Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Buku Mati Baik-Baik Kawan adalah kesaksian, doa sekaligus suara dari
keteguhan prinsip dari sang penulisnya, ia ingin mati baik-baik tapi, setelah
kisah dan apa yang ada di masa lalunya tuntas dikisahkan, diceritakan. Bukankah
kebenaran memang demikian pula?, ia harus melalui jalan yang terkadang
berkelok-kelok dan berliku untuk disampaikan, tetapi kepuasan dari sebuah
kebenaran adalah tatkala ia sudah terlihat, meski kadang sering ditolak dan
diacuhkan, setidaknya ia menyeru, menyeru yang masih memiliki nurani.
Saya seperti sedang mengingat trauma membaca cerpen-cerpen
Martin Aleida. Saya merasa memiliki teman, saya merasa memiliki sahabat dan
saya merasa perlu untuk terus menulis dan teguh menatap harapan. Saya mendengar
nama Martin Aleida dari Bandung Mawardi, ia berucap pendek “ Martin pernah diopeni Goenawan Mohammad, sedang yang
lain justru tak diurus, barangkali karena Martin sastrawan. Saya pernah
mengalami apa yang dialami oleh Martin, saya merasa ada yang bengkok, ada tabir
yang belum dibuka sepenuhnya, saya pernah membuat bulletin dengan lambang
petani dan buruh itu. Wajar, sebagai penyuka sejarah dan orang yang belajar
sejarah dikampus saya baru melek sejarah melalui buku-buku. Buku-buku membuka
mataku, ada yang belum sepenuhnya dibuka dari kejahatan yang telah 30 tahun
lebih. Kejahatan dan kekejian itu tak hanya melahirkan cerita yang samar, kisah
yang buram. Pada mulanya kita harus pelan-pelan menggali kuburan sejarah itu,
untuk menemukan harta karun “kebenaran”. Saya merasa “Mati Baik-Baik Kawan”
seperti surat dan sebuah cerita kegetiran dan harapan Martin sendiri. Sebagai seorang
yang pernah ditangkap dan melihat dan merasakan sendiri kekejian dan kekejaman
yang dilakukan oleh rezim, ia ingin mengungkapkan cita-citanya bahwa ia ingin
mati baik-baik. Saya menyimak kegetiran Martin di halaman-halaman pertama buku
ini sampai pada akhir buku ini. Saya masih juga menemukan gelap, tak segera
menemukan cahaya “kebenaran” saya justru semakin menemukan misteri. Jembatan bacem
yang diceritakan di buku ini adalah jembatan yang dikisahkan temanku, konon bau
anyir darah itu sering dicium oleh warga yang tinggal di kampong temanku
tinggal. Saya pernah melewati jembatan itu dengan rasa bergidik, saya seperti
lewat di atas mayat-mayat, yang hanya darahnya yang sudah mengalir. Darahnya
memang sudah hilang, jasadnya memang sudah hilang pula, tapi saya mencium
cerita itu, saya seperti menghidupkan misteri yang ada dijembatan itu setiap
kali melewatinya. Bengawan solo yang konon mendunia itu, saya mengingatnya,
melihatnya, dan merasai ada yang berubah dari Bengawan Solo yang dijadikan
festival oleh pemerintah kota, yang dikisahkan oleh Gesang sebagai kota para
kaum pedagang, dan tidak pernah dihadirkan kisah bahwa disana, disini, ada dan
tinggal berates-ratus mayat yang tak tahu siapa saja dan sebab apa mereka mati.
Martin seperti sudah mematikan perasaannya, untuk menuliskan ini. Sebagaimana tokoh-tokoh
dalam cerita ini, mereka bercerita seolah mereka harus menutup luka, harus
memegang dada mereka sembari tersenyum, ini bukan lagi jamannya kita menangis,
seperti itulah kira-kira Martin bercerita. Tetapi, seberapapun Martin mencoba
menutupi perih di dadanya, Martin pada akhirnya harus mengisahkannya,
menuturkannya pada kita, entah itu menambah misteri atau membuka misteri. Kita akan
menemui kisah tentang tanah, BTI, PKI dan narasi jenderal, kapten sampai
romantika kekasih yang datang ke calon isterinya untuk menemui kisah bahwa
keluarga isterinya sudah dibantai dan dihabisi.
