
yang didapat justru lebih sering merugikan, sebab mereka tanpa sadar meneror
mata kaum lelaki. Sedang dengan Budi Hastono, saya merasa menemukan dunia anak
bukan saja dunia yang ada setelah bayi lahir, ia adalah dunia yang ada di alam
bawah sadar si ibu yang tanpa sadar ikut membentuk dan mempengaruhi anak.
Pengaruh music klasik selama ini yang didengung-dengungkan oleh para pakar,
pada kenyataannya ikut mempengaruhi respon para bayi ketika ia lahir. Hal-hal
ini belum banyak ditulis oleh para pakar anak yang mempelajari anak lebih jauh.
Aku hanya berencana semoga dalam beberapa waktu ke depan aku sudah mulai bisa
menyusun buku utuh tentang “Anak”.
Yang menarik dari buku Bono ini adalah ia mengelaborasikan
setiap unsure yang dianggap memegang pengaruh penting dalam urusan berfikir dan
menarik garis lurus, bahwa pada dasarnya kita perlu berfikir lateral. Ia
mengaitkan sekolah, mengaitkan universitas, sampai kepada perusahaan. Bono
sebagai penulis pun dipercaya oleh tak hanya universitas tetapi juga sekolah
dan perusahaan-perusahaan besar dunia yang memiliki masalah dalam hal berfikir.
Beberapa pernyataannya begitu menyentak dan mengejutkan. Misalnya ketika ia
berbicara tentang otak, otak manusia Otak manusia tidak dirancang
untuk menjadi kreatif. Otak dirancang untuk membuat pola-pola yang rutin, lalu
mengenakannya, serta mengikuti pola-pola tersebut, itulah mengapa hidup kita
ini mudah dan memungkinkan (h.23). Kesimpulan saya ini mengingatkan saya kepada
apa yang disimpulkan oleh Afrizal Malna,seorang pemikir post modern. Ia
menyimpulkan tidak betah di solo karena di solo tak menciptakan letupan dan
ledakan. Barangkali karena rutinitas, pola-pola yang berulang itulah, kita
sulit menciptakan inovasi dan kreatifitas. Dua kata ini menurut saya tak
memiliki tautan dengan demografi. Bagiku, demografi adalah cara kita untuk
menjadikan tubuh kita keluar dari keterkungkungannya bukan sebaliknya diam dan
membiarkan tubuh kita mengikuti pola yang linier. Ketika Bono menyinggung soal
sekolah, Bono juga memaparkan kekhawatirannya mengenai dampak dari teknologi
yang mengakibatkan kemiskinan berfikir. Menurut Bono, anak-anak sekarang
terlampau dini mengenal teknologi. Ia menuliskan efek negative computer dan
pengaruhnya kepada kebiasaan berfikir. Perkembangan computer dengan kemampuan
supernya, dalam mengolah informasi,telah memperburuk permasalahan yang ada. Apa
yang terjadi jika seorang anak yang masih sangat muda diberi computer?.
Mereka mengembangkan kebiasaan mencari
jawaban yang mereka butuhkan. Mereka tidak perlu lagi berfikir-mereka hanya
mencari jawabannya. Kemampuan mencari menggunakan computer adalah sesuatu yang
hebat, tetapi kemampuan berfikir juga sangat penting (h.82)
Bila berfikir adalah aktifitas yang
jarang dilakukan oleh kita, lalu bagaimana kita akan berubah?, bagaimana kita
menghindar dari rutinitas dan stagnasi berfikir?. Menurut Bono, kita memang
perlu menyediakan waktu untuk berfikir. Dari berfikir itulah kita menemukan kebijaksanaan
dan menemukan kebenaran sebagaimana anjuran para filsuf. Sebagaimana yang
dikutip Bono dari hadist Rasulullah : Satu jam berfikir lebih
berharga daripada tujuh puluh tahun untuk berdo’a. Namun, menurut Bono,
berfikir saja tidaklah cukup, karena itulah ia di akhir buku ini menegaskan
pentingnya tindakan. Ia mengutip Descrates : Saya bertindak maka saya membangun
–Saya malah tak jadi mengantuk, saya belum tidur. Barangkali dengan sakit itu
pula, kita tak boleh berhenti, untuk terus berfikir dan bertindak. Saya pikir,
saya sepakat dengan Bono, bahwa tak cukup kita berfikir tetapi juga bertindak,
berbuat sesuatu.
*)
Penulis
adalah Pengelola www.doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment