Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Widji Thukul adalah salah satu dari
sekian penyair Indonesia yang menggunakan bahasa lugas dan bebas untuk
puisinya. Puisi bagi Widji Thukul bukanlah bahasa yang meliuk-liuk dan
mendayu-dayu serta jauh dari kesan estetis. Bagi Thukul, letak puisi adalah
bagaimana ia merepresentasikan dan menyuarakan suara dari Sang penyair. Karena
itulah, Thukul menganggap bahwa bahasa adalah realitas itu sendiri, ia tak lagi
menggunakan bahasa sebagai medium, sebagai metafora, atau sebagai sesuatu yang
dikemas dan dibungkus dengan kata-kata indah.
Dari pilihan itulah, puisi Thukul lebih menyerupai suaranya, suara
penyairnya. Karena itulah, puisi Thukul kemudian dianggap berbahaya dan meneror
kekuasaan. Latar kehidupan dan pendidikan penyair yang tak tinggi membuat
Thukul terus belajar. Ia mengatakan bahwa belajar tak harus di bangku sekolah,
bisa membaca pengalaman dan realitas kehidupan sehari-hari. Thukul belajar
dengan siapa saja, teman-teman dan juga lingkungan dimana dia tinggal. Puisi
Thukul menyiratkan bagaimana kosmologi penyair hadir bersama rumah, keluarga,
hingga tanpa sadar menyinggung tema besar termasuk politik dan Negara. Bandung
Mawardi menuliskan dalam bukunya Sastra
Bergelimang Makna(2010:20) bahwa Thukul memiliki imajinasi dan mimpi
tentang rumah dan nasib sebagai gelandangan yang merupakan implikasi dari
kebijakan Negara. Simaklah bait puisi ini :
kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak/tapi bersama hari-hari pengap yang
menggelinding/ kami harus angkat kaki/ karena kami adalah gelandangan.
Thukul seolah membuat pengertian yang paradox antara impian punya rumah dengan
gelandangan. Aktifitas Thukul sebagai penyair tak dianggap sebagai aktifitas
yang tertutup, asing, dan tinggal di menara gading. Sebaliknya, Thukul lahir
sebagai aktifis, dan terlibat. Ia pun aktif dalam lingkungan PRD (Partai Rakyar
Demokratik) yang lebih dikenal dengan aksi-aksi politiknya. Widji Thukul justru
hadir bersama demonstrasi, kritik dan juga menjadi pelopor bagi gerakan buruh.
Dari aksi dan demonstrasinya itulah ia justru mendapatkan ganjarannya yakni
dipoprol senapan yang menyebabkan hampir kehilangan mata satunya. Ia malah tak
berhenti, ia semakin keras dan semakin melontarkan kritik-kritiknya. Pernah
sahabatnya mengingatkan padanya untuk berhenti menulis dan membacakan
puisi-puisinya. Thukul justru menjawab bahwa ia tak gentar akan peringatan
temannya itu. Ia pun tak gentar akan kekuasaan yang meringkus dan meneror
keluarganya. Akibat dari puisi-puisinya dan aktifitasnya itulah menjelang
kejatuhan Orde Baru Agustus 1996, Thukul berpamitan kepada keluarganya untuk
bersembunyi, sejak itulah ia sembunyi dari kota ke kota. Selama itu pula ia tak
berhenti menulis puisi dan menghindar dari perburuan pemerintah (Majalah
Tempo,13-19 Mei 2013).
Buku
puisi Nyanyian Akar Rumput (2014)
adalah buku yang menghimpun kumpulan lengkap puisi Thukul sejak pertama hingga
terakhir yang diterbitkan oleh Majalah Tempo(2013) yang berjudul Para Jenderal Marah-Marah. Buku ini
sekaligus sebagai penanda bahwa suara Thukul masih tetap didengar dan
didendangkan. Asean Literary Festival
(2014)mengangkat Thukul dan Nyanyian Akar
Rumput sebagai tema utama. Apa yang diserukan Thukul, layak diapresiasi dan
diangkat dalam kesusasteraan kitadan dunia. Sebagaimana karya-karya Pramoedya
yang jujur dan mengangkat tema-tema kemanusiaaan, karya Widji Thukul adalah
suara-suara kemanusiaan yang tak patut dibungkam. Puisi-puisi Widji Thukul
menunjukkan bahwa suara akar rumput (kaum bawah) adalah suara yang layak
didengarkan dan diperhitungkan. Lebih dari itu, Widji Thukul justru mengangkat
tema-tema yang sebenarnya jarang diangkat oleh penyair-penyair di masanya. Puisi Widji Thukul menunjukkan kepada kita
bahwa seorang penyair mesti menangkap dan memperhatikan gejala dan fenomena di
sekitarnya, merenungkan dan menyuarakan melalui puisi-puisinya. Bagi Thukul
berpuisi adalah berfihak. Ini jelas terlihat pada sajak-sajaknya. Ia mengatakan
dalam salah satu puisinya : jika kau
menghamba pada ketakutan/kita memperpanjang barisan perbudakan. Thukul
melalui buku Nyanyian Akar Rumput (2014) ini menjelaskan
bagaimana kehidupan keluarganya, kehidupan lingkungannya, kemiskinan yang
dideranya, nasibnya sebagai buruh. Kemarahan dan ketidakpuasan terhadap
kebijakan penguasa yang berefek bagi buruknya nasibnya. Semua itu ia luapkan
pada puisi-puisinya.
Buku Puisi Widji Thukul
Nyanyian Akar Rumput (2014) adalah wujud dan bukti bahwa
kesusasteraan melampaui bidang-bidang yang lain. Ia melampaui persoalan
ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan manusia. Thukul menunjukkan kepada kita
bahwa suara akar rumput adalah kejujuran, keterbukaan, dan suara
kemanusiaan. Puisi Thukul meski identik
dengan tragisme, kemiskinan, dan nasib yang
apes, menunjukkan kepada kita bahwa melalui kata-kata dan puisinya itulah,
ia bersuara dan menyuarakan dirinya dan nasibnya yang sering diidentikkan
dengan suara akar rumput (kalangan bawah).
*)Penulis adalah Penyuka Puisi, bergiat di
Bilik Literasi SOLO
No comments:
Post a Comment