Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
Manusia memang membutuhkan cerita. Cerita tak hanya penting
sebagai pengingat, bahan permenungan dan memiliki nilai pelajaran budi pekerti.
Meminjam kata ST Sularto bahwa cerita itu penting untuk menjelaskan bahwa hidup
kita itu nyata bukan fiksi. Karena itulah, di dalam kita membaca cerita, kita
akan menemukan satu kesadaran jiwa, ketenangan psikologis dan juga manfaat
serta hikmah dari cerita itu bila kita merenungi isinya. Sudah sejak jaman
dulu, cerita-cerita itulah yang membuat hidup kita jadi tak monoton, hidup kita
jadi tak sempit, dan penuh dengan gambaran dan kisah-kisah. Tentu kita tak
asing dengan kisah Mahabharata atau Ramayana yang secara simbolik menjelaskan
tragedy, sejarah,serta gambaran baik dan buruk kehidupan manusia. Karena
itulah, orangtua kita dulu, bahkan kita sampai sekarang akan merasa senang bila
mendengarkan dan menyimak cerita dalam pewayangan atau cerita rakyat yang ada
dalam kehidupan di sekitar kita. Ada nuansa yang berbeda yang dirasakan oleh
orang yang berlimpah cerita dan kisah, ketimbang orang yang jarang mendengarkan
atau menyimak cerita. Negeri kita adalah negeri yang begitu kaya dengan cerita
rakyat, dongeng, mitos, dan sebagainya. Dari beraneka ragam cerita itulah kita
mendapati hikmah, pelajaran dan juga gambaran tentang kehidupan orang di masa lampau.
Kisah Danau Toba memberikan kita pelajaran moral tentang betapa perlunya
manusia berhati-hati terhadap perkataan. Kisah Gunung Tangkuban Perahu yang
menjelaskan pelajaran moral bahwa kita tak boleh melawan kehendak yang Kuasa.
Kisah Malin Kundang yang mengajarkan pelajaran moral berbakti pada orangtua.
Buku karya Jakob Sumardjo ini adalah bagian dari khazanah
kesusasteraan dan cerita rakyat dari daerah Jawa Barat. Kabayan adalah cerita
rakyat yang popular di daerah itu. Jakob Sumardjo mengkaji nilai-nilai dan
aspek estetis dari kisah Kabayan. Kisah Kabayan yang selama ini dicitrakan
konyol, bodoh, lucu dan licik ternyata memiliki beragam nilai-nilai estetik dan
pelajaran moral yang sangat berharga. Kabayan adalah warisan kebudayaan Sunda
pada khususnya dan kebudayaan Indonesia pada umumnya. Jakob Sumardja menganggap
bahwa apa yang ada dalam cerita Kabayan tak melulu membahas soal ringan,
enteng, dan bahkan seronoh. Lebih dari itu, cerita Kabayan justru dianggap
Jakob Sumardjo sebagai kisah yang mengandung
pelajaran moral dan kehidupan. Sebagai cerita rakyat, Kabayan memang istimewa,
ia mirip dengan pantun-pantun Sunda.
Cerita itu akan memiliki kedalaman makna kalau ditilik secara budaya meski
banyak kemiripan dengan cerita berbau dongeng.
Keunikan cerita Kabayan dibangun dari tokohnya dan
tingkah laku Kabayan senduri yang terlihat lucu dan mengandung nilai-nilai yang
paradoks. Kabayan adalah tokoh yang begitu bodohnya, tapi di lain waktu
terlihat begitu pintarnya. Karena itulah, Kabayan bisa dipandang dari dua sisi.
Dari sudut pandang orang awam, cerita Kabayan mengandung kelucuan, humor dan
kocak. Tapi dari sisi kebudayaan, sisi falsafati, cerita Kabayan memiliki sisi
esoterik dan falsafi secara modern. Cerita dapat konyol kalau dilihat secara
realitas, namun bisa sangat falsafi-pikiran apabila dilihat secara kesadaran
(h. 50). Tokoh si Kabayan sendiri digambarkan sebagai pengikut tarekat mistik.
Dia miskin, kelaparan, suka tidur, pemalas, tidak terhormat secara social, suka
keluyuran. Semua itu adalah tuntutan pengikut tarekat yang paeh samemeh paeh(mati dalam hidup ini). Ada anggapan umum bahwa
pengikut mistik adalah “mayat yang berjalan-jalan”. Rumusannya tujuh dari tujuh
yakni memilih melarat daripada kaya, memilih lapar daripada kenyang, hina daripada
terhormat, rendah hati daripada sombong, bodoh daripada pintar, bawah daripada
atas, duka daripada senang, “mati” daripada hidup. Kebodohan dalam Kabayan
sebenarnya bukan bodoh tanpa isi, kebodohan sufi adalah pilihan sikap yang
sebenarnya sangat terpelajar dan berisi (h.120).
Membaca kisah-kisah Kabayan kita diajak untuk merenungi
apa yang benar dalam pikiran dan apa yang ada dalam realitas. Dalam pandangan
sufi, yang penting adalah perbuatan, sedang yang ada dalam pikiran sering
dianggap salah, karena itulah dalam pemahaman sifustik mereka lebih menekankan
praktek atau laku. Kita tentu mengenali istilah “ngilmu nganti laku” yang
dimaknai bahwa ilmu itu adalah laku atau perbuatan. Cerita-cerita Kabayan
memiliki makna yang dalam bila difahami secara mendalam, ada nilai-nilai
kejujuran, nilai moralitas, hingga pelajaran ruhaniah. Kisah Kabayan menurut
Jakob Sumardjo dianggap sejajar dengan kisah-kisah sufistik dari timur tengah
seperti Nasrudin Khoujjah dan Abu Nawas. Melalui buku ini, kita akan menemukan
betapa paradoksnya kehidupan kita. Ada tingkah-polah keseharian si Kabayan yang
sebenarnya dilakukan oleh kita. Bila kita menilai tingkah Kabayan bodoh, kurang
ajar, dan tidak waras, mungkin kita juga pernah melakukannya sebagaimana cerita
Kabayan yang mau sholat kemudian datanglah si Janda cantik lewat, hingga
Kabayan justru memanggil Bibi…bibi….. dan tak jadi sholat. Apa yang dialami
Kabayan justru juga dialami kita yang sering berpaling, tak fokus, dan sering
kali melalaikan Sang pencipta. Begitu.
*)Penulis
adalah Santri BILIK LITERASI SOLO, Pengasuh MIM PK Kartasura
No comments:
Post a Comment