klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 9 November 2014

Kuntowijoyo dan Sastra Profetik




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)


Kuntowijoyo seolah mau menampar para sastrawan yang hanya sekadar mengeluarkan karya sastranya (puisi, cerpen, atau novel) tanpa mau tahu mengapa dan sebab apa mereka berkarya

                Sudah hampir cukup lama saya dan teman-teman dari Jogja entah beberapa tahun lalu membincangkan gagasan Kuntowijoyo mengenai ilmu profetik. Sebagai intelektual dan akademisi sekaligus sastrawan, Kuntowijoyo memberi sumbangsih wacana dan gagasan yang bisa dibilang baru di negeri ini, pada waktu itu. Gagasan ini muncul dan bersambut oleh akademisi, dosen dan mahasiswa. Di bukunya Islam Sebagai Ilmu Kuntowijoyo memaparkan konsep-konsep transendensi, liberasi, dan humanisasi. Ketiga unsur ini adalah bagian pokok dari apa yang selama ini dikatakan sebagai ilmu profetik. Artinya, gagasan keilmuan profetik mesti membebaskan, memiliki nilai transenden (tak terlepas dari  nilai ketuhanan/ iman)dan memiliki respek terhadap kemanusiaan. Ketika hal ini terpenuhi, maka tugas islam sebagai rahmat seluruh alam bisa terwujud. Setali tiga uang dengan istilah islam profetik, maka Kuntowijoyo pun menulis Maklumat Sastra Profetik yang diterbitkan di tahun 2006. Kuntowijoyo mengatakan mengapa ia perlu membuat satu kaidah dan konsep sastra profetik. Sebab yang terjadi selama ini, sastra mengalami penindasan structural oleh Negara. Kuntowijoyo menyebutkan ketika periode Soekarno, sampai pada periode Soeharto pun demikian halnya. Dari sisi ini, apa yang dimaksud dengan gagasan liberalisasi belum terpenuhi. Sastra yang memiliki kebebasan berfikir dan memiliki ruang ekspresi menjadi sirna tatkala Negara hadir ikut mengontrol dan mengintervensi. Gagasan sastra sebagai sebuah karya manusia yang keluar dari lubuk hati,dari jiwa kemudian hilang karena ada campur tangan dan tekanan. Tidak hanya semasa Manikebu yang dilarang oleh Soekarno, tetapi juga sastra yang dibawah control Negara dibawah pemerintahan Soeharto pun demikian halnya menjadi penghambat dari liberalisasi sastra. Kritik Kuntowijoyo pun menukik pada bagaimana manusia semakin seperti mesin. Hal ini disebabkan oleh adanya dehumanisasi. Melalui ekonomi, sosial dan politik, manusia menjadi kehilangan daya dobrak dan daya kritis terhadap realitas yang ada. Rutinitas berjalan, tetapi kosong dan tak memiliki makna. Kuntowijoyo menilai paska hilangnya PKI (1965), ideology kesadaran kelas hilang. Sekarang ini LSM-LSM lebih pragmatis, tidak ideologis dan non-kelas (h.20). apa yang dikatakan Kuntowijoyo adalah realitas bagaimana kondisi masyarakat kita justru berubah drastis paska hilangnya PKI (tepatnya pemusnahan).
                Ketika masyarakat tak lagi memiliki ideology yang jelas, dan modernitas berjalan cepat, maka perlu adanya alternative ideology yang mampu mengembalikan nilai-nilai humanisasi, liberasi maupun transendensi. Kuntowijoyo melihat ketiga hal itulah yang mesti ada dalam kesusasteraan kita. Kuntowijoyo mengambil tema-tema itu dari karya-karyanya. Sebagai Negara yang mempercayai Tuhan, tentu  sastra kita tak lebih dari sarana kita sebagai ibadah dan wujud transendensi kepada Tuhan . Kuntowijoyo menganggap karya sastra yang mengarah kepada transendensi penting, ia akan menyentuh, sekaligus mengingatkan kita kepada kesadaran kita sebagai makhluk. Apalagi sebagai Negara yang memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sudah barangtentu karya sastra yang bernafaskan ketuhanan penting dihadirkan di negeri ini. Dari sisi lain, maklumat sastra profetik ini adalah jalan tengah ketika arah kebudayaan dan sastra kita yang semakin tak terarah paska hadirnya polemic kebudayaan. Polemic kebudayaan memang menjadi tonggak dan kegelisahan para intelektual di Indonesia membincangkan diskursus dan identitas sastra dan kebudayaan kita. Bila dahulu ada H.B. Jassin yang melakukan kritik, masukan dan mengembangkan diskursus kritik sastra secara rutin kepada sastrawan-sastrawan kita. Tetapi, paska Jassin, kritik sastra semakin tak memiliki sejarah yang berlanjut. Selain itu, hadirnya sastra di kampus-kampus pun tak melahirkan kritik, gagasan, dan karya besar yang membawa sastra Indonesia sebagai sebuah sastra yang besar dan layak diperhatikan dunia. Karena itulah, maklumat hanya sekadar alternative dan tawaran dari sebuah wacana sastra di Indonesia. Bila di masa lampau ,kita masih mengenali sastra revolusioner, lalu dimanakah sastra kita sekarang?. Kuntowijoyo menilai bahwa sastra mesti memiliki unsure transenden, unsure transenden ini dimaknai sebagai rasa kekaguman, rasa berdecak, tatkala melihat, mengalami ketakjuban melihat peristiwa-peristiwa di sekitar kita sehingga mengingatkan kita kepada Tuhan dibalik itu semua. Ada yang kemudian menyebut dan mengembangkan ini sebagai sastra sufistik seperi Abdul Hadi W.M.
                Melalui buku Maklumat Sastra Profetik(2006) ini, Kuntowijoyo mengajak kita untuk merenungkan kembali arah sastra kita. Baginya, percuma kita bersastra tanpa kesadaran akan religiusitas. Sebab sebagai umat yang mengakui adanya Tuhan, bersastra bukan sekadar main-main, ia memiliki keterhubungan antara makhluk dan ciptaan-Nya melalui transendensi. Mempunyai hubungan dengan lingkungan sekitar, manusia dan latar belakang terciptanya karya yang memiliki unsure humanisme. Dan di sisi lain, sastra harus terbebas dari tekanan, terbebas dari belenggu rezim dan aturan-aturan yang tak membebaskan. Sastra harus mengajak kepada kesadaran kita sebagai manusia yang memiliki kebebasan dan pertanggungjawaban (liberasi). Sebagai sebuah gagasan dan uraian serta pertanggungjawaban Kuntowijoyo sebagai sastrawan, maklumat sastra profetik ini memang belum mendapat penjelasan lebih lanjut. Kita memang masih belum menemukan penjabaran dan udaran dari kelanjutan konsep sastra profetiknya Kuntowijoyo. Pada titik inilah, kesusasteraan bukan sekadar dunia yang muncul dan timbul tiba-tiba melainkan memiliki sejarah dan memiliki pertanggungjawaban. Kuntowijoyo seolah mau menampar para sastrawan yang hanya sekadar mengeluarkan karya sastranya (puisi, cerpen, atau novel) tanpa mau tahu mengapa dan sebab apa mereka berkarya. Kuntowijoyo melalui bukunya ini sekaligus menjabarkan mengapa ia mesti bersastra dan berkarya sebagai sastrawan.

*)Penulis adalah Santri BILIK LITERASI

No comments:

Post a Comment