Saya seperti menemukan kisah dan sejarah kita dibuka
pelan-pelan seperti mengelupas mangga, mengelupas tubuh dan menguliti tubuh itu
untuk menemukan manis dan juga kecut secara bersamaan. Kisah tentang
penculikan, pemerkosaan, dan kisah tentang keluarga yang dipisahkan dihadirkan
dalam cerpen-cerpen Martin. Saya menyimak kisah Ratusan Mata Di Mana-Mana yang
bertutur tentang pengalaman penulis sendiri ketika dihadapkan dengan pilihan idealism.
Ia harus mempertahankan prinsipnya, dan mensyukuri anugerah hidup yang
diberikan padanya. Saya menyebutnya “anugerah” sebab sebagaimana dituturkan
penulis, ia adalah satu dari sekian yang beruntung. Beruntung karena
teman-temannya harus mati dan dibunuh secara mengenaskan. Prinsip mempertahankan
kebenaran itulah yang kelak digunakan sebagai penebus dosa teman-temannya. Meski
tak sedikit teman yang berkhianat dan memasuki ruang-ruang aman untuk
melindungi diri. Martin pada akhirnya harus memilih keluar daripada harus
mempertaruhkan diri dan menjual diri. Kata-kata Martin di akhir cerpennya
adalah wujud dari kejujuran nuraninya, tanpa harus melupakan budi baik TEMPO : “Selamat
tinggal TEMPO! Kau sudah dibesarkan oleh cinta, sakit hati, juga kebencian…”. Martin
memang sudah berpolitik dan menentukan jalan politiknya. Hidup adalah pilihan
politik, politik adalah jalan bukan tujuan. Politik sebagai satu cara untuk
memartabatkan hidup, karena itulah jalan politik lebih terkesan sebagai jalan
sunyi, meski sering disebut pilihan Martin adalah pilihan untuk menjadi lebih
melarat. Tapi politik adalah sebuah dongak kepala ke atas untuk menyatakan
prinsip dan keteguhan, disinilah Martin lebih memilih politik sebagai sebuah
sikap. Sikap itulah yang membawa resiko, membawa akibat dan konsekuensi. Sebagaimana
yang ditulis dalam cerita pendeknya berjudul “Dendang Perempuan Pendendam”
(h.96) : “Ayah menemukan nasib yang mengenaskan, katanya, adalah risiko pilihan
politiknya. Dan tak seorang pun yang punya wewenang untuk mempersalahkan orang
lain karena pilihan jalan hidupnya”.
Tetapi dari cerita Martin kita masih menyimpan pertanyaan :
“Bisakah kita menentukan hidup kita sendiri di hadapan kekuasaan, dihadapan
ketidakpastian?”. Kisah Martin dan cerita para tokoh-tokohnya seperti sejalan. Mereka
harus mengadapi dunia yang tak bisa dilepaskan sepenuhnya dari masa lalunya,
masa lalu negeri kita. Dan disaat seperti itulah, diam bukan pilihan yang
sepenuhnya benar, kita dituntut untuk bersuara, entah suara kita berdiri di
pihak yang mana. Yang pasti, suara nurani, suara kebenaran seperti tak bisa dibendung
begitu saja, meski harus dirayu, dibujuk untuk mengatakan “tidak” dan bungkam
terhadapnya. Martin seperti mengajak kita bertutur lebih jauh lagi tentang apa yang ada di masa lalu, agar kelak kita
memakan mangga yang manis, meski tubuhnya sudah dikuliti, diiris dan dicincang
sedemikian rupa, kita berharap kebenaran seperti itu pula. Meski dengan
pesakitan dan luka, kita menemukan manis di dalamnya. Buku Mati Baik-Baik Kawan adalah kesaksian, doa sekaligus suara dari
keteguhan prinsip dari sang penulisnya, ia ingin mati baik-baik tapi, setelah
kisah dan apa yang ada di masa lalunya tuntas dikisahkan, diceritakan. Bukankah
kebenaran memang demikian pula?, ia harus melalui jalan yang terkadang
berkelok-kelok dan berliku untuk disampaikan, tetapi kepuasan dari sebuah
kebenaran adalah tatkala ia sudah terlihat, meski kadang sering ditolak dan
diacuhkan, setidaknya ia menyeru, menyeru yang masih memiliki nurani.
*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment