klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Tuesday 16 February 2016

Mendengar Triyanto Triwikromo Mengaji



Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Kisah yang pendek tapi berkesan. Ada semacam usaha untuk menggambarkan tentang kedirian dan sifat dasar manusia. Ada kerakusan, ada kegilaan, kesucian, dan cita-cita tertinggi dalam hidup manusia yakni menjadi manusia pada tingkatan paling puncak. Tokoh-tokoh dalam Surga Sungsang memang dibuat akrab dengan imajinasi dan kedekatan kita pada dunia yang akrab  dengan sekitar kita. Surga Sungsang seolah adalah dunia yang tak jauh dari kita. Kita seperti didedah dan ditelanjangi bersama kisah ini. Cita-cita moksa, menjadi syekh, atau bahkan menjadi manusia yang tak lagi mementingkan duniawi dalam novel ini seolah menggambarkan satu dunia yang musykil bila dihadapkan dengan realitas kita. Bila dalam latar novel ini, kita akan dihadapkan dengan layar yang begitu cepat berganti antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Tempat satu ke tempat yang lain. Dengan olah bahasa yang lembut dan jeli, Triyanto mengajak kita menyusuri ruang imajinasi dan ruang batin. Ia tak mau melibatkan hanya pada satu indera saja ketika berlayar bersama tokoh maupun kisah yang ada dalam novel ini. Karena itulah, kita seperti memunguti satu adegan dan peristiwa dengan takjub pada penggalan-penggalan kisah pada tiap sub judul dalam novel ini. Bila kita menilik lebih jeli mengenai deskripsi latar (tempat) dalam novel ini, kita akan diajak untuk menelusuri ruang yang sejuk, tenang, ada bangau, ada malam yang cerah, dan juga ikan-ikan terbang serta pohon bakau dan suasana tanjung yang benar-benar indah. Tetapi, di sisi lain kita akan dihadapkan dengan dunia yang kontras kala melihat dunia yang terbalik dengan deskripsi ikan busuk, burung bangau yang mati, dan pohon bakau yang tak lagi indah, serta malam yang suram dan gelap. Gambaran ini seolah berubah tatkala subuh datang. Ada semaca permainan tanda dan simbolisasi antara subuh, fajar, dibandingkan dengan suasana malam dan kegelapan. Pengarang seolah mencoba membuat bandingan antara dunia yang sebenarnya ada dalam batin kita yakni dunia yang hitam dan putih.
            Meski diciptakan dan ditulis dengan potongan-potongan dan saling tak berurutan, tak struktural, sebagaimana di bagian akhir novel ini, kita menemukan jawaban dari pengarang bahwa ia ingin memberi ruang yang sangat luas untuk kita(pembaca) masuk ke dalam novel itu tanpa harus diganggu dengan godaan strukturalisme. Justru dengan tak berstruktur dan terlihat kacau itulah, novel ini membentuk garis-garis yang halus tapi terhubung satu sama lain sehingga kita dapat menarik kesimpulan sendiri di tiap bagian cerita yang dituturkan. Sebut saja ketika kita membaca tiap judul Wali kesebelas, Bahaya Sisik Zaenab, Amenangi Jaman Celeng, Serangan Ababil, Neraka Kembar Rajab. Di tiap bagian cerita itulah, kita disuguhi ketakjuban dan satu adegan yang kadang pecah dan tak utuh. Kita bisa menyimak adegan tak utuh dan pecah itu dalam kalimat-kalimat berikut : “Kini kau tahu dimana tubuh Kufah,  Kiai siti, Zaenab, dan ikan-ikan terbang itu menghilang?”. “Apakah kau akan mampu melawan muslihatku wahai panglima langit?, apakah kau akan mampu menatap tubuh molekku?,Apakah kau mampu menghindar dari tebusan peluru pistolku?”. Dari kalimat-kalimat itulah kita seperti diajak menjadi tokoh, kita diajak berdialog dengan tokoh. Inilah kelihaian Triyanto, ia seolah menjadikan pembaca masuk dan ikut serta dalam lakon yang ia tampilkan.
Bertabrakan
            Tak salah bila Goenawan Mohamad menilai bahwa surge-sungsang seperti firdaus di bumi dan sekaligus kiamat yang digerakkan manusia sendiri. Triyanto seperti mencipta surga dengan keindahan alam, keteraturan manusia-manusianya, kerumunan dan keriuhan yang puitis. Di samping itu, ia mengajak kita memasuki dunia tragis, konflik dan gejolak batin yang terus-menerus tanpa henti. Ia mencoba mengajak kita pada ingatan masa silam tentang peristiwa paling berdarah. Mayat-mayat yang terapung dan banjir darah dikisahkan dengan caranya sendiri. Kita  tak diajak menonton kekejian dan kepedihan, tapi kita diajak untuk melihat dan mendengar dengan seksama bahwa  ada luka dan goresan di kaki kita tanpa kita sadari. Cara pengarang meramu sejarah dihadapkan dengan dunia batin kita sendiri adalah bagian dari keberhasilan pengarang untuk tak terlalu menjadi sejarawan, tapi sekaligus tak hanya mereka-reka(mengarang)cerita. Dari idiom menarik tentang surga, Alloh, malaikat, dan Jibril, kita kemudian dibuat untuk memasuki alam imajinasi Dajjal, Izrail, Burung Ababil, hingga berita kematian dan lenyapnya Tanjung. Disitulah sebenarnya kita melihat dunia yang saling bertabrakan, saling bertarung tanpa henti dan tak tahu dimenangkan oleh siapa. Sebagaimana kisah dalam wayang, kita sudah melihat goro-goro nya, dan melihat dunia yang dikisahkan itu akhirnya lenyap dan hilang tanpa jejak.
            Kita menduga, sebenarnya kisah-kisah yang akrab dengan Qur’an yang ada dalam novel ini adalah sebuah satire dan dunia yang coba dibalik dan ditafsirkan sendiri oleh pengarang. Karena itulah, Surga Sungsang seperti sebuah kisah dan cerita tersendiri, dengan nabi dan utusan sendiri, dengan umat sendiri, dengan musuh-musuh yang diciptakan dalam alam yang tentu berbeda dengan apa yang dikisahkan dalam Qur’an. Tapi dari situlah, sebenarnya kita melihat ada pesan dan ayat –ayat yang sedang dibacakan Triyanto Triwikromo melalui Surga Sungsang ini. Selamat menyimak dan mendengarkan ayat-ayat Qur’an melalui Surga Sungsang ini, meski yang ada di dalam novel ini sama sekali bukan Qur’an. Mungkin karena itulah novel ini diberi judul : Surga Sungsang.

*)Penulis adalah Pegiat BILIK LITERASI SOLO, Pengasuh MIM PK KARTASURA
             
 

No comments:

Post a Comment