Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
Membangun rumah tidaklah mudah.
Begitupun membangun rumah kata (puisi). Tema “rumah” dalam puisi Indonesia
memang sudah digarap begitu banyak penyair Indonesia. Meski demikian, upaya
menggarap tema “rumah” yang tidak mudah ini patut kita beri apresiasi. Puisi
sebagaimana kata Hanna Fransisca bahwa ia tak ditulis dengan kesabaran.
Kesabaran membantu penyair tak buru-buru menuliskan apa yang ia tangkap. Selain
dari itu, kesabaran menuntun penyair memilih dan memilah diksi yang patut serta
mengendapkan idenya. Dari sisi inilah, puisi tak selalu bisa sedemikian cepat,
meski demikian, ada alasan lain yang diajukan penyair yakni kecepatan penulisan
dalam puisi dimaknai agar ide yang ada tak lekas hilang. Kita memiliki penyair
yang dengan spontan, kemampuan mengolah kata yang bagus, dan intensitas hidup
menyatu bersama dengan puisinya. Puisinya adalah hidupnya. Widji Thukul adalah
penyair yang spontan, tak imajinatif, tak estetis. Puisi-puisinya sering
spontan dan apa adanya seperti penyairnya. Ia pun pernah menggarap puisi
bertema rumah. Suara Dari Rumah Miring(1987)
: disini kamu bisa menikmati cicit tikus/
di dalam rumah miring ini/ kami mencium selokan dan sampan/ bagi kami setiap
hari adalah kebisingan/ disini kami berdesak-desakan dan berkeringat/ bersama
tumpukan gombal-gombal/ dan piring-piring/ disini kami bersetubuh dan
melahirkan/ anak-anak kami/ di dalam rumah miring ini/ kami melihat matahari
/dari atap ke atap/ meloncati selokan/ seperti pencuri. Widji thukul mengemas rumah
begitu fasih, tanpa metafora yang njlimet
dan vulgar.
Bila
menilik puisi dalam buku Rumah (2014) garapan Hardi Rahman. Kita akan menemukan
spontanitas dan kejujuran pula dalam puisinya. Segalanya tersimpan rapi/ di dalam lemari (h.16). Bait pendek ini adalah pembuka puisi berjudul Di Dalam Lemari. Dalam puisi ini, rumah
memang lebih menonjol pada permainan ruang dan imaji penyair. Penyair membawa
imajinasi “rumah” kepada dunia keluarga, dunia emosionalitas dan pengalamannya
saat di rumah. Kita bisa menyimak bagaimana penyair memasukkan pengalaman dan
intimitas terhadap ruang dan pengalaman ketika di rumah dalam puisi berikut ini
: aku mengendus bau kematian/ dari dalam
kamar tidurku/ buku-buku binasa/ cerita-cerita terlupa ( Bau Kematian Dari
Dalam Kamar Tidurku). Kamar dalam imajinasi penyair menjadi kematian, dari
kisah tentang membaca buku dan cerita. Ada permainan simbolik tentang kisah
tentang buku, cerita-cerita dan pengalaman penyair yang dialami dalam kamar
tidur. Kita pun bisa menemukan bagaimana imaji tentang jendela bertaut dengan
biografi penyair dengan adiknya. Jendela,
untuk Adik-adik : adakah wajahmu
disana/ mengekal dan abadi di jarak tipis/ tembus tapi tak mampu kusentuh/ pada
usia yang sesiang ini/ kita telah tahu, lantai rumah masih saja berdebu/ kau
paham dan aku mengerti/ telah sama-sama kita hentikan jerit ini/ walau
terkadang kita lupa akan cinta/ yang mendewasakan kita. Ada semacam aroma
kepedihan, penyesalan, tapi juga kerinduan yang tampak dari puisi ini. Kerinduan penyair yang
begitu dalam dan renungan diri pada penyair yang berusaha menghentikan jerit
(derita).
26 puisi
yang dihadirkan Hardi Rahman memang sengaja disusun dalam dua tema yakni rumah
dan jalan. Puisi Hardi Rahman terlihat kuat di bab pertama yakni di tema
“rumah”. Meski demikian, Hardi Rahman, masih saja berkutat dengan apa yang ada
di rumah dan tema-tema yang terlampau sering digarap oleh penyair muda. Tema
cinta, keluarga, kesedihan, serta pengalaman penyair di rumah. Tema-tema ini
adalah tema-tema penting, tapi akan terkesan gagal ketika penyair tak
menawarkan sesuatu yang berbeda dari yang ada sebelumnya. Hardi Rahman yang
sadar secara biografis, memang tampak ingin menggarap tema rumah dan keseharian
ini dengan jujur dan lugas. Di bagian kedua kumpulan puisi ini, penyair
menggarap dan mengurusi jalan. Bila membaca pada puisi-puisi di bagian awal,
kita akan merasakan tema dan puisi-puisi di bab kedua terasa rapuh dan keropos.
Penyair melihat apa yang ada di permukaan dan apa yang tampak. Kita bisa
menemui ini dalam puisi ini : ketika
tersesat /janganlah cemas atau gusar/ cukuplah ketahui nama kita / untuk sebuah
kepulangan (Nama). Penyair mencoba memaknai nama tak sekadar nama,
melainkan petunjuk dan peta saat kita pulang (mati). Dalam puisi ini, penyair
tak mencoba bergerak terlalu jauh dari apa yang ia tangkap yakni tema kematian.
Atau pada puisi berikut ini : aku
mencintaimu/ sejak tak tahu siapa kau (Pilihan)(h.50).
Puisi Hardi Rahman memang khas anak muda. Anak muda yang
bersajak memang cenderung lugas, blak-blakan, tanpa metafora yang rumit. Meski terkadang ia juga
ingin menampakkan diri sebagai penyair yang romantis dan mencoba estetis. Dari
kumpulan puisi “Rumah” garapan Hardi Rahman ini, kita diajak menyimak,
menyelami dan menemui kembali tema-tema rumah. Tema yang kecil, tapi tak bisa
dianggap sepele dalam dunia kepenyairan. Sebab tema ini menyangkut biografi,
kenangan, keseharian dan kehidupan yang dijalani siapa saja termasuk oleh
penyairnya sendiri. Selamat menikmati dunia rumah yang romantis, kadang sendu
dan tragis di kumpulan puisi Rumah ini.
*) Penulis
adalah Penyuka Puisi, Pegiat di BILIK LITERASI SOLO
No comments:
Post a Comment