klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 10 November 2014

Tagore Dan Pendidikan




Tagore menghantam dan mengkritik keras logika pendidikan bernafaskan colonial.Kolonialisme bagi Tagore tak bakal membawa ke arah akar kebudayaan dan identitas jati diri kultural kita

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

        
Nama Tagore barangkali asing bagi sebagian kaum pendidik di negeri ini. Apa yang dibawa Tagore mengingatkan saya akan sebuah tekad dan sebuah upaya mengembangkan pendidikan dan nasionalisme. Urusan nasionalisme dan pendidikan ini pernah diulas oleh Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara pernah dikunjungi Tagore, Tagore pernah berkunjung ke  Taman Siswa. Dua pemikir dan pendidik ini sama-sama menginginkan kedamaian dan ketenteraman dalam menentukan tujuan pendidikan mereka. Bila di kita melihat tujuan Taman Siswa adalah untuk menciptakan perdamaian dan ketenteraman, maka di Sekolah Santiniketan pun diartikan sebagai “tempat kediaman ketenteraman” (h. 46).Disamping itu, sikapnya kepada kembali kepada kebudayaan timur dari kedua pemikir ini sama-sama terlihat. Kedua tokoh ini mengembalikan konsepsi nasionalisme pendidikan. Di buku Rabrindanath Tagore, Sebagai Pendidik  (1956)garapan HJ. Van den Berg : “ Saja merasa kebutuhan akan suatu jajasan di India, jang akan mendjadi pusat segala kebudajaan timur” (h.104). Sikapnya yang mengembalikan kepada kebudayaan Timur, nasionalismenya, membawa Tagore kembali kepada akar cultural dan apa yang dimiliki India. Melalui model pengajarannya di Santiniketan, Tagore membangun sekolah yang mengembalikan dan menghidupkan serta mendekatkan kembali anak-anak dengan alam. Pohon menjadi symbol dan tempat untuk belajar. Disanalah Tagore membawa anak-anak pada nyanyian dan puisi. Tagore pun di dalam sekolahnya digunakan bahasa nasionalnya, bahasa India. Sikap tagore di awal pendirian pendidikannya memang lebih terlihat mengukuhkan bahasa dan kebudayaan India. Tetapi kemudian, setelah Santiniketan berubah menjadi pusat pendidikan yang lebih luas dengan didirikannya Universitas Visva Bharati, Tagore mulai menerima dan menyatukan kebudayaan antara Barat dan Timur. Kesatuan ini dipandang perlu, sebab dengan penyatuan Barat dan Timur, tidak ada lagi sikap inferioritas antara timur dan barat yang saling merendahkan satu sama lain. Di universitas nya itupula, kelak ia dikunjungi para intelektual dari Universitas Harvard, maupun Universitas Barat lainnya yang melihat penuh kekaguman apa yang ada di kebudayaan Timur melalui Universitas Visva bharati. Di univesitas ini tidak hanya music yang dikembangkan, tetapi juga pertanian dan perkebunan. Di universitas ini pula kita diajak untuk melihat harmoni dari sebuah peradaban Timur. Integrasi ini tergambar dari apa yang dikatakan Tagore : “Saja telah mendirikan universitet- Visva –Bharati sebagai suatu sekolah, dimana orang dari pelbagai kebudajaan dan tradisi dapat saling mengenal. Barangkali  dirasa suatu tempat jang sangat sederhana untuk mulai tugas sebesar itu. Kesederhanaan permulaan tak menakutkan saja. Semua pikiran jang besar harus mulai dengan ketjil seperti manusia”. Karena universitas ini merupakan pertemuan dan tempat bergumulnja tradisi antar bangsa, maka kebudayaan disini pun semakin bertemu dan saling melebur. Di universitas ini pula tercipta kerukunan, ketenteraman dan harmoni, sikap saling menghargai dan mengapresiasi.
Kritik
        
        Tagore menghantam dan mengkritik keras logika pendidikan bernafaskan colonial. Kolonialisme bagi Tagore tak bakal membawa ke arah akar kebudayaan dan identitas serta jati diri cultural kita. Karena itulah, Tagore berusaha mengembalikan jati diri dan hakikat pendidikan kepada pendidikan yang berdasarkan nasionalisme india. Simaklah kekecewaan Tagore berikut ini : “ Salahnja dasar kita ialah, bahwa kami tak dididik untuk mengenal diri kami sendiri. Tak ada suatu tempatpun diambil tindakan supaja para mahasiswa mengenal India, sedjarahnja, filsafatnja, keseniannja, agamanja, dan kesusasteraannja. Rentjana tak memberikan kesempatan untuk mengembangkan perhatian terhadap hal-hal jang mengenai India”. Lebih lanjut ia mengatakan : “lembaga perguruan Negara kami ialah tempurung pengemis India bagi pengetahuan, lembaga itu mengurangai penghargaan diri sendiri dilapangan ketjerdasan. Akibatnja ialah bahwa kami hanja mereprodusir sadja dan tak menghasilkan apa-apa”.
          Di buku Rabrindanath Tagore,Sebagai Pendidik Tagore juga dikisahkan berkeliling dunia untuk memahami dan mengerti makna pendidikan yang sejati, dan sebagai wujud bahwa ia memberikan dan mengisahkan misinya yakni mengupayakan kedamaian dan ketenteraman. Selain itu,ia juga menyebarkan apa yang menjadi ilmu ruhani India. Tagore tak hanya dikenal sebagai sastrawan, pendidik, filsuf, sekaligus tokoh agama yang mengejawantahkan misinya ke dalam praktek. Upaya Tagore untuk merumuskan pendidikan yang kembali kepada akar cultural itulah yang patut kita renungkan ke dalam pendidikan kita. Tagore mengatakan setelah keliling dunia dan sakit-sakitan : “karena perkosaan keadilan manusia kadang2 dapat merebut kemakmuran, dapat merebut apa jang kelihatannja pantas diingini, dapat menghantjurkan musuhnja, tetapi mati pada akarnja”.
          Tentu kita tak ingin pendidikan kita semakin berorientasi ke arah barat. Kabar bahasa Indonesia yang akan menginternasional barangkali bukan sekadar kabar gembira, melainkan bukti bahwa bahasa kita tak kalah jauh dengan bahasa asing. Puja bahasa membuat kita menjadi inferior terhadap segala yang berasal dari barat. Tagore menyentuh kita dengan mengatakan : ‘Timur masih memiliki pelbagai khazanah keilmuan dan memiliki akar kebudayaan yang kuat dan bernilai luhur’.


No comments:

Post a Comment