Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
Kisah yang pendek tapi berkesan. Ada semacam usaha untuk
menggambarkan tentang kedirian dan sifat dasar manusia. Ada kerakusan, ada
kegilaan, kesucian, dan cita-cita tertinggi dalam hidup manusia yakni menjadi
manusia pada tingkatan paling puncak. Tokoh-tokoh dalam Surga Sungsang memang
dibuat akrab dengan imajinasi dan kedekatan kita pada dunia yang akrab dengan sekitar kita. Surga Sungsang seolah
adalah dunia yang tak jauh dari kita. Kita seperti didedah dan ditelanjangi
bersama kisah ini. Cita-cita moksa, menjadi syekh, atau bahkan menjadi manusia
yang tak lagi mementingkan duniawi dalam novel ini seolah menggambarkan satu
dunia yang musykil bila dihadapkan dengan realitas kita. Bila dalam latar novel
ini, kita akan dihadapkan dengan layar yang begitu cepat berganti antara tokoh
yang satu dengan tokoh yang lain. Tempat satu ke tempat yang lain. Dengan olah
bahasa yang lembut dan jeli, Triyanto mengajak kita menyusuri ruang imajinasi
dan ruang batin. Ia tak mau melibatkan hanya pada satu indera saja ketika
berlayar bersama tokoh maupun kisah yang ada dalam novel ini. Karena itulah,
kita seperti memunguti satu adegan dan peristiwa dengan takjub pada
penggalan-penggalan kisah pada tiap sub judul dalam novel ini. Bila kita
menilik lebih jeli mengenai deskripsi latar (tempat) dalam novel ini, kita akan
diajak untuk menelusuri ruang yang sejuk, tenang, ada bangau, ada malam yang
cerah, dan juga ikan-ikan terbang serta pohon bakau dan suasana tanjung yang
benar-benar indah. Tetapi, di sisi lain kita akan dihadapkan dengan dunia yang kontras
kala melihat dunia yang terbalik dengan deskripsi ikan busuk, burung bangau
yang mati, dan pohon bakau yang tak lagi indah, serta malam yang suram dan
gelap. Gambaran ini seolah berubah tatkala subuh datang. Ada semaca permainan
tanda dan simbolisasi antara subuh, fajar, dibandingkan dengan suasana malam
dan kegelapan. Pengarang seolah mencoba membuat bandingan antara dunia yang
sebenarnya ada dalam batin kita yakni dunia yang hitam dan putih.
Meski diciptakan dan ditulis dengan potongan-potongan dan
saling tak berurutan, tak struktural, sebagaimana di bagian akhir novel ini,
kita menemukan jawaban dari pengarang bahwa ia ingin memberi ruang yang sangat
luas untuk kita(pembaca) masuk ke dalam novel itu tanpa harus diganggu dengan
godaan strukturalisme. Justru dengan tak berstruktur dan terlihat kacau itulah,
novel ini membentuk garis-garis yang halus tapi terhubung satu sama lain
sehingga kita dapat menarik kesimpulan sendiri di tiap bagian cerita yang
dituturkan. Sebut saja ketika kita membaca tiap judul Wali kesebelas, Bahaya
Sisik Zaenab, Amenangi Jaman Celeng, Serangan Ababil, Neraka Kembar Rajab. Di
tiap bagian cerita itulah, kita disuguhi ketakjuban dan satu adegan yang kadang
pecah dan tak utuh. Kita bisa menyimak adegan tak utuh dan pecah itu dalam
kalimat-kalimat berikut : “Kini kau tahu dimana tubuh Kufah, Kiai siti, Zaenab, dan ikan-ikan terbang itu
menghilang?”. “Apakah kau akan mampu melawan muslihatku wahai panglima langit?,
apakah kau akan mampu menatap tubuh molekku?,Apakah kau mampu menghindar dari
tebusan peluru pistolku?”. Dari kalimat-kalimat itulah kita seperti diajak
menjadi tokoh, kita diajak berdialog dengan tokoh. Inilah kelihaian Triyanto,
ia seolah menjadikan pembaca masuk dan ikut serta dalam lakon yang ia
tampilkan.
Bertabrakan
Tak salah bila Goenawan
Mohamad menilai bahwa surge-sungsang seperti firdaus di bumi dan sekaligus
kiamat yang digerakkan manusia sendiri. Triyanto seperti mencipta surga dengan
keindahan alam, keteraturan manusia-manusianya, kerumunan dan keriuhan yang
puitis. Di samping itu, ia mengajak kita memasuki dunia tragis, konflik dan
gejolak batin yang terus-menerus tanpa henti. Ia mencoba mengajak kita pada
ingatan masa silam tentang peristiwa paling berdarah. Mayat-mayat yang terapung
dan banjir darah dikisahkan dengan caranya sendiri. Kita tak diajak menonton kekejian dan kepedihan,
tapi kita diajak untuk melihat dan mendengar dengan seksama bahwa ada luka dan goresan di kaki kita tanpa kita
sadari. Cara pengarang meramu sejarah dihadapkan dengan dunia batin kita
sendiri adalah bagian dari keberhasilan pengarang untuk tak terlalu menjadi
sejarawan, tapi sekaligus tak hanya mereka-reka(mengarang)cerita. Dari idiom
menarik tentang surga, Alloh, malaikat, dan Jibril, kita kemudian dibuat untuk
memasuki alam imajinasi Dajjal, Izrail, Burung Ababil, hingga berita kematian
dan lenyapnya Tanjung. Disitulah sebenarnya kita melihat dunia yang saling
bertabrakan, saling bertarung tanpa henti dan tak tahu dimenangkan oleh siapa.
Sebagaimana kisah dalam wayang, kita sudah melihat goro-goro nya, dan melihat dunia yang dikisahkan itu akhirnya
lenyap dan hilang tanpa jejak.
Kita menduga, sebenarnya kisah-kisah yang akrab dengan Qur’an
yang ada dalam novel ini adalah sebuah satire dan dunia yang coba dibalik dan
ditafsirkan sendiri oleh pengarang. Karena itulah, Surga Sungsang seperti
sebuah kisah dan cerita tersendiri, dengan nabi dan utusan sendiri, dengan umat
sendiri, dengan musuh-musuh yang diciptakan dalam alam yang tentu berbeda
dengan apa yang dikisahkan dalam Qur’an. Tapi dari situlah, sebenarnya kita
melihat ada pesan dan ayat –ayat yang sedang dibacakan Triyanto Triwikromo
melalui Surga Sungsang ini. Selamat menyimak dan mendengarkan ayat-ayat Qur’an
melalui Surga Sungsang ini, meski yang ada di dalam novel ini sama sekali bukan
Qur’an. Mungkin karena itulah novel ini diberi judul : Surga Sungsang.
*)Penulis
adalah Pegiat BILIK LITERASI SOLO, Pengasuh MIM PK KARTASURA
No comments:
Post a Comment