klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Tuesday, 16 February 2016

Apresiasi Puisi Bersama Sapardi




Oleh Arif  Saifudin Yudistira*)

          Puisi itu ibarat jodoh, bila ia berjodoh maka ia akan bertemu dengan pembacanya dan pencintanya. Namun bila ia belum berjodoh, barangkali dipaksa sedemikian rupa, puisi tak bakal bertemu atau cocok dengan pembacanya. Karena itulah, buku puisi tak selaris buku-buku karya sastra lainnya seperti cerpen ataupun novel. Orang sering beralasan karena puisi susah untuk dimengerti, benarkah demikian?. Sebenarnya puisi bisa dipelajari, dimengerti dan bisa kita tafsirkan. Sebatas dan sejauh mana pemahaman kita terhadap puisi, ditentukan pula oleh sejauh dan sebatas apa pengetahuan kita tentang puisi. Sapardi Djoko Damono sebagai penyair, dan kritikus sastra mengajak kita untuk mengerti dan mengapresiasi puisi. Selama ini Sapardi melihat bahwa masyarakat pun masih banyak yang mengapresiasi seorang sastrawan tanpa tahu dan membaca karyanya. Apresiasi yang seperti inilah yang disayangkan oleh Sapardi. Apresiasi yang demikian tidak tumbuh antara pembaca dan penulis karya sastra. Padahal penulis atau sastrawan akan lebih merasa dihargai kalau karyanya mendapatkan apresiasi. Kesadaran kita sebagai pembaca itulah yang menumbuhkan kecintaan kita kepada karya sastra. Karena itulah, karya sastra akan semakin bertumbuh dengan hadirnya apresiasi. Kita patut bersedih, tatkala semakin banyaknya penyair dan karyanya tetapi semakin minim pula pembaca dan apresiatornya. Para penyair di masa lalu seperti Chairil Anwar, boleh dibilang beruntung, karena karya-karya mereka dihadirkan dan dipersembahkan kepada publik sekaligus berbarengan dengan kritik dan apresiasi yang muncul. Misalkan di masa lampau ada H.B.Jassin yang rajin menuliskan apresiasi dan kritiknya kepada para penyair-penyair di masa lampau. Dari apresiasi dan kritik yang dihadirkan di masa lalu itulah, para sastrawan kita dikenal sampai ke mancanegara. Hal ini tidak lepas dari adanya kritik. Dan tentu saja penyair memiliki tujuan yang baik, yang tak hanya sekadar menyampaikan puisinya ke publik. Tetapi ada tujuan lain, mengutip apa yang ditulis S.Takdir Alisjahbana dalam bukunya Perjuangan Tanggungjawab Dalam Kesusasteraan (1977) : “Tidaklah kesusasteraan itu lagi permainan yang tiada berarti, tetapi setelah dibersihkan oleh ketulusan jiwa yang menyerah mencahari kebenaran  dan dimuliakan oleh kasih sayang kepada sesama manusia, dia pun menjadi sesuatu yang sesungguh-sungguhnya dan terbayanglah ia sebagai persatuan antara keindahan, kebenaran, dan kebaikan sebagai karangan trimurti yang suci mengandung zat ketuhanan yang kekal”.
Munculnya banyak pengarang di masa sekarang, akan menjadi sekadar riuh dan ramai semata tanpa hadirnya kritik dan apresiasi dari pembaca. Meski kita tahu, saat ini begitu banyak para pembaca yang susah dikatakan sebagai seorang “pembaca”. Pembaca yang tak hanya membaca karya seseorang, tetapi sekaligus mengapresiasi karya tersebut. Kehadiran pembaca seperti ini sering kita jumpai tak hanya di media-media sosial, bahkan mereka membentuk jaringan tersendiri dan menamai dirinya sebagai fans-club. Mereka akan hadir di setiap acara bedah buku, memeriahkan launching buku penulis favoritnya, dan rajin membeli karya penulis favoritnya tanpa tahu, makna dan isi karya penulis itu. Tak jarang mereka juga tak menghabiskan buku penulis favoritnya meski sudah membelinya. Sehingga komentar mereka tak lebih dari kata “bagus, indah”. Apresiasi semacam ini menjadi masalah bagi karya sastra ke depan. Karena itulah, kehadiran apresiator menjadi penting dalam proses tumbuh dan berkembangnya karya sastra. Bila sastrawan di masa lampau se-angkatan mereka saling mengapresiasi karya teman dan kerabat mereka antara sastrawan, lalu bagaimana dengan sastrawan di masa sekarang?.
Buku Bilang Begini Maksudnya Begitu(2014) yang ditulis Sapardi adalah contoh sekaligus ajakan untuk belajar mengapresiasi puisi. Orang sering bilang dan berkomentar tentang puisi dengan kalimat berikut ini ; “puisi ini indah, puisi ini enak di dengar, puisi ini susah dimengerti”. Komentar-komentar itu memang bagian dari cara pembacaan puisi, tapi belum sampai tahap mengapresiasi. Buku ini mencoba mengajak kita para pembaca belajar lebih lanjut tentang cara mengapresiasi puisi dari sarana-sarana yang digunakan penyair melalui alat kebahasaan yang bisa berupa cerita, sikap, gagasan,suasana dan lain sebagainya(h.3). Menurut Sapardi, ada banyak cara yang bisa kita gunakan untuk mengapresiasi puisi yang digunakan oleh penyair melalui sajaknya yang bisa berupa cerita (balada), simpati, atau perasaan-perasaan penyairnya. Melalui kata-kata yang digunakan penyair,kita bisa melakukan apresiasi dan memaknai lebih jauh apa yang sebenarnya dimaksudkan atau yang akan disampaikan penyair melalui puisinya. Sebagai “mahkota bahasa”, puisi tampak mengesankan, karena ia terlepas dari bahasa sehari-hari. Boleh dibilang, apa yang dikatakan penyair adalah bahasa yang sudah tersaring. Meski demikian, bukan berarti kita tak bisa menafsirkannya. Dari diksi yang penyair hadirkan, kita bisa menafsirkan maknanya, misalnya dengan memparafrasekan puisi tersebut. Dari situlah, kita akan melihat tak hanya ironi seperti yang terlihat dalam puisi-puisi Jokpin, anxiety dalam puisi-puisi Goenawan Mohamad, atau puisi berbau cerita sejarah yang ada pada puisi Gunawan Maryanto. Melalui puisi-puisi Amir Hamzah, Armijn Pane, Goenawan Mohamad, Sapardi menghadirkan apresiasi sederhana untuk mengajak kita ikut menyemarakkan apresiasi puisi. Ajakan ini dikemas dengan bahasa yang ringkas, cergas dan sederhana. Disinilah, nampak kelihaian Sapardi untuk mengajak pembaca puisi ikut serta mengapresiasi karya sastra kita khususnya puisi, sebab apresiasi karya sastra tak hanya tugas kritikus, tetapi juga tugas pembaca. Buku Bilang Begini Maksudnya Begitu(2014) mengajak kita untuk mengapresiasi puisi secara sederhana, tanpa bermaksud menyederhanakannya.

*) Penulis adalah Pembaca buku, Pegiat di Komunitas Tanda Tanya Solo menulis di doeniaboekoe.blogspot.com

No comments:

Post a Comment