klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Tuesday 25 November 2014

Cerita Martin Aleida


Oleh Arif Saifudin Yudistira*) 

Buku Mati Baik-Baik Kawan adalah kesaksian, doa sekaligus suara dari keteguhan prinsip dari sang penulisnya, ia ingin mati baik-baik tapi, setelah kisah dan apa yang ada di masa lalunya tuntas dikisahkan, diceritakan. Bukankah kebenaran memang demikian pula?, ia harus melalui jalan yang terkadang berkelok-kelok dan berliku untuk disampaikan, tetapi kepuasan dari sebuah kebenaran adalah tatkala ia sudah terlihat, meski kadang sering ditolak dan diacuhkan, setidaknya ia menyeru, menyeru yang masih memiliki nurani.

          Saya seperti sedang mengingat trauma membaca cerpen-cerpen Martin Aleida. Saya merasa memiliki teman, saya merasa memiliki sahabat dan saya merasa perlu untuk terus menulis dan teguh menatap harapan. Saya mendengar nama Martin Aleida dari Bandung Mawardi, ia berucap pendek “ Martin pernah diopeni Goenawan Mohammad, sedang yang lain justru tak diurus, barangkali karena Martin sastrawan. Saya pernah mengalami apa yang dialami oleh Martin, saya merasa ada yang bengkok, ada tabir yang belum dibuka sepenuhnya, saya pernah membuat bulletin dengan lambang petani dan buruh itu. Wajar, sebagai penyuka sejarah dan orang yang belajar sejarah dikampus saya baru melek sejarah melalui buku-buku. Buku-buku membuka mataku, ada yang belum sepenuhnya dibuka dari kejahatan yang telah 30 tahun lebih. Kejahatan dan kekejian itu tak hanya melahirkan cerita yang samar, kisah yang buram. Pada mulanya kita harus pelan-pelan menggali kuburan sejarah itu, untuk menemukan harta karun “kebenaran”. Saya merasa “Mati Baik-Baik Kawan” seperti surat dan sebuah cerita kegetiran dan harapan Martin sendiri. Sebagai seorang yang pernah ditangkap dan melihat dan merasakan sendiri kekejian dan kekejaman yang dilakukan oleh rezim, ia ingin mengungkapkan cita-citanya bahwa ia ingin mati baik-baik. Saya menyimak kegetiran Martin di halaman-halaman pertama buku ini sampai pada akhir buku ini. Saya masih juga menemukan gelap, tak segera menemukan cahaya “kebenaran” saya justru semakin menemukan misteri. Jembatan bacem yang diceritakan di buku ini adalah jembatan yang dikisahkan temanku, konon bau anyir darah itu sering dicium oleh warga yang tinggal di kampong temanku tinggal. Saya pernah melewati jembatan itu dengan rasa bergidik, saya seperti lewat di atas mayat-mayat, yang hanya darahnya yang sudah mengalir. Darahnya memang sudah hilang, jasadnya memang sudah hilang pula, tapi saya mencium cerita itu, saya seperti menghidupkan misteri yang ada dijembatan itu setiap kali melewatinya. Bengawan solo yang konon mendunia itu, saya mengingatnya, melihatnya, dan merasai ada yang berubah dari Bengawan Solo yang dijadikan festival oleh pemerintah kota, yang dikisahkan oleh Gesang sebagai kota para kaum pedagang, dan tidak pernah dihadirkan kisah bahwa disana, disini, ada dan tinggal berates-ratus mayat yang tak tahu siapa saja dan sebab apa mereka mati. Martin seperti sudah mematikan perasaannya, untuk menuliskan ini. Sebagaimana tokoh-tokoh dalam cerita ini, mereka bercerita seolah mereka harus menutup luka, harus memegang dada mereka sembari tersenyum, ini bukan lagi jamannya kita menangis, seperti itulah kira-kira Martin bercerita. Tetapi, seberapapun Martin mencoba menutupi perih di dadanya, Martin pada akhirnya harus mengisahkannya, menuturkannya pada kita, entah itu menambah misteri atau membuka misteri. Kita akan menemui kisah tentang tanah, BTI, PKI dan narasi jenderal, kapten sampai romantika kekasih yang datang ke calon isterinya untuk menemui kisah bahwa keluarga isterinya sudah dibantai dan dihabisi.
