klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Tuesday 16 February 2016

Thukul dan Suara Akar Rumput




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Widji Thukul adalah salah satu dari sekian penyair Indonesia yang menggunakan bahasa lugas dan bebas untuk puisinya. Puisi bagi Widji Thukul bukanlah bahasa yang meliuk-liuk dan mendayu-dayu serta jauh dari kesan estetis. Bagi Thukul, letak puisi adalah bagaimana ia merepresentasikan dan menyuarakan suara dari Sang penyair. Karena itulah, Thukul menganggap bahwa bahasa adalah realitas itu sendiri, ia tak lagi menggunakan bahasa sebagai medium, sebagai metafora, atau sebagai sesuatu yang dikemas dan dibungkus dengan kata-kata indah.  Dari pilihan itulah, puisi Thukul lebih menyerupai suaranya, suara penyairnya. Karena itulah, puisi Thukul kemudian dianggap berbahaya dan meneror kekuasaan. Latar kehidupan dan pendidikan penyair yang tak tinggi membuat Thukul terus belajar. Ia mengatakan bahwa belajar tak harus di bangku sekolah, bisa membaca pengalaman dan realitas kehidupan sehari-hari. Thukul belajar dengan siapa saja, teman-teman dan juga lingkungan dimana dia tinggal. Puisi Thukul menyiratkan bagaimana kosmologi penyair hadir bersama rumah, keluarga, hingga tanpa sadar menyinggung tema besar termasuk politik dan Negara. Bandung Mawardi menuliskan dalam bukunya Sastra Bergelimang Makna(2010:20) bahwa Thukul memiliki imajinasi dan mimpi tentang rumah dan nasib sebagai gelandangan yang merupakan implikasi dari kebijakan Negara. Simaklah bait puisi ini : kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak/tapi bersama hari-hari pengap yang menggelinding/ kami harus angkat kaki/ karena kami adalah gelandangan. Thukul seolah membuat pengertian yang paradox antara impian punya rumah dengan gelandangan. Aktifitas Thukul sebagai penyair tak dianggap sebagai aktifitas yang tertutup, asing, dan tinggal di menara gading. Sebaliknya, Thukul lahir sebagai aktifis, dan terlibat. Ia pun aktif dalam lingkungan PRD (Partai Rakyar Demokratik) yang lebih dikenal dengan aksi-aksi politiknya. Widji Thukul justru hadir bersama demonstrasi, kritik dan juga menjadi pelopor bagi gerakan buruh. Dari aksi dan demonstrasinya itulah ia justru mendapatkan ganjarannya yakni dipoprol senapan yang menyebabkan hampir kehilangan mata satunya. Ia malah tak berhenti, ia semakin keras dan semakin melontarkan kritik-kritiknya. Pernah sahabatnya mengingatkan padanya untuk berhenti menulis dan membacakan puisi-puisinya. Thukul justru menjawab bahwa ia tak gentar akan peringatan temannya itu. Ia pun tak gentar akan kekuasaan yang meringkus dan meneror keluarganya. Akibat dari puisi-puisinya dan aktifitasnya itulah menjelang kejatuhan Orde Baru Agustus 1996, Thukul berpamitan kepada keluarganya untuk bersembunyi, sejak itulah ia sembunyi dari kota ke kota. Selama itu pula ia tak berhenti menulis puisi dan menghindar dari perburuan pemerintah (Majalah Tempo,13-19 Mei 2013). 
            Buku puisi Nyanyian Akar Rumput (2014) adalah buku yang menghimpun kumpulan lengkap puisi Thukul sejak pertama hingga terakhir yang diterbitkan oleh Majalah Tempo(2013) yang berjudul Para Jenderal Marah-Marah. Buku ini sekaligus sebagai penanda bahwa suara Thukul masih tetap didengar dan didendangkan. Asean Literary Festival (2014)mengangkat Thukul dan Nyanyian Akar Rumput sebagai tema utama. Apa yang diserukan Thukul, layak diapresiasi dan diangkat dalam kesusasteraan kitadan dunia. Sebagaimana karya-karya Pramoedya yang jujur dan mengangkat tema-tema kemanusiaaan, karya Widji Thukul adalah suara-suara kemanusiaan yang tak patut dibungkam. Puisi-puisi Widji Thukul menunjukkan bahwa suara akar rumput (kaum bawah) adalah suara yang layak didengarkan dan diperhitungkan. Lebih dari itu, Widji Thukul justru mengangkat tema-tema yang sebenarnya jarang diangkat oleh penyair-penyair di masanya.    Puisi Widji Thukul menunjukkan kepada kita bahwa seorang penyair mesti menangkap dan memperhatikan gejala dan fenomena di sekitarnya, merenungkan dan menyuarakan melalui puisi-puisinya. Bagi Thukul berpuisi adalah berfihak. Ini jelas terlihat pada sajak-sajaknya. Ia mengatakan dalam salah satu puisinya : jika kau menghamba pada ketakutan/kita memperpanjang barisan perbudakan. Thukul melalui buku Nyanyian  Akar Rumput (2014) ini menjelaskan bagaimana kehidupan keluarganya, kehidupan lingkungannya, kemiskinan yang dideranya, nasibnya sebagai buruh. Kemarahan dan ketidakpuasan terhadap kebijakan penguasa yang berefek bagi buruknya nasibnya. Semua itu ia luapkan pada puisi-puisinya.
            Buku Puisi Widji Thukul  Nyanyian Akar Rumput (2014) adalah wujud dan bukti bahwa kesusasteraan melampaui bidang-bidang yang lain. Ia melampaui persoalan ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan manusia. Thukul menunjukkan kepada kita bahwa suara akar rumput adalah kejujuran, keterbukaan, dan suara kemanusiaan.  Puisi Thukul meski identik dengan tragisme, kemiskinan, dan nasib yang apes, menunjukkan kepada kita bahwa melalui kata-kata dan puisinya itulah, ia bersuara dan menyuarakan dirinya dan nasibnya yang sering diidentikkan dengan suara akar rumput (kalangan bawah).

*)Penulis adalah Penyuka Puisi, bergiat di Bilik Literasi SOLO

No comments:

Post a Comment