Di
buku Potret diri Kahlil Gibran (1989)ini,
kita akan menemukan gaya bersastra Gibran melalui surat-menyurat. Gibran di
surat-menyuratnya tak hanya menunjukkan sebagai pribadi yang terkadang gamang,
terkadang girang, dan bahkan mengalami depresi. Tentu, hal ini berbeda dengan
karya-karyanya yang selama ini menghirupkan nafas keindahan, dan intim dengan
bahasa cinta. Surat-surat ini adalah ekspresi dan potret pribadi Kahlil Gibran.
Siapa pembaca Kahlil Gibran di Indonesia?. Butuh keterangan
lebih lanjut siapa pembaca Kahlil Gibran di Indonesia. Aku berniat membaca
buku-buku Kahlil Gibran untuk mengerti siapa Kahlil Gibran. Sebagai penulis,
sebagai penyair, ia sering disebut sebagai “nabi dari Lebanon”. Bagiku, Kahlil
Gibran adalah suara dari timur, seperti Iqbal, maupun Rumi. Mereka adalah suara
yang menggemakan ketimuran. Apa yang Gibran tulis adalah bagian dari yang ia
gali dari syair dan puisi arab. Gibran menunjukkan kepada kita bahwa syair dari
timur tak kalah menarik dari penyair barat. Aku pernah membaca buku Gibran Musik, Dahaga, Jiwa. Tak hanya itu, aku juga pernah membaca buku
Gibran Sayap-Sayap Patah terbitan
Navila. Kini aku menemukan buku Gibran berjudul Potret Diri Kahlil Gibran. Di
buku ini, kita akan melihat jelas bagaimana Gibran berhubungan dengan
saudara-saudaranya. Meski berjauhan, Gibran menunjukkan keakrabannya,
menunjukkan kecintaannya yang mendalam kepada para sahabat-sahabatnya. Sahabat-sahabatnya
itulah yang mendukungnya, member komentar kepada tulisan-tulisannya dan juga memberi
bantuan dana untuk penerbitan karya-karyanya. Kehidupan Gibran dihabiskan untuk
berkelana, menulis dan melukis. Gibran sebagaimana dikisahkan oleh Anthony R.
Ferris dalam pengantar buku ini bahwa Gibran menghabiskan masa kecilnya dengan
membaca, menulis dan melukis.
Gibran sebagai penulis tak melulu mengalami kejayaan,
ketenangan. Ia menuliskan bahwa apa yang ia lakukan selama ini ternyata
berakibat pada perasaan pupus harapan dan mengalami kegundahan jiwa, seperti
dalam neraka. “ Aku melukis dan menulis sekarang, juga nanti, dan di tengah
melukis dan menulis, aku bagaikan, sebuah perahu kecil yang berlayar di antara
samudera tak berdasar dan langit tak berufuk—impian-impian yang asing,
hasrat-hasrat yang agung, harapan-harapan-besar, pikiran-pikiran yang terbanting
dan perlu diperbaiki dan diantara segalanya ini adalah sesuatu yang disebut
oleh orang-orang sebagai putus harapan, aku menyebutnya Neraka” (h.17).
Ekspresi Gibran ini seperti menunjukkan bahwa ia merasa menjadi seorang yang hampir
depresi. Setelah ekspresi yang berat yang ditulis kepada jamil Malouf di tahun
1908, kita menemui surat di tahun yang sama untuk Amin Guraib, tepatnya di
tanggal 28 maret 1908, ia menuliskan sesuatu yang berbeda. Kelihatannya ia
seperti bangkit dan menganggap kehidupannya lebih baik : “dulu aku memandang
kehidupan ini lewat tawa dan air mata, namun aku sekarang memandangnya lewat
berkas-berkas pada jiwa, keberanian pada hati, dan gerak pada tubuh. Dulu aku
seperti seekor burung terkurung dalam sangkar, yang puas dengan bebijian yang
dijatuhkan padaku oleh tangan-tangan Sang Nasib. Tapi kini aku merasa bagaikan
seekor burung lepas- bebas yang menyaksikan keindahan lading-ladang dan
padang-padang rumput, dan mengharap terbang di langit yang lapang untuk
mendekapkan rasa kasih, angan dan harapan pada alam”. Dari bunyi dalam suratnya kita melihat Gibran
sudah lebih baik dari keadaan sebelumnya yang terlihat depresi.
Gibran juga berkirim surat kepada sahabatnya yang
bernama Mikhail Naimy, barangkali Mikhail Naimy ini adalah teman yang terdekat
dari Gibran itu sendiri. Dalam suratnya dengan Mikhail, Gibran merasakan ada
kesamaan kondisinya dengan sahabatnya ini. Mikhail terlihat dalam suratnya
menyatakan perasaan kegilaannya. Gibran berujar kepada sahabatnya ini : “Jadilah
gila Misha. Jadi gilalah kau dan katakana padaku apa yang di belakang selubung “keselamatan
jiwa”. Tujuan hidup ini ialah membawa kita lebih dekat kepada rahasia-rahasia
itu, dan kegilaan itu adalah satu-satunya sarana. Jadilah gila, dan tetaplah
menjadi seorang saudara yang gila bagi saudaramu yang gila ….. ”
Melalui surat-suratnya, Gibran menunjukkan ketulusan
dan kejujuran jiwanya sebagai seorang pengarang. Masihkah kita meneruskan
tradisi surat-menyurat antar pengarang?. Ah barangkali ini cerita yang musykil.
Saya berharap mendapat balasan surat dari Linda Christanty, barangkali surat
adalah hal yang asing, dan tak lagi akrab bagi pengarang di masa kita sekarang.
Gibran merawat tradisi surat itu, kepada sahabat-sahabatnya, memiliki misi
berbagi, dan bersastra, berkarya. Membaca potret diri, kita seperti diajari
bahwa “kebesaran seseorang tak bisa terlepas dari para sahabat-sahabat kita”.
Bahkan, kita menemui hubungan cinta yang intim antara
May zaidah, kekasih Gibran yang berhubungan melalui surat-menyurat. Gibran
menunjukkan kepada kita, surat masih memiliki daya, memiliki nafas untuk
mengalirkan kekuatan kata-kata dan perasaan yang begitu mendalam. Tanpa harus
mempercayai kehadiran fisik (tubuh). Gibran mengajari kita bahwa surat tak
hanya sekadar dokumentasi, surat juga mengabadikan perasaan-perasaan bagi jiwa
yang jatuh cinta. Dalam potret diri, kental terasa bahwa Gibran dikelilingi,
dan dikuatkan oleh teman-temannya, juga kekasihnya. Dari itulah, ia bisa terus
menghadirkan karya dan tulisan untuk public, tetapi di balik itu,
sahabat-sahabatnya itulah yang menjadi pembaca sekaligus pengkritik awal
tulisan-tulisan Gibran.
Di
buku Potret diri Kahlil Gibran (1989)ini,
kita akan menemukan gaya bersastra Gibran melalui surat-menyurat. Gibran di
surat-meyuratnya tak hanya menunjukkan sebagai pribadi yang terkadang gamang,
terkadang girang, dan bahkan mengalami depresi. Tentu, hal ini berbeda dengan
karya-karyanya yang selama ini menghirupkan nafas keindahan, dan intim dengan
bahasa cinta. Surat-surat ini adalah ekspresi dan potret pribadi Kahlil Gibran.
No comments:
Post a Comment