Kalian tidak menyandarkan hidup kepada Al-qur’an , kitab yang mestinya menjadi sumber kekuatan hidupmu dan mata air semangatmu. Kalian malah tak pernah terpaut dengannya kecuali pada detik-detik kematianmu : kau dibacakan surah Yasin agar kau bias mati dengan mudah. Sungguh Ironis, kitab yang diturunkan untuk memberimu kekuatan hidup justru dibacakan agar kau meninggal secara mudah
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Malam itu, malam minggu (29/11/14) aku
balik lagi di bazar buku islami di goro Assalam, mata melihat-lihat,
kesana-kemari, melirik-lirik dan menemukan tumpukan buku terbitan zaman dan
terbitan serambi. Kedua penerbit ini kukenal dengan buku-buku bermutu, serambi
selain menerbitkan buku-buku sastra, ia juga menerbitkan buku sejarah. Kini,
kutengok tumpukan buku itu, aku menemukan buku yang diobral dengan harga cukup
murah, Rp.15.000,00. Senanglah diriku, buku itu dikemas dengan warna
menyejukkan. Buku itu berjudul Agar
Al-qur’an menjadi teman (2011) buku ini garapan doctor Majdi al-Hilali. Zaman
memang sering dikenal sebagai penerbit buku yang menerjemahkan kitab ulama
klasik. Buku ini adalah bagian dari suara yang berbeda dari buku-buku yang
sering disebut “islami”. Membaca buku zaman memang menyejukkan, dan kita diajak
dengan bahasa yang halus dan renyah. Sepintas lalu, saya berniat untuk lebih
mengerti mengapa kita memerlukan dan membutuhkan pegangan, kitab hidup. Sering kita
dengar seruan para mubaligh, ustadz di televise untuk semakin mendalami dan
mempraktekkan al-qur’an, namun yang terjadi justru sebaliknya, Qur’an semakin
jauh?. Barangkali karena kaum islam sendiri tak memiliki “kesadaran” untuk
mengambil pengetahuan dari Qur’an dan mengamalkannya. Barangkali benar adanya
ungkapan dari Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah yang mengatakan : “Yang disebut ahli
Al-qur’an adalah orang-orang yang memahami Al-qur’an sekaligus mengamalkan
isinya, walaupun ia tidak menghafalkannya di luar kepala” (h. 257). Orang sering
menganggap bahwa Al-qur’an itu berbeda dengan ilmu yang lain, tetapi mereka
belum mampu menjelaskan apa perbedaan dengan buku-buku atau kitab yang lain. Pasalnya
pada masa khalifah pernah diperintahkan sebagaimana dituturkan dalam buku ini,
bahwa selain Al-qur’an para khalifah memerintahkan menghapus semua tulisan
selain Al-qur’an sebab karena khawatir Al-qur’an di lalaikan. Barangkali memang
benar, karena Al-qur’an dilalaikan itulah, hati kemudian menjadi redup dan
semakin tak memancarkan cahaya. Al-qur’an disebut sebagai ruh, karena ia
disebut sebagai ruh itulah, ia akan merasuk ke dalam hati orang yang beriman
dan mewujud dalam amal. Ia akan memberikan ketenangan dan memberikan perubahan.
Saya jadi ingat seruan Muhammad Iqbal kepada kita : “Kalian umat islam, masih
saja tertawan oleh para pembual agama dan orang-orang yang memonopoli ilmu. Kalian
tidak menyandarkan hidup kepada Al-qur’an , kitab yang mestinya menjadi sumber
kekuatan hidupmu dan mata air semangatmu. Kalian malah tak pernah terpaut
dengannya kecuali pada detik-detik kematianmu : kau dibacakan surah Yasin agar
kau bisa mati dengan mudah. Sungguh Ironis, kitab yang diturunkan untuk
memberimu kekuatan hidup justru dibacakan agar kau meninggal secara mudah.