          Saya seperti menemukan kisah dan sejarah kita dibuka pelan-pelan seperti mengelupas mangga, mengelupas tubuh dan menguliti tubuh itu untuk menemukan manis dan juga kecut secara bersamaan. Kisah tentang penculikan, pemerkosaan, dan kisah tentang keluarga yang dipisahkan dihadirkan dalam cerpen-cerpen Martin. Saya menyimak kisah Ratusan Mata Di Mana-Mana yang bertutur tentang pengalaman penulis sendiri ketika dihadapkan dengan pilihan idealism. Ia harus mempertahankan prinsipnya, dan mensyukuri anugerah hidup yang diberikan padanya. Saya menyebutnya “anugerah” sebab sebagaimana dituturkan penulis, ia adalah satu dari sekian yang beruntung. Beruntung karena teman-temannya harus mati dan dibunuh secara mengenaskan. Prinsip mempertahankan kebenaran itulah yang kelak digunakan sebagai penebus dosa teman-temannya. Meski tak sedikit teman yang berkhianat dan memasuki ruang-ruang aman untuk melindungi diri. Martin pada akhirnya harus memilih keluar daripada harus mempertaruhkan diri dan menjual diri. Kata-kata Martin di akhir cerpennya adalah wujud dari kejujuran nuraninya, tanpa harus melupakan budi baik TEMPO : “Selamat tinggal TEMPO! Kau sudah dibesarkan oleh cinta, sakit hati, juga kebencian…”. Martin memang sudah berpolitik dan menentukan jalan politiknya. Hidup adalah pilihan politik, politik adalah jalan bukan tujuan. Politik sebagai satu cara untuk memartabatkan hidup, karena itulah jalan politik lebih terkesan sebagai jalan sunyi, meski sering disebut pilihan Martin adalah pilihan untuk menjadi lebih melarat. Tapi politik adalah sebuah dongak kepala ke atas untuk menyatakan prinsip dan keteguhan, disinilah Martin lebih memilih politik sebagai sebuah sikap. Sikap itulah yang membawa resiko, membawa akibat dan konsekuensi. Sebagaimana yang ditulis dalam cerita pendeknya berjudul “Dendang Perempuan Pendendam” (h.96) : “Ayah menemukan nasib yang mengenaskan, katanya, adalah risiko pilihan politiknya. Dan tak seorang pun yang punya wewenang untuk mempersalahkan orang lain karena pilihan jalan hidupnya”.
          Tetapi dari cerita Martin kita masih menyimpan pertanyaan : “Bisakah kita menentukan hidup kita sendiri di hadapan kekuasaan, dihadapan ketidakpastian?”. Kisah Martin dan cerita para tokoh-tokohnya seperti sejalan. Mereka harus mengadapi dunia yang tak bisa dilepaskan sepenuhnya dari masa lalunya, masa lalu negeri kita. Dan disaat seperti itulah, diam bukan pilihan yang sepenuhnya benar, kita dituntut untuk bersuara, entah suara kita berdiri di pihak yang mana. Yang pasti, suara nurani, suara kebenaran seperti tak bisa dibendung begitu saja, meski harus dirayu, dibujuk untuk mengatakan “tidak” dan bungkam terhadapnya. Martin seperti mengajak kita bertutur lebih jauh lagi tentang  apa yang ada di masa lalu, agar kelak kita memakan mangga yang manis, meski tubuhnya sudah dikuliti, diiris dan dicincang sedemikian rupa, kita berharap kebenaran seperti itu pula. Meski dengan pesakitan dan luka, kita menemukan manis di dalamnya. Buku Mati Baik-Baik Kawan adalah kesaksian, doa sekaligus suara dari keteguhan prinsip dari sang penulisnya, ia ingin mati baik-baik tapi, setelah kisah dan apa yang ada di masa lalunya tuntas dikisahkan, diceritakan. Bukankah kebenaran memang demikian pula?, ia harus melalui jalan yang terkadang berkelok-kelok dan berliku untuk disampaikan, tetapi kepuasan dari sebuah kebenaran adalah tatkala ia sudah terlihat, meski kadang sering ditolak dan diacuhkan, setidaknya ia menyeru, menyeru yang masih memiliki nurani.

*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

No comments:

Post a Comment