Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
Bagi
Sapardi, puisi tak bisa berdiam. Baginya, puisi bisa saja beralih ke novel,
musik atau komik sekaligus. Sapardi masih menganggap puisi belum selesai, belum
usai. Karena itulah, ia menggarap puisinya menjadi novel. Novel Hujan Bulan Juni tentu tak kalah puitis
dibanding puisinya. Novel diawali dengan sesosok mahasiswa bernama Sarwono yang
sedang menuntaskan tesisnya di kampus UI. Di saat hujan ia berniat hendak
menengok koran barangkali puisi yang ia kirim dimuat di koran tersebut. Dan
benar saja, puisinya dimuat di koran tersebut, Sarwono sedikit lega meski ia
tak bisa menghindar dari flu dan meriang yang di deranya.
Kisah
pun berlanjut, tatkala Sarwono menaruh hati pada Pingkan, gadis berdarah Jawa
–Menado. Kisah percintaan antara Sarwono dengan Pingkan sendiri dikisahkan
begitu puitis di novel ini. Kita serasa menemukan adanya kasih sayang antara
keduanya dalam canda, dalam hubungan dan
dalam kesunyian. Hubungan mereka tak hanya persinggungan, tetapi juga sekaligus
perpaduan, dan persatuan diantara perbedaan yang ada diantara keduanya.
Sarwono
sering diledek sebagai lelaki cengeng, sedang Pingkan sendiri lebih terkesan
sebagai pekerja keras dan orang yang bertanggungjawab. Bagi Sarwono, pesona
Pingkan tak hanya terlihat dari wajah dan matanya, tetapi Sarwono melihat
adanya suratan takdir yang kelak ia yakini bisa menyatukan mereka. Pingkan
dikirim ke Jepang untuk mendampingi mahasiswa yang sedang belajar bahasa Jepang
dan penelitian disana. Saat kepergian Pingkan itulah, Sarwono merasa takut
kalau kelak hati Pingkan beralih terpikat kepada dosennya yang juga orang
jepang.
Di
tengah-tengah rencananya ke Jepang itulah, Sarwono seperti dihadapkan kepada
keyakinannya sendiri dengan Pingkan. Ia pun bertemu dengan calon mertuanya dan
menghadapi pertanyaan mengenai rencana pernikahannya dengan Pingkan. Calon
mertuanya pun setuju bila Sarwono serius terhadap Pingkan.
Singkat
cerita, Sarwono saat menjelang
kepulangan Pingkan, justru termakan oleh pikirannya yang kacau. Sebagai pria
yang sering meriang, ia pun terserang penyakit imsomnia , bahkan sempat dirawat di rumah sakit. Ketika Pingkan
pulang, Sarwono harus mendekam di rumah sakit dalam keadaan lemas dan
terbaring. Kisah ini berakhir dengan rasa rindu yang haru di rumah sakit.
Di tengah-tengah novel kita tak hanya
disuguhi bahasa yang puitis, tetapi juga
pemaknaan Sapardi terhadap kasih sayang dan takdir. Kita bisa menyimak
kalimat Sapardi di novel ini : “nasib
memang diserahkan kepada manusia untuk digarap tetapi takdir harus
ditandatangani diatas meterai dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi
apa-apa baik apa buruk “(h.20). Kutipan ini tentu mirip dengan
perasaan-perasaan Sarwono ketika memutuskan takdirnya memilih Pingkan, meski di
akhir cerita nasib Sarwono justru terkesan tak mulus. Nasib dan kisah cinta
Sarwono mirip penggalan-penggalan puisi Sapardi berjudul Hujan Bulan Juni yang ditulisnya. Sarwono seolah lelaki tabah yang
mesti berdamai dengan takdir, berdamai dengan nasib dan pikirannya.
Bersama novel ini, pembaca
seperti disuguhi kisah percintaan yang berkesan. Melalui novel ini kita seperti
diajak untuk tak hanya mengingat Hujan
Bulan Juni sebagai puisi, tetapi juga sebagai novel yang membuat pembacanya
ikut hanyut dalam kisah cinta yang puitis.
*) Penulis adalah Guru MIM PK
kartasura, pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment