klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 15 February 2016

Rumah Kata Yang Rapuh


 Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Membangun rumah tidaklah mudah. Begitupun membangun rumah kata (puisi). Tema “rumah” dalam puisi Indonesia memang sudah digarap begitu banyak penyair Indonesia. Meski demikian, upaya menggarap tema “rumah” yang tidak mudah ini patut kita beri apresiasi. Puisi sebagaimana kata Hanna Fransisca bahwa ia tak ditulis dengan kesabaran. Kesabaran membantu penyair tak buru-buru menuliskan apa yang ia tangkap. Selain dari itu, kesabaran menuntun penyair memilih dan memilah diksi yang patut serta mengendapkan idenya. Dari sisi inilah, puisi tak selalu bisa sedemikian cepat, meski demikian, ada alasan lain yang diajukan penyair yakni kecepatan penulisan dalam puisi dimaknai agar ide yang ada tak lekas hilang. Kita memiliki penyair yang dengan spontan, kemampuan mengolah kata yang bagus, dan intensitas hidup menyatu bersama dengan puisinya. Puisinya adalah hidupnya. Widji Thukul adalah penyair yang spontan, tak imajinatif, tak estetis. Puisi-puisinya sering spontan dan apa adanya seperti penyairnya. Ia pun pernah menggarap puisi bertema rumah. Suara Dari Rumah Miring(1987) : disini kamu bisa menikmati cicit tikus/ di dalam rumah miring ini/ kami mencium selokan dan sampan/ bagi kami setiap hari adalah kebisingan/ disini kami berdesak-desakan dan berkeringat/ bersama tumpukan gombal-gombal/ dan piring-piring/ disini kami bersetubuh dan melahirkan/ anak-anak kami/ di dalam rumah miring ini/ kami melihat matahari /dari atap ke atap/ meloncati selokan/ seperti pencuri. Widji thukul mengemas rumah begitu fasih, tanpa metafora yang njlimet dan vulgar.
            Bila menilik puisi dalam buku Rumah (2014) garapan Hardi Rahman. Kita akan menemukan spontanitas dan kejujuran pula dalam puisinya. Segalanya tersimpan rapi/ di dalam lemari (h.16). Bait pendek ini adalah pembuka puisi berjudul Di Dalam Lemari. Dalam puisi ini, rumah memang lebih menonjol pada permainan ruang dan imaji penyair. Penyair membawa imajinasi “rumah” kepada dunia keluarga, dunia emosionalitas dan pengalamannya saat di rumah. Kita bisa menyimak bagaimana penyair memasukkan pengalaman dan intimitas terhadap ruang dan pengalaman ketika di rumah dalam puisi berikut ini : aku mengendus bau kematian/ dari dalam kamar tidurku/ buku-buku binasa/ cerita-cerita terlupa ( Bau Kematian Dari Dalam Kamar Tidurku). Kamar dalam imajinasi penyair menjadi kematian, dari kisah tentang membaca buku dan cerita. Ada permainan simbolik tentang kisah tentang buku, cerita-cerita dan pengalaman penyair yang dialami dalam kamar tidur. Kita pun bisa menemukan bagaimana imaji tentang jendela bertaut dengan biografi penyair dengan adiknya. Jendela, untuk Adik-adik : adakah wajahmu disana/ mengekal dan abadi di jarak tipis/ tembus tapi tak mampu kusentuh/ pada usia yang sesiang ini/ kita telah tahu, lantai rumah masih saja berdebu/ kau paham dan aku mengerti/ telah sama-sama kita hentikan jerit ini/ walau terkadang kita lupa akan cinta/ yang mendewasakan kita. Ada semacam aroma kepedihan, penyesalan, tapi juga kerinduan yang tampak dari puisi ini. Kerinduan penyair yang begitu dalam dan renungan diri pada penyair yang berusaha menghentikan jerit (derita).
            26 puisi yang dihadirkan Hardi Rahman memang sengaja disusun dalam dua tema yakni rumah dan jalan. Puisi Hardi Rahman terlihat kuat di bab pertama yakni di tema “rumah”. Meski demikian, Hardi Rahman, masih saja berkutat dengan apa yang ada di rumah dan tema-tema yang terlampau sering digarap oleh penyair muda. Tema cinta, keluarga, kesedihan, serta pengalaman penyair di rumah. Tema-tema ini adalah tema-tema penting, tapi akan terkesan gagal ketika penyair tak menawarkan sesuatu yang berbeda dari yang ada sebelumnya. Hardi Rahman yang sadar secara biografis, memang tampak ingin menggarap tema rumah dan keseharian ini dengan jujur dan lugas. Di bagian kedua kumpulan puisi ini, penyair menggarap dan mengurusi jalan. Bila membaca pada puisi-puisi di bagian awal, kita akan merasakan tema dan puisi-puisi di bab kedua terasa rapuh dan keropos. Penyair melihat apa yang ada di permukaan dan apa yang tampak. Kita bisa menemui ini dalam puisi ini : ketika tersesat /janganlah cemas atau gusar/ cukuplah ketahui nama kita / untuk sebuah kepulangan (Nama). Penyair mencoba memaknai nama tak sekadar nama, melainkan petunjuk dan peta saat kita pulang (mati). Dalam puisi ini, penyair tak mencoba bergerak terlalu jauh dari apa yang ia tangkap yakni tema kematian. Atau pada puisi berikut ini : aku mencintaimu/ sejak tak tahu siapa kau (Pilihan)(h.50).
            Puisi Hardi Rahman memang khas anak muda. Anak muda yang bersajak memang cenderung lugas, blak-blakan, tanpa metafora yang rumit. Meski terkadang ia juga ingin menampakkan diri sebagai penyair yang romantis dan mencoba estetis. Dari kumpulan puisi “Rumah” garapan Hardi Rahman ini, kita diajak menyimak, menyelami dan menemui kembali tema-tema rumah. Tema yang kecil, tapi tak bisa dianggap sepele dalam dunia kepenyairan. Sebab tema ini menyangkut biografi, kenangan, keseharian dan kehidupan yang dijalani siapa saja termasuk oleh penyairnya sendiri. Selamat menikmati dunia rumah yang romantis, kadang sendu dan tragis di kumpulan puisi Rumah ini. 




*) Penulis adalah Penyuka Puisi, Pegiat di BILIK LITERASI SOLO  

No comments:

Post a Comment