klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Saturday 29 November 2014

Bahagia






 "Hidup adalah keputusan yang kita buat hari ini"


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

          Malam minggu yang sendu, obrolan yang melelahkan, membuat mata ini sayu, kepala pening, pada akhirnya hidup adalah keputusan yang kita buat hari ini. Malam minggu (29/11/14), aku bersama calon isteriku ngobrol lama sekali tentang rencana kita ke depan. Saya  seperti hidup dalam kutipan dalam sebuah buku “kita bisa merubah apapun dalam hidup, kecuali takdir”. Aku tak mengerti, apakah aku adalah takdirnya, ataukah dia adalah takdirku?. Obrolan mengarah kepada rencana-rencana menjelang pernikahan. Tiba-tiba aku terkejut, raut mukaku berubah, ia hanya berbicara lirih “ tapi mas ndak marah kan kalau aku jujur” ?. Rasanya benar adanya, kejujuran adalah harta berharga terakhir yang dimiliki manusia. Aku merasa sedikit terpukul, merasai sedikit goyah, ada perasaan tak terjelaskan kala ketidakjujuran hadir dalam sebuah hubungan. Aku membawa dua buku baru, Tafsir kebahagiaan (2010) garapan Jalaluddin Rakhmat dan buku kumcer 8 sisi terbitan plotpoint. Buku itu menjadi teman pembicaraan kami, mungkin buku ini juga jadi penghiburku saat aku tahu bahwa aku mesti menerima maaf atas ketidakjujurannya. Meski buku itu tak jadi bahan obrolan, aku memeganginya dan melanjutkan membacanya. Waktu itu aku ngobrol di Wedangan HIK yang cukup murah dan asyik buat ngobrol. HIK ini ala jawa, tetapi pengelolaannya seperti hidup segan mati tak mau, tapi lupakanlah, saya tak mau membicarakan HIK. Waktu menunjukkan pukul 18.30 WIB, aku memutuskan untuk rehat menghadap Tuhan (magriban), setelah itu, kami bingung mau kemana, terus saya ajak calonku itu ngobrol lagi.    Obrolan berlanjut, baca buku berhenti, saya jadi merenungi apa yang dikatakan Jalaluddin Rakhmat di buku Tafsir Kebahagiaan (2010) menurutnya, kata kebahagiaan tak hanya merupakan panggilan, tetapi juga hakikat kita dalam hidup ini, adalah mencari dan menemukannya. Ternyata kebahagiaan membutuhkan keikhlasan, memerlukan kepasrahan, dan ikhlas menerima apa yang ditakdirkan Tuhan pada kita. Saya hanya bergumam dalam hati, mungkin ini yang dinamakan “lelakon” ala novelnya Lan Fang. Mungkin saya belum bahagia, tapi setelah menerima nasib dengan legowo, kelak saya akan bahagia sebagaimana yang saya alami selama ini. Kita sering mendengar bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali ia bergerak merubahnya.
Pulang dari obrolan, masih menyisakan berjuta tanya, harapan dan rencana. Saya jadi galau dalam bahasa anak muda, saya memutuskan untuk berjalan, dan barangkali dengan berjalan dengan mata hati dan mata kaki yang jernih itu, saya merasa tenang dan tenteram dalam menjalani kehidupan ini. Di buku ini dikisahkan bahwa Rosul pernah mengalami masa berkabung yang sangat mendalam. Tak hanya karena ia kehilangan isteri tercintanya Khotidjah, tetapi juga kehilangan pamannya. Kehidupan saya tak seperih Rosul, ujian terhadap saya apalagi, saya hanya mengingat kisah dalam sirah (sejarah) Muhammad. Saya menemukan kisah yang selama ini jadi ganjil terjadi di masa sekarang. Kisah itu adalah kisah Ali yang melamar Fatimah. Ahli ilmu ini, yang dikatakan Rosul sebagai pewaris ilmunya, datang melamar puteri Rosul tanpa membawa apa-apa. Benar adanya, Rosul pun pada awalnya heran, berani benar anak ini melamar puteriku tak bawa apa-apa. Tetapi pada akhirnya, Rosul bertanya pada Ali : “Apa kamu masih menyimpan baju perang yang dulu pernah kuberi padamu?, bawa kemari, kau