Iqbal melanjutkan : “apa yang kupercayai dan yang kupeluk ini lebih dari sekadar
kitab suci, jika ia merasuk ke relung kalbu, manusia akan berubah, jika manusia
berubah, dunia pun akan berubah” (h.190). apa yang diseru iqbal benar adanya,
umat islam memang hanya memandang Al-qur’an kemudian sebagai sebuah kitab dan
bacaan semata, sehingga ia tak merasuk, tak masuk ke dalam relung jiwa dan
lubuk hati kita. Disinilah persoalannya, sehingga Al-qur’an tak membawa dampak
apa-apa bagi perubahan dan kemajuan islam. Diantara orang yang mempelajari
Al-qur’an kemudian ada yang memiliki sikap fanatic dan merasa berpegang teguh
kepadanya. Pada akhirnya mereka kemudian menganggap ilmu jadi tak penting
dipelajari. Sikap seperti ini sebenarnya justru membawa kepada kemunduran umat.
Barangkali mereka memaknai apa yang dikatakan oleh Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah
berikut ini : “ Sudah kucoba mendalami ilmu kalam dan filsafat, tetapi kulihat
semua itu tak mampu mengatasi penyakit batin, tak kuasa menghilangkan dahaga.
Di mataku hanya ada satu jalan pengalamanku ini, ia akan meraih pengetahuan
seperti yang kuraih” (h.66). Tampak benar bahwa disini, Ibnu Qoyyim memang tak
menempatkan filsafat dan kalam sebagai satu ilmu yang menenteramkan batin,
sebab dalam kedua ilmu itu memang bukan untuk menenangkan hati. Disinilah, Qur’an
melampaui ilmu kalam dan filsafat, selain pelajaran yang meliputi segala
sesuatu, Qur’an adalah suara Tuhan, sehingga ia menyentuh ruhaniah dan
menenangkannya. Bahkan ada hadist yang diriwayatkan oleh Al-hakim bahwa “setiap
huruf Al-qur’an berseru, ‘Aku adalah utusan Alloh untukmu agar aku diamalkan
dan dijadikan nasihat”. (h.39). Aktualitas Al-qur’an memang tak lapuk oleh
zaman. Saya jadi teringat buku Ngaji Qur’an
di Zaman Edan (2014) garapan Ziauddin Sardar, buku ini mengulas mengenai
relevansi Al-qur’an pada kehidupan dan tema kontemporer (kekinian). Pada aspek
ini, kita justru sering berdebat dan bercerai berai, padahal semestinya, Al-qur’an
menjadi medium untuk menyatukan perselisihan. Disinilah problema tafsir yang
lebih mengarah pada purifikasi, dan lebih terkesan konservatif ketimbang
mengkaji semangat Al-qur’an bagi kemajuan zaman. Muhammad Iqbal pun memberikan
pengakuannya ketika ia mendalami dan memaknai Al-qur’an, “darinya, ada cahaya
yang kudapat, ada mutiara yang kususun”.
Barangkali karena itulah, Al-qur’an
bukan sekadar bacaan, tetapi ia adalah firman yang dibisikkan Tuhan kepada
kita, bukan karena bacaannya bagus, tetapi lebih dari itu, Qur’an meniupkan
kesejukan dan memancarkan getaran yang berasal dari Tuhan. Kita tentu ingat
ketika Nabi sendiri menggigil, di riwayat lain, digambarkan wajah nabi memerah,
seperti marah karena turunnya wahyu. Getaran dan bertambahnya iman itu pun
mewujud melalui laku. Apa yang dikatakan Iqbal berhubungan dengan Qur’an perlu kita dengar kalau kita mau berubah, kita perlu lebih tekun dalam mendalami dan
mengamalkan Qur’an dalam aspek kehidupan kita. Ini sejalan dengan hadist nabi
yang mengisahkan fungsi Al-qur’an sebagai solusi akhirul zaman. Pernah nabi
mengabarkan bahwa akan terjadi sengketa dan perpecahan sepeniggal beliau.
Hudzaifah bertanya : “ya rasul, apa yang kauperintahkan padaku jika aku
menututi zaman itu?” Beliau menjawab : “pelajari kitab Allah dan amalkan,
itulah solusinya!” “kuulangi pertanyaan itu tiga kali”, tutur Hudzaifah. Dan Rasulullah
pun menjawabnya tiga kali pula : “”pelajari kitab Allah dan amalkan, itulah
penyelamat!”(HR Abu Dawud, Al-Nasa’I, dan Al-Hakim). Sebab Qur’an pada dasarnya
bukan sekadar peringatan dan hukuman, melainkan seimbang, ia juga memberi kabar
gembira yang menenteramkan dan menyejukkan.
*) Penulis adalah Pengasuh MIM PK
Kartasura, Pengelola www.doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment