Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Puisi
itu ibarat jodoh, bila ia berjodoh maka ia akan bertemu dengan pembacanya dan
pencintanya. Namun bila ia belum berjodoh, barangkali dipaksa sedemikian rupa,
puisi tak bakal bertemu atau cocok dengan pembacanya. Karena itulah, buku puisi
tak selaris buku-buku karya sastra lainnya seperti cerpen ataupun novel. Orang
sering beralasan karena puisi susah untuk dimengerti, benarkah demikian?.
Sebenarnya puisi bisa dipelajari, dimengerti dan bisa kita tafsirkan. Sebatas
dan sejauh mana pemahaman kita terhadap puisi, ditentukan pula oleh sejauh dan
sebatas apa pengetahuan kita tentang puisi. Sapardi Djoko Damono sebagai
penyair, dan kritikus sastra mengajak kita untuk mengerti dan mengapresiasi
puisi. Selama ini Sapardi melihat bahwa masyarakat pun masih banyak yang
mengapresiasi seorang sastrawan tanpa tahu dan membaca karyanya. Apresiasi yang
seperti inilah yang disayangkan oleh Sapardi. Apresiasi yang demikian tidak
tumbuh antara pembaca dan penulis karya sastra. Padahal penulis atau sastrawan
akan lebih merasa dihargai kalau karyanya mendapatkan apresiasi. Kesadaran kita
sebagai pembaca itulah yang menumbuhkan kecintaan kita kepada karya sastra.
Karena itulah, karya sastra akan semakin bertumbuh dengan hadirnya apresiasi.
Kita patut bersedih, tatkala semakin banyaknya penyair dan karyanya tetapi
semakin minim pula pembaca dan apresiatornya. Para penyair di masa lalu seperti
Chairil Anwar, boleh dibilang beruntung, karena karya-karya mereka dihadirkan
dan dipersembahkan kepada publik sekaligus berbarengan dengan kritik dan
apresiasi yang muncul. Misalkan di masa lampau ada H.B.Jassin yang rajin
menuliskan apresiasi dan kritiknya kepada para penyair-penyair di masa lampau. Dari
apresiasi dan kritik yang dihadirkan di masa lalu itulah, para sastrawan kita
dikenal sampai ke mancanegara. Hal ini tidak lepas dari adanya kritik. Dan
tentu saja penyair memiliki tujuan yang baik, yang tak hanya sekadar
menyampaikan puisinya ke publik. Tetapi ada tujuan lain, mengutip apa yang
ditulis S.Takdir Alisjahbana dalam bukunya Perjuangan Tanggungjawab Dalam
Kesusasteraan (1977) : “Tidaklah kesusasteraan itu lagi permainan yang tiada
berarti, tetapi setelah dibersihkan oleh ketulusan jiwa yang menyerah mencahari
kebenaran dan dimuliakan oleh kasih
sayang kepada sesama manusia, dia pun menjadi sesuatu yang sesungguh-sungguhnya
dan terbayanglah ia sebagai persatuan antara keindahan, kebenaran, dan kebaikan
sebagai karangan trimurti yang suci mengandung zat ketuhanan yang kekal”.
Munculnya banyak pengarang di masa sekarang, akan menjadi
sekadar riuh dan ramai semata tanpa hadirnya kritik dan apresiasi dari pembaca.
Meski kita tahu, saat ini begitu banyak para pembaca yang susah dikatakan
sebagai seorang “pembaca”. Pembaca yang tak hanya membaca karya seseorang,
tetapi sekaligus mengapresiasi karya tersebut. Kehadiran pembaca seperti ini
sering kita jumpai tak hanya di media-media sosial, bahkan mereka membentuk
jaringan tersendiri dan menamai dirinya sebagai fans-club. Mereka akan hadir di setiap acara bedah buku,
memeriahkan launching buku penulis
favoritnya, dan rajin membeli karya penulis favoritnya tanpa tahu, makna dan
isi karya penulis itu. Tak jarang mereka juga tak menghabiskan buku penulis
favoritnya meski sudah membelinya. Sehingga komentar mereka tak lebih dari kata
“bagus, indah”. Apresiasi semacam ini menjadi masalah bagi karya sastra ke
depan. Karena itulah, kehadiran apresiator menjadi penting dalam proses tumbuh
dan berkembangnya karya sastra. Bila sastrawan di masa lampau se-angkatan
mereka saling mengapresiasi karya teman dan kerabat mereka antara sastrawan,
lalu bagaimana dengan sastrawan di masa sekarang?.
Buku Bilang Begini
Maksudnya Begitu(2014) yang ditulis Sapardi adalah contoh sekaligus ajakan
untuk belajar mengapresiasi puisi. Orang sering bilang dan berkomentar tentang
puisi dengan kalimat berikut ini ; “puisi ini indah, puisi ini enak di dengar,
puisi ini susah dimengerti”. Komentar-komentar itu memang bagian dari cara
pembacaan puisi, tapi belum sampai tahap mengapresiasi. Buku ini mencoba
mengajak kita para pembaca belajar lebih lanjut tentang cara mengapresiasi
puisi dari sarana-sarana yang digunakan penyair melalui alat kebahasaan yang
bisa berupa cerita, sikap, gagasan,suasana dan lain sebagainya(h.3). Menurut
Sapardi, ada banyak cara yang bisa kita gunakan untuk mengapresiasi puisi yang
digunakan oleh penyair melalui sajaknya yang bisa berupa cerita (balada),
simpati, atau perasaan-perasaan penyairnya. Melalui kata-kata yang digunakan
penyair,kita bisa melakukan apresiasi dan memaknai lebih jauh apa yang
sebenarnya dimaksudkan atau yang akan disampaikan penyair melalui puisinya.
Sebagai “mahkota bahasa”, puisi tampak mengesankan, karena ia terlepas dari
bahasa sehari-hari. Boleh dibilang, apa yang dikatakan penyair adalah bahasa
yang sudah tersaring. Meski demikian, bukan berarti kita tak bisa
menafsirkannya. Dari diksi yang penyair hadirkan, kita bisa menafsirkan
maknanya, misalnya dengan memparafrasekan puisi tersebut. Dari situlah, kita
akan melihat tak hanya ironi seperti yang terlihat dalam puisi-puisi Jokpin, anxiety dalam puisi-puisi Goenawan
Mohamad, atau puisi berbau cerita sejarah yang ada pada puisi Gunawan Maryanto.
Melalui puisi-puisi Amir Hamzah, Armijn Pane, Goenawan Mohamad, Sapardi
menghadirkan apresiasi sederhana untuk mengajak kita ikut menyemarakkan
apresiasi puisi. Ajakan ini dikemas dengan bahasa yang ringkas, cergas dan
sederhana. Disinilah, nampak kelihaian Sapardi untuk mengajak pembaca puisi
ikut serta mengapresiasi karya sastra kita khususnya puisi, sebab apresiasi
karya sastra tak hanya tugas kritikus, tetapi juga tugas pembaca. Buku Bilang Begini Maksudnya Begitu(2014)
mengajak kita untuk mengapresiasi puisi secara sederhana, tanpa bermaksud
menyederhanakannya.
*) Penulis adalah Pembaca
buku, Pegiat di Komunitas Tanda Tanya Solo menulis di doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment