Tagore menghantam dan mengkritik keras
logika pendidikan bernafaskan colonial.Kolonialisme bagi Tagore tak bakal
membawa ke arah akar kebudayaan dan identitas jati diri kultural kita
Oleh Arif
Saifudin Yudistira*)
Nama Tagore barangkali asing bagi sebagian kaum
pendidik di negeri ini. Apa yang dibawa Tagore mengingatkan saya akan sebuah
tekad dan sebuah upaya mengembangkan pendidikan dan nasionalisme. Urusan nasionalisme
dan pendidikan ini pernah diulas oleh Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara
pernah dikunjungi Tagore, Tagore pernah berkunjung ke Taman Siswa. Dua pemikir dan pendidik ini
sama-sama menginginkan kedamaian dan ketenteraman dalam menentukan tujuan
pendidikan mereka. Bila di kita melihat tujuan Taman Siswa adalah untuk
menciptakan perdamaian dan ketenteraman, maka di Sekolah Santiniketan pun
diartikan sebagai “tempat kediaman ketenteraman” (h. 46).Disamping itu,
sikapnya kepada kembali kepada kebudayaan timur dari kedua pemikir ini
sama-sama terlihat. Kedua tokoh ini mengembalikan konsepsi nasionalisme
pendidikan. Di buku Rabrindanath Tagore,
Sebagai Pendidik (1956)garapan HJ.
Van den Berg : “ Saja merasa kebutuhan akan suatu jajasan di India, jang akan
mendjadi pusat segala kebudajaan timur” (h.104). Sikapnya yang mengembalikan
kepada kebudayaan Timur, nasionalismenya, membawa Tagore kembali kepada akar
cultural dan apa yang dimiliki India. Melalui model pengajarannya di
Santiniketan, Tagore membangun sekolah yang mengembalikan dan menghidupkan
serta mendekatkan kembali anak-anak dengan alam. Pohon menjadi symbol dan
tempat untuk belajar. Disanalah Tagore membawa anak-anak pada nyanyian dan
puisi. Tagore pun di dalam sekolahnya digunakan bahasa nasionalnya, bahasa
India. Sikap tagore di awal pendirian pendidikannya memang lebih terlihat
mengukuhkan bahasa dan kebudayaan India. Tetapi kemudian, setelah Santiniketan
berubah menjadi pusat pendidikan yang lebih luas dengan didirikannya
Universitas Visva Bharati, Tagore mulai menerima dan menyatukan kebudayaan
antara Barat dan Timur. Kesatuan ini dipandang perlu, sebab dengan penyatuan
Barat dan Timur, tidak ada lagi sikap inferioritas antara timur dan barat yang
saling merendahkan satu sama lain. Di universitas nya itupula, kelak ia
dikunjungi para intelektual dari Universitas Harvard, maupun Universitas Barat
lainnya yang melihat penuh kekaguman apa yang ada di kebudayaan Timur melalui
Universitas Visva bharati. Di univesitas ini tidak hanya music yang dikembangkan,
tetapi juga pertanian dan perkebunan. Di universitas ini pula kita diajak untuk
melihat harmoni dari sebuah peradaban Timur. Integrasi ini tergambar dari apa
yang dikatakan Tagore : “Saja telah mendirikan universitet- Visva –Bharati
sebagai suatu sekolah, dimana orang dari pelbagai kebudajaan dan tradisi dapat
saling mengenal. Barangkali dirasa suatu
tempat jang sangat sederhana untuk mulai tugas sebesar itu. Kesederhanaan
permulaan tak menakutkan saja. Semua pikiran jang besar harus mulai dengan
ketjil seperti manusia”. Karena universitas ini merupakan pertemuan dan tempat
bergumulnja tradisi antar bangsa, maka kebudayaan disini pun semakin bertemu
dan saling melebur. Di universitas ini pula tercipta kerukunan, ketenteraman
dan harmoni, sikap saling menghargai dan mengapresiasi.
Kritik
Tagore menghantam dan mengkritik keras
logika pendidikan bernafaskan colonial. Kolonialisme bagi Tagore tak bakal
membawa ke arah akar kebudayaan dan identitas serta jati diri cultural kita. Karena
itulah, Tagore berusaha mengembalikan jati diri dan hakikat pendidikan kepada
pendidikan yang berdasarkan nasionalisme india. Simaklah kekecewaan Tagore
berikut ini : “ Salahnja dasar kita ialah, bahwa kami tak dididik untuk
mengenal diri kami sendiri. Tak ada suatu tempatpun diambil tindakan supaja
para mahasiswa mengenal India, sedjarahnja, filsafatnja, keseniannja, agamanja,
dan kesusasteraannja. Rentjana tak memberikan kesempatan untuk mengembangkan
perhatian terhadap hal-hal jang mengenai India”. Lebih lanjut ia mengatakan : “lembaga
perguruan Negara kami ialah tempurung pengemis India bagi pengetahuan, lembaga
itu mengurangai penghargaan diri sendiri dilapangan ketjerdasan. Akibatnja
ialah bahwa kami hanja mereprodusir sadja dan tak menghasilkan apa-apa”.
Di buku Rabrindanath Tagore,Sebagai
Pendidik Tagore juga dikisahkan berkeliling dunia untuk memahami dan
mengerti makna pendidikan yang sejati, dan sebagai wujud bahwa ia memberikan
dan mengisahkan misinya yakni mengupayakan kedamaian dan ketenteraman. Selain itu,ia
juga menyebarkan apa yang menjadi ilmu ruhani India. Tagore tak hanya dikenal
sebagai sastrawan, pendidik, filsuf, sekaligus tokoh agama yang
mengejawantahkan misinya ke dalam praktek. Upaya Tagore untuk merumuskan
pendidikan yang kembali kepada akar cultural itulah yang patut kita renungkan
ke dalam pendidikan kita. Tagore mengatakan setelah keliling dunia dan
sakit-sakitan : “karena perkosaan keadilan manusia kadang2 dapat
merebut kemakmuran, dapat merebut apa jang kelihatannja pantas diingini, dapat
menghantjurkan musuhnja, tetapi mati pada akarnja”.
Tentu kita tak ingin pendidikan kita
semakin berorientasi ke arah barat. Kabar bahasa Indonesia yang akan
menginternasional barangkali bukan sekadar kabar gembira, melainkan bukti bahwa
bahasa kita tak kalah jauh dengan bahasa asing. Puja bahasa membuat kita
menjadi inferior terhadap segala yang berasal dari barat. Tagore menyentuh kita
dengan mengatakan : ‘Timur masih memiliki pelbagai khazanah
keilmuan dan memiliki akar kebudayaan yang kuat dan bernilai luhur’.
No comments:
Post a Comment