akan kunikahkan dengan puteriku”. Pernikahan yang ajaib, fantastis, membahagiakan. Ada rasa haru, lega dan puas di mata Ali barangkali setelah mendengar keputusan Rosul. Pernikahannya pun sederhana dan khusyuk. Saya jadi berfikir, menikah adalah jalan, jalan untuk bahagia. Bila menikah, tak membuat kita bahagia, lalu untuk apa?. Terlampau banyak dan rumit adat dan tradisi kita yang mengurusi urusan nikah. Saya jadi ingat tulisan Radar Panca Dahana, Mufakat Kebudayaan (2014). Disana disinggung tentang tradisi, konon tradisi itulah yang membuat kita menjadi sesuatu yang asali. Tapi benarkah?, kepatuhan kita kepada tradisi, kepada norma dan aturan leluhur membawa kita kepada kebaikan?, mungkin. Saya belum percaya sepenuhnya, tapi tidak untuk urusan menikah. Saya hanya meyakini, pernikahan adalah jalan kebahagiaan. Entah disana ada takdir dan pelbagai kerumitan di dalamnya. Jalaluddin Rakhmat menulis buku ini seperti perpaduan antara komunikasi dan psikologi. Ia menuliskan bagaimana sifat-sifat buruk yang merusak kebahagiaan dihilangkan dalam hati kita. Diantaranya adalah sifat prasangka buruk, penyakit hati, iri, adalah sifat yang harus dihindari untuk memeroleh kebahagiaan.
          Membaca buku ini seperti diajak untuk berfikir kembali, bahwa kebahagiaan bukan apa yang membuat kita bangga dan puas terhadap apa yang kita miliki selama ini, melainkan sebaliknya, semakin merasai kita tak banyak memiliki dan banyak berbagi. Saya jadi ingat teman SMA saya yang pulang ke klaten dari tugas dinasnya di Merauke. “dulu saya pikir kebahagiaan adalah ketika saya merasa bisa membeli sesuatu, mendapatkan sesuatu, kini saya berfikir, setelah menikah, saya merasa ada yang bisa saya bagi bersama isteri dan keluarga saya”. Saya menyimak omongannya, mungkin itulah kebahagiaan, mungkin juga tidak. Sebab kebahagiaan adalah barang yang kasat, hanya bisa dirasakan. Buku ini memang bukan buku motivasi ala penulis motivator, buku ini mengajak kita untuk pulang dan kembali mempelajari pedoman kita (Qur’an). Bahwasannya Qur’an mengajak kita dan menuntun kita untuk hidup bahagia. Saya jadi ingat bahwa Alqur’an diciptakan tak hanya sebagai peringatan, tetapi juga kabar gembira. Kabar gembira inilah yang saya kira penting, disana ada hiburan dan penyembuh bagi kesulitan hidup dan keresahan hidup. Saya menemukan doa dalam buku ini yang mengingatkan saya kepada kebiasaan membaca Al ma’surat di masa SMA. Begini bunyi doa tatkala kita dirundung resah : Ya Alloh aku berlindung padamu dari kesusahan dan penderitaan, dari kelemahan dan kebosanan, dari kepengecutan dan kebakhilan, dari belitan utang dan pengendalian orang lain. Doa ini menjadi penting, karena pada dasarnya Tuhan tak hanya menjanjikan kepastian kebahagiaan, melainkan dalam mencapai kebahagiaan, biasanya kita perlu merasakan penderitaan dan kesusahan terlebih dahulu. Sebagaimana yang dituliskan kang Jalal, yang mengabarkan penelitian para psikolog dunia, bahwa stress dan kesusahan justru membuat manusia lebih tahan dan lebih mampu untuk berjalan tegak di masa-masa selanjutnya. Tingkat stress seseorang akan disusul dengan daya tahan terhadap ujian hidup di masa ke depan. Saya tidak sedang stress, barangkali hanya sedikit resah, dan saya yakin keresahan ini adalah bagian dari cara Tuhan untuk menenangkan saya untuk menghadapi masa-masa yang lebih membahagiakan. Dan saya merasa bahagia setelah selesai mengisahkan buku Tafsir kebahagiaan (2010) garapan Jalaluddin Rakhmat ini.   


*) Penulis adalah pengelola www.doeniaboekoe.blogspot.com

No comments:

Post a Comment