Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Kuntowijoyo seolah mau menampar para sastrawan yang hanya
sekadar mengeluarkan karya sastranya (puisi, cerpen, atau novel) tanpa mau tahu
mengapa dan sebab apa mereka berkarya
Sudah hampir cukup lama saya dan teman-teman dari
Jogja entah beberapa tahun lalu membincangkan gagasan Kuntowijoyo mengenai ilmu
profetik. Sebagai intelektual dan akademisi sekaligus sastrawan, Kuntowijoyo
memberi sumbangsih wacana dan gagasan yang bisa dibilang baru di negeri ini,
pada waktu itu. Gagasan ini muncul dan bersambut oleh akademisi, dosen dan
mahasiswa. Di bukunya Islam Sebagai Ilmu
Kuntowijoyo memaparkan konsep-konsep transendensi,
liberasi, dan humanisasi. Ketiga unsur ini adalah bagian pokok dari apa yang
selama ini dikatakan sebagai ilmu profetik. Artinya, gagasan keilmuan profetik
mesti membebaskan, memiliki nilai transenden (tak terlepas dari nilai ketuhanan/ iman)dan memiliki respek
terhadap kemanusiaan. Ketika hal ini terpenuhi, maka tugas islam sebagai rahmat
seluruh alam bisa terwujud. Setali tiga uang dengan istilah islam profetik,
maka Kuntowijoyo pun menulis Maklumat
Sastra Profetik yang diterbitkan di tahun 2006. Kuntowijoyo mengatakan
mengapa ia perlu membuat satu kaidah dan konsep sastra profetik. Sebab yang
terjadi selama ini, sastra mengalami penindasan structural oleh Negara.
Kuntowijoyo menyebutkan ketika periode Soekarno, sampai pada periode Soeharto
pun demikian halnya. Dari sisi ini, apa yang dimaksud dengan gagasan liberalisasi belum terpenuhi. Sastra
yang memiliki kebebasan berfikir dan memiliki ruang ekspresi menjadi sirna
tatkala Negara hadir ikut mengontrol dan mengintervensi. Gagasan sastra sebagai
sebuah karya manusia yang keluar dari lubuk hati,dari jiwa kemudian hilang
karena ada campur tangan dan tekanan. Tidak hanya semasa Manikebu yang dilarang
oleh Soekarno, tetapi juga sastra yang dibawah control Negara dibawah
pemerintahan Soeharto pun demikian halnya menjadi penghambat dari liberalisasi
sastra. Kritik Kuntowijoyo pun menukik pada bagaimana manusia semakin seperti
mesin. Hal ini disebabkan oleh adanya dehumanisasi. Melalui ekonomi, sosial dan
politik, manusia menjadi kehilangan daya dobrak dan daya kritis terhadap
realitas yang ada. Rutinitas berjalan, tetapi kosong dan tak memiliki makna.
Kuntowijoyo menilai paska hilangnya PKI (1965), ideology kesadaran kelas
hilang. Sekarang ini LSM-LSM lebih pragmatis, tidak ideologis dan non-kelas
(h.20). apa yang dikatakan Kuntowijoyo adalah realitas bagaimana kondisi
masyarakat kita justru berubah drastis paska hilangnya PKI (tepatnya
pemusnahan).
Ketika masyarakat tak lagi memiliki ideology yang
jelas, dan modernitas berjalan cepat, maka perlu adanya alternative ideology
yang mampu mengembalikan nilai-nilai humanisasi, liberasi maupun transendensi.
Kuntowijoyo melihat ketiga hal itulah yang mesti ada dalam kesusasteraan kita.
Kuntowijoyo mengambil tema-tema itu dari karya-karyanya. Sebagai Negara yang
mempercayai Tuhan, tentu sastra kita tak
lebih dari sarana kita sebagai ibadah dan wujud transendensi kepada Tuhan . Kuntowijoyo menganggap karya sastra
yang mengarah kepada transendensi penting, ia akan menyentuh, sekaligus
mengingatkan kita kepada kesadaran kita sebagai makhluk. Apalagi sebagai Negara
yang memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sudah barangtentu karya
sastra yang bernafaskan ketuhanan penting dihadirkan di negeri ini. Dari sisi
lain, maklumat sastra profetik ini adalah jalan tengah ketika arah kebudayaan
dan sastra kita yang semakin tak terarah paska hadirnya polemic kebudayaan.
Polemic kebudayaan memang menjadi tonggak dan kegelisahan para intelektual di
Indonesia membincangkan diskursus dan identitas sastra dan kebudayaan kita.
Bila dahulu ada H.B. Jassin yang melakukan kritik, masukan dan mengembangkan
diskursus kritik sastra secara rutin kepada sastrawan-sastrawan kita. Tetapi,
paska Jassin, kritik sastra semakin tak memiliki sejarah yang berlanjut. Selain
itu, hadirnya sastra di kampus-kampus pun tak melahirkan kritik, gagasan, dan
karya besar yang membawa sastra Indonesia sebagai sebuah sastra yang besar dan
layak diperhatikan dunia. Karena itulah, maklumat hanya sekadar alternative dan
tawaran dari sebuah wacana sastra di Indonesia. Bila di masa lampau ,kita masih
mengenali sastra revolusioner, lalu dimanakah sastra kita sekarang?.
Kuntowijoyo menilai bahwa sastra mesti memiliki unsure transenden, unsure
transenden ini dimaknai sebagai rasa kekaguman, rasa berdecak, tatkala melihat,
mengalami ketakjuban melihat peristiwa-peristiwa di sekitar kita sehingga mengingatkan
kita kepada Tuhan dibalik itu semua. Ada yang kemudian menyebut dan
mengembangkan ini sebagai sastra sufistik seperi Abdul Hadi W.M.
Melalui buku Maklumat
Sastra Profetik(2006) ini, Kuntowijoyo mengajak kita untuk merenungkan
kembali arah sastra kita. Baginya, percuma kita bersastra tanpa kesadaran akan
religiusitas. Sebab sebagai umat yang mengakui adanya Tuhan, bersastra bukan
sekadar main-main, ia memiliki keterhubungan antara makhluk dan ciptaan-Nya
melalui transendensi. Mempunyai hubungan dengan lingkungan sekitar, manusia dan
latar belakang terciptanya karya yang memiliki unsure humanisme. Dan di sisi
lain, sastra harus terbebas dari tekanan, terbebas dari belenggu rezim dan
aturan-aturan yang tak membebaskan. Sastra harus mengajak kepada kesadaran kita
sebagai manusia yang memiliki kebebasan dan pertanggungjawaban (liberasi).
Sebagai sebuah gagasan dan uraian serta pertanggungjawaban Kuntowijoyo sebagai
sastrawan, maklumat sastra profetik ini memang belum mendapat penjelasan lebih
lanjut. Kita memang masih belum menemukan penjabaran dan udaran dari kelanjutan
konsep sastra profetiknya Kuntowijoyo. Pada titik inilah, kesusasteraan bukan
sekadar dunia yang muncul dan timbul tiba-tiba melainkan memiliki sejarah dan
memiliki pertanggungjawaban. Kuntowijoyo seolah mau menampar para sastrawan
yang hanya sekadar mengeluarkan karya sastranya (puisi, cerpen, atau novel)
tanpa mau tahu mengapa dan sebab apa mereka berkarya. Kuntowijoyo melalui
bukunya ini sekaligus menjabarkan mengapa ia mesti bersastra dan berkarya
sebagai sastrawan.
*)Penulis adalah Santri BILIK LITERASI
No comments:
Post a Comment