![]() |
Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
Anak-anak
masih membutuhkan cerita, membutuhkan kisah, melalui mulut dan tangan kitalah,
mereka mestinya mendapatkannya. Bukan dari televisi, bukan dari sinetron dan
bioskop yang justru seringkali menghadirkan dunia yang melampaui usia mereka
Pagi yang lesu, aku bangun jam empatan, badan mriang, tanda
mau masuk angin, kuoles minyak kapak. Kubawa tidur, jam enam aku bangun. Setelah
bantu beres-beres pak kos yang lagi beres-beres halaman setelah potong
ranting-ranting mangga. Aku buat teh kemuning, sebutan yang pas untuk teh ini
adalah teh rasa kopi. Setelah kelar, aku nyeplok telor, makan. Ah, nikmat juga.
Aku berniat menuliskan ini hari-hari kemarin, setelah membaca buku cerita anak
berjudul Si Kidal garapan Satmowi. Buku
terbitan Pustaka Jaya terbitan tahun 1977. Buku cerita anak di perpustakaanku
memang belum lengkap, setidaknya aku meraba-raba pelan-pelan belajar dan
menekuni cerita anak di tahun-tahun orde lama sampai orde baru, kalau bisa
sampai sekarang. Buku ini kuselesaikan waktu pagi pula, sesudah subuh, waktu
itu hari senin tanggal (29/12/14). Buku ini memang tipis, kemasan yang simple
dan tetap menarik. Buku ini bergambar sampul seorang gadis yang dikejar anjing.
Tak ada biografi pengarang, sekadar dugaan saja barangkali Satmowi begitu terkenal di masa itu. Saya tak berani berujar lebih
jauh, tak ada keterangan di buku ini. Cerita menarik, Si Kidal digambarkan
sebagai anak baik yang sering menggunakan tangan kirinya, makanya dijuluki
kidal. Ada lima cerita di buku ini, mengisahkan bagaimana karakter si tokoh
utama Kidal dengan teman-temannya. Kidal baik hati, tidak sombong dan ia
penggemar wayang. Hobinya menggambar wayang. Kidal sering terlambat ke sekolah,
karena ulahnya itulah ia sering diolok-olok Tunggadewi. Di tahun-tahun lalu, di
masa Orde lama maupun Orde Baru kita masih bisa memunguti kisah cerita anak
yang berlimpah. Banyak para guru dan para penulis yang menuliskan cerita anak.
Tak hanya demi misi pendidikan, bahkan cerita anak di masa lampau sering dan
intim dengan dunia revolusi dan perjuangan kemerdekaan. Di tahun, 70-an, kita
mendapati cerita anak lebih berbau sekolah dan adegan-adegan belajar. Misalnya
pada cerita yang saya baca yang berjudul Si Kidal(1977) yang ditulis
oleh Satmowi. Buku cerita ini diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya . Di
cerita ini, kita akan mendapati sang tokoh utama Bono ditampilkan
sebagai sosok tokoh yang baik meski sering terlambat sekolah. Bono ini pun juga
sosok yang cerdas dan suka menolong. Sifat-sifat baik, kebiasaan baik sering
ditampilkan dalam cerita anak. Selain itu, cerita anak juga menampilkan sifat dan karakter yang tak baik,
kedua sifat ini sengaja ditampilkan sebagai pembanding dan sebagai contoh
kepada anak-anak kita. Cerita ini juga berlatar sekolah dunia yang akrab dengan
anak-anak di masa lalu sampai sekarang. Cerita yang dikisahkan dalam buku Si
Kidal ini cukup sederhana, tetapi dari kesederhanaan itulah, anak-anak lebih
mudah menangkap inti cerita. Tantangan kita sebagai orangtua dan guru tentu
semakin pelik dengan semakin lekatnya anak-anak dengan video-game,
dengan play-station, sampai dengan permainan game-online.Apalagi
permainan yang berbau teknologis itu semakin mudah didapatkan dan menyatu dalam
genggaman (hape). Anak-anak masih membutuhkan cerita, membutuhkan kisah,
melalui mulut dan tangan kitalah, mereka mestinya mendapatkannya. Bukan dari
televisi, bukan dari sinetron dan bioskop yang justru seringkali menghadirkan
dunia yang melampaui usia mereka. Kisah di buku Si Kidal ini mengingatkanku di masa di Sekolah Dasar dulu. Aku sering
terlambat, meski rumahku dekat sekolah. Waktu itu, aku sering bangun kesiangan,
gara-gara malam belajar matematika sama bapak sampai jam dua belas malam bahkan
lebih. Ayah memang sering tegas ia tak ingin anaknya bodoh, gara-gara itu
mungkin aku terlalu membenci matematika. Makin aku belajar anak makin aku
menyelami dunia yang luas bak samudera. Ada banyak hal yang ternyata semakin
kompleks di dunia anak. Fase-fase pertumbuhan dan perkembangan anak begitu
variatif. Ini berkaitan dengan jiwa anak yang masih polos, ada anak yang kadang
terlampau cepat menyerap berbagai hal di sekitar mereka, ada anak yang
terkadang lambat dalam menangkap dunia sekitar mereka. Terkadang kita sebagai
orang dewasa tak bisa menuruti bagaimana hasrat anak yang penuh pertanyaan,
dunia anak yang penuh dengan keingintahuan, penuh dengan rasa penasaran. Kadang
orang dewasa merasa risih, merasa direcokin dengan sifat kekhasan anak ini
yakni ingin tahu dan penuh Tanya. Saat kita membatasi, membendung keingintahuan
mereka inilah, perkembangan dan pertumbuhan anak sering terganggu. Akibatnya sering
anak bersifat kasar dan suka membantah. Saya menemukan buku Mengenal Dunia Kanak-Kanak terbitan
Rajawali Press terbitan tahun 1985. Buku ini disunting Kartini Kartono. Buku ini
berisi berbagai masalah tentang anak-anak kita yang ditinjau oleh para Psikolog
dan pemerhati anak. Ada anak yang menjadi beringas di sekolah dan setiap
keinginannya harus dipenuhi. Hal ini karena orangtuanya selalu memanjakan dan
selalu memberikan pengekangan terhadap keinginan dan kemandiriannya. Di buku
ini diuraikan oleh Ny Dorothy Keiter sebab-sebab mengapa anak-anak terpaksa
melindungi dirinya :
1.
Karena anak-anak
betul-betul patah semangat
2.
Bila ia memandang
dirinya sebagai seorang yang selalu gagal (penggagal)
3.
Karena orang lain
memandang dirinya sebagai seorang yang tidak dapat dibanggakan
Singkatnya
sikap anak yang “saya tidak peduli” dikarenakan mereka ingin menutupi rasa prihatin
yang sangat dan perasaan yang mendalam dari rasa
tidak berharga(hal. 10). Sikap memanjakan yang berlebih bisa jadi berakibat
kepada reaksi anak yang tak baik, begitu pula mengacuhkannya terlalu lama juga
akan mengakibatkan anak menjadi kurang perhatian dan menghambat
perkembangannya. Dua buku ini memang menjadi buku tambahan untuk menapaki
belajar tentang “anak”.
Solo, Selasa 30 /12/14
*) Penulis adalah Peminat Pendidikan dan Sastra Anak,Penulis Buku Mendidik Anak-Anak Berbahaya (2014)
No comments:
Post a